Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Rabu, 24 Agustus 2011

Tanpa salib tidak ada mahkota


Renungan Hari Minggu ke-22 Tahun A
(berdasarkan Mat 16:21-27)
Oleh Pastor Paulus Tongli,Pr
Seorang suster sedang menjelaskan tentang makna jalan salib kepada anak-anak di dalam kelasnya pada suatu pelajaran agama. Pada perhentian keempat, ketika Yesus yang memikul salib bertemu dengan ibunya, suster itu menjelaskan bahwa meskipun mereka tidak dapat berbicara, ibu dan anak itu berkomunikasi satu sama lain lewat tatapan mata. “Apa yang kiranya mereka katakan satu sama lain?” tanya suster itu kepada anak-anak. Anak-anak memberikan berbagai macam jawaban yang berbeda-beda. Seorang anak berkata, “Ini adalah ketidakadilan”. Anak yang lain menjawab, “Mengapa saya?” Akhirnya seorang anak yang kurus mengangkat tangan kecilnya sambil berdiri dan berkata: “Suster, saya tahu apa yang dikatakan oleh ibu yang terberkati itu kepada anaknya. Ia berkata kepadanya, ‘Terus berjalan Yesus!’” Mengapa kiranya seorang ibu akan meneguhkan anak tunggalnya di jalan salib untuk terus berjalan? Karena ibu itu mengerti prinsip kristiani: “tanpa salib, tanpa mahkota.”
Pada hari Minggu lalu telah kita baca tentang Simon Petrus yang mengenal dan mengakui Yesus sebagai Mesias, Putera Allah yang hidup. Pengakuan iman ini telah menyebabkan dia diberi nama Petrus, “si Batu Karang”. Peristiwa itu adalah suatu hal yang menentukan dalam perkembangan misi Yesus. “Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” (Mat. 16:21).
Orang Yahudi pada zaman Yesus pada umumnya percaya bahwa Mesias adalah tokoh yang akan membawa kembali kejayaan Israel baik dalam hal militer, kesehatan maupun kemakmuran. Para murid pun memiliki harapan yang sama. Maka ketika Petrus mendengar Yesus mewartakan bahwa Ia harus pertama-tama memikul salib, ia menganggap Yesus telah melakukan kesalahan. “Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: ‘Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau’” (ayat 22). Petrus meminta Yesus untuk meninggalkan jalan yang sempit dan keras dari seorang Mesias (no cross, no crown) dan mengambil jalan lapang dan mudah dari dunia (all crown and no cross). Dan meskipun Yesus telah menyebutnya “batu karang”, kini Yesus menatap wajah Petrus dan berkata kepadanya, "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ayat 23).
Injil Kristus adalah laksana sekeping mata uang dengan dua sisi: salib dan mahkota. Jika kita mencoba untuk hanya menerima satu sisinya, sisi kemuliaan, dan menolak sisi yang lain, sisi penderitaan, kita memalsukan injil. Yesus memang telah bersabda: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28); tetapi Ia juga berkata: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat 16:24-25). Apakah kita datang kepada Yesus untuk dibebaskan dari beban kita, atau apakah kita datang kepadaNya untuk memikul salib kita? Kita datang kepada Yesus untuk dibebaskan dari beban kita yang sia-sia dan tak berarti dan menggantinya dengan salib yang membawa kepada keselamatan dan kemuliaan.  Injil hari ini menantang kita untuk berpaling dari janji kemuliaan yang ditawarkan dunia, yang memang sangat menggiurkan tetapi hanya satu sisi, laksana injil yang dibungkus dengan lapisan gula yang menjanjikan “all crown and no cross.” Bukankah kita pernah mendengar janji palsu seperti: “Asal percaya saja, dan segalanya akan menjadi beres”? Pada Yesus segala sesuatu tidak menjadi ‘baik’; ia tetap harus memikul salibNya. Pada Maria pun segalanya tidak menjadi ‘baik’; sebilah pedang tetap menembus hatinya. Segalanya tidak menjadi ‘baik’ pada begitu banyak wanita dan pria kudus yang telah mendahului kita. Bila demikian mengapa anda dan saya akan mengalami nasib yang lebih baik? Berhadapan dengan kekecewaan, kedukaan, penyakit, kegagalan, iman saya menggerakkan saya untuk memberikan reaksi yang seharusnya, dan bukannya bertanya “mengapa saya?”. Dalam situasi seperti itu saya menyadari bahwa semua salib dan kontradiksi ini penting untuk kemuliaan kelak. Dunia ini adalah tempat untuk salib. Tempat untuk mahkota adalah surga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar