Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Rabu, 24 Agustus 2011

Tanpa salib tidak ada mahkota


Renungan Hari Minggu ke-22 Tahun A
(berdasarkan Mat 16:21-27)
Oleh Pastor Paulus Tongli,Pr
Seorang suster sedang menjelaskan tentang makna jalan salib kepada anak-anak di dalam kelasnya pada suatu pelajaran agama. Pada perhentian keempat, ketika Yesus yang memikul salib bertemu dengan ibunya, suster itu menjelaskan bahwa meskipun mereka tidak dapat berbicara, ibu dan anak itu berkomunikasi satu sama lain lewat tatapan mata. “Apa yang kiranya mereka katakan satu sama lain?” tanya suster itu kepada anak-anak. Anak-anak memberikan berbagai macam jawaban yang berbeda-beda. Seorang anak berkata, “Ini adalah ketidakadilan”. Anak yang lain menjawab, “Mengapa saya?” Akhirnya seorang anak yang kurus mengangkat tangan kecilnya sambil berdiri dan berkata: “Suster, saya tahu apa yang dikatakan oleh ibu yang terberkati itu kepada anaknya. Ia berkata kepadanya, ‘Terus berjalan Yesus!’” Mengapa kiranya seorang ibu akan meneguhkan anak tunggalnya di jalan salib untuk terus berjalan? Karena ibu itu mengerti prinsip kristiani: “tanpa salib, tanpa mahkota.”
Pada hari Minggu lalu telah kita baca tentang Simon Petrus yang mengenal dan mengakui Yesus sebagai Mesias, Putera Allah yang hidup. Pengakuan iman ini telah menyebabkan dia diberi nama Petrus, “si Batu Karang”. Peristiwa itu adalah suatu hal yang menentukan dalam perkembangan misi Yesus. “Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” (Mat. 16:21).
Orang Yahudi pada zaman Yesus pada umumnya percaya bahwa Mesias adalah tokoh yang akan membawa kembali kejayaan Israel baik dalam hal militer, kesehatan maupun kemakmuran. Para murid pun memiliki harapan yang sama. Maka ketika Petrus mendengar Yesus mewartakan bahwa Ia harus pertama-tama memikul salib, ia menganggap Yesus telah melakukan kesalahan. “Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: ‘Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau’” (ayat 22). Petrus meminta Yesus untuk meninggalkan jalan yang sempit dan keras dari seorang Mesias (no cross, no crown) dan mengambil jalan lapang dan mudah dari dunia (all crown and no cross). Dan meskipun Yesus telah menyebutnya “batu karang”, kini Yesus menatap wajah Petrus dan berkata kepadanya, "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ayat 23).
Injil Kristus adalah laksana sekeping mata uang dengan dua sisi: salib dan mahkota. Jika kita mencoba untuk hanya menerima satu sisinya, sisi kemuliaan, dan menolak sisi yang lain, sisi penderitaan, kita memalsukan injil. Yesus memang telah bersabda: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28); tetapi Ia juga berkata: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat 16:24-25). Apakah kita datang kepada Yesus untuk dibebaskan dari beban kita, atau apakah kita datang kepadaNya untuk memikul salib kita? Kita datang kepada Yesus untuk dibebaskan dari beban kita yang sia-sia dan tak berarti dan menggantinya dengan salib yang membawa kepada keselamatan dan kemuliaan.  Injil hari ini menantang kita untuk berpaling dari janji kemuliaan yang ditawarkan dunia, yang memang sangat menggiurkan tetapi hanya satu sisi, laksana injil yang dibungkus dengan lapisan gula yang menjanjikan “all crown and no cross.” Bukankah kita pernah mendengar janji palsu seperti: “Asal percaya saja, dan segalanya akan menjadi beres”? Pada Yesus segala sesuatu tidak menjadi ‘baik’; ia tetap harus memikul salibNya. Pada Maria pun segalanya tidak menjadi ‘baik’; sebilah pedang tetap menembus hatinya. Segalanya tidak menjadi ‘baik’ pada begitu banyak wanita dan pria kudus yang telah mendahului kita. Bila demikian mengapa anda dan saya akan mengalami nasib yang lebih baik? Berhadapan dengan kekecewaan, kedukaan, penyakit, kegagalan, iman saya menggerakkan saya untuk memberikan reaksi yang seharusnya, dan bukannya bertanya “mengapa saya?”. Dalam situasi seperti itu saya menyadari bahwa semua salib dan kontradiksi ini penting untuk kemuliaan kelak. Dunia ini adalah tempat untuk salib. Tempat untuk mahkota adalah surga.


Selalu ada jalan

Selalu ada jalan… Inilah kata yang selalu ada dibenak dan kepala saya dalam menjalani hidup ini terutama hidup bagi orang lain yang ada disekitar saya. Selalu ada jalan….
.
Beberapa hari yang lalu, kami mendapat undangan untuk berkunjung ke PRJ dengan anak-anak sekolah kami, karena anak-anak memang lama tidak pernah melakukan jalan-jalan apalagi setelah hampir 3 tahun saya tinggalkan, saya langsung mengiyakan tawaran jalan-jalan ke PRJ itu.  Setelah berbicara dengan pihak PRJ ternyata pihak PRJ tidak menyediakan transportasi untuk anak-anak ini dan mereka hanya menyediakan tiket masuk, makan dan bingkisan anak-anak. Saya yang terlanjut mengiyakan jadi rada bingung karena untuk mengangkut 200 anak dengan pembinanya diperlukan biaya untuk sewa mobil.
.
Pertama saya hanya bilang pada rekan-rekan,  “Siapkan saja anak-anak dan nanti masalah mobil akan selalu ada jalan.”  Setelah semingu dari kesepakatan, saya tetap belum memiliki uang untuk sewa mobil itu sedangkan paling tidak diperlukan 4 metro mini untuk mengangkut mereka ini, tapi setelah seminggu dalam hari-hari terakhir ada jalan terang disana dimana ada “Emak” yang akan pergi ke Amerika dan Emak ini ninggali uang untuk saya dengan jumlah yang lumayan besar dan cukup untuk sewa mobil dan beli bingkisan anak-anak. Tenanglah hati ini, tapi Allah berkehendak lain. 4 hari menjelang hari keberangkatan anak-anak ke PRJ ada kejadian dimana memerlukan biaya yaitu ada anak cacat yang sakit dan memerlukan biaya ke rumah sakit dan anak itu akhirnya meninggal dan membutuhkan baiya untuk penguburan. Buyarlah acara ke PRJ.
.
Saya hampir membatalkan acara ini, tapi kasihan juga anak-anak sudah mengharapkan bisa jalan-jalan ke PRJ ini.  Pertolongan Tuhan tiada terlambat.  Dua hari sebelum pemberangatan ada sms masuk ke pijetan saya yang mengatakan kalau telah terjadi tranfer duit sejumlah ….untuk keperluan anak-anak.  Giranglah hati saya dan saya meminta salah satu rekan melihat di atm apakah benar ada uang masuk dan kalau ada langsung saya suruh ambil saja dan dipakai untuk segera cari metromini dan bayar langsung supaya uang tidak tersamber kebutuhan lain… Semua berjalan dengan baik hingga anak-anak bisa ke PRJ dan kegembiraan ada pada mereka.  Selalu ada jalan…. ya selalu ada jalan…..
.
Dalam hidup ini selalu ada jalan jika kita memang mempercayakan diri pada sumber jalan yaitu Allah sendiri apalagi jika hidup untuk kebaikan terutama kebaikan orang lain. Maka, walaupun kekhawatiran ada dan semua terasa “gelap” tapi jika ada kepercayaan, jalan itu akan selalu ada dan saya selalu mengalaminya dalam hidup ini.
.
Keraguan memang ada tapi dari keraguan itulah iman semakin ditumbuhkan dan diteguhkan.  Membangun iman dalam keadaan sekarang adalah penting dan harus dilakukan.  Iman akan Allah yang memberikan jalan pada kehidupan kita.  Selalu ada jalan…
.
Bagi yang sedang dalam masalah kehidupan ini, percayalah selalu ada jalan penyelesaiannya. Ada jalan untuk Anda untuk semakin dekat dengan Allah dan dekat dengan penyelesaian masalah itu. Percayalah Allah yang sanggup menciptakan Anda, Ia juga sanggup mencukupi hidup Anda dan menyelesaikan permasalahan Anda.
.
Salam dalam iman dan kepercayaan kalau selalu akan ada jalan dalam hidup ini.
.
Selalu ada jalan….
.
petrusp

Katedral Paus Bukan Basilika Santo Petrus


Mungkin enggak banyak yang tahu bahwa katedral paus bukan Basilika Santo Petrus di Vatikan. Memang bukan. Apa sih definisi gereja katedral? Bukan hanya sekedar gereja yang megah dan besar, katedral adalah gereja tempat kedudukan atau istana seorang uskup diosesan. Dinamakan gereja katedral karena di dalamnya pasti ada sebuah katedra (Latin: cathedra), yaitu takhta atau tempat duduk uskup. Takhta uskup ini letaknya di panti imam dan hanya dipakai oleh uskup setempat, atau uskup tamu yang diberi ijin untuk menggunakannya oleh sang uskup tuan rumah. Imam biasa tidak duduk di kursi ini. Bandingkan dengan takhta seorang raja yang ada di istananya. Hanya sang raja yang berhak menggunakannya. Begitulah kira-kira.


Nah, kembali ke katedral paus. Sebagai seorang uskup (Catatan: Paus adalah Uskup Roma), paus juga punya katedral dan di dalamnya tentu ada katedra atau takhtanya. Katedral paus sebagai Uskup Roma, tidak seperti dibayangkan banyak orang, adalah bukan Basilika Santo Petrus (dikenal juga dengan nama Basilika Vatikan). Katedral Uskup Roma adalah Basilika Santo Yohanes Lateran (dikenal juga dengan nama Basilika Lateran) yang ada di bagian lain kota Roma. Saat ini memang paus tidak lagi tinggal di Istana Lateran, tapi paus-paus terdahulu memang pernah tinggal di sana.


Foto hitam putih di ujung kanan atas adalah Paus Yohanes XXIII yang duduk di atas takhtanya di dalam Basilika Lateran. Foto berwarna di atas adalah Paus Paulus VI yang juga duduk di atas takhta, tapi bukan di dalam katedralnya. Foto ini diambil saat ia menutup Konsili Vatikan II di Basilika Santo Petrus. Di sebelah kiri (kelihatan sebagian) dan kanan paus adalah dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik (Catatan: Diakon mengenakan dalmatik, bukan kasula seperti imam. Bagian bawah dalmatik berbentuk persegi, tidak melengkung seperti kasula).


Foto di atas adalah altar utama Basilika Lateran. Foto ini diambil pada hari Kamis Putih tahun 2007. Pada setiap hari Kamis Putih, paus selalu merayakan ekaristi di katedralnya, di Basilika Lateran. Di sana, setiap tahun, paus mencuci (dan mencium!) kaki 12 imam yang luar biasa beruntung!


Kalau Anda kepingin tahu bagaimana model katedra atau takhta paus yang sekarang, perhatikan detail foto di atas atau klik di atas fotonya untuk memperbesar. Di foto ini Paus Benediktus XVI duduk di atas takhtanya di dalam Basilika Santo Yohanes Lateran. Duduk di sebelah kiri paus (dari arah pemirsa) adalah Monsignor William Millea, salah seorang seremoniarius paus. Hampir bisa dipastikan yang berada di sisi satunya adalah Magister Caeremoniarum-nya, Monsignor Guido Marini. Oh ya, kedua monsignor ini bukan uskup ya. Setidaknya, saat artikel ini ditulis mereka belum ditahbiskan sebagai uskup. Seperti pernah saya tulis di artikel yang lain, monsignor adalah sebutan kehormatan pejabat gereja dengan level tertentu, bukan melulu untuk uskup.

Kenapa Imam Perlu Pakai Collar?


Judul Asli: Why a Priest Should Wear His Roman Collar
Oleh: Mgr. Charles M. Mangan dan Fr. Gerald E. Murray
Diterjemahkan atas ijin pengarang, oleh: Winarti Handayani & Albert Wibisono (Penanggungjawab)

Direktori Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, yang disiapkan Kongregasi Para Klerus dan disetujui Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 31 Januari 1994, menulis:

“Dalam masyarakat yang sekuler dan cenderung materialistis, di mana tanda-tanda eksternal dari realitas suci dan supernatural mulai hilang, amat terasa pentingnya bagi seorang imam--hamba Allah, pewarta misteri-Nya--untuk bisa dikenali dalam komunitas, juga melalui busana yang ia kenakan, sebagai suatu tanda yang jelas akan dedikasi dan identitasnya sebagai pelaksana pelayanan publik. Imam hendaknya dikenali terutama dari perilakunya, namun juga dari caranya berbusana, yang hendaknya langsung bisa dikenali oleh umat beriman, bahkan oleh siapa saja, hal identitasnya dan keterikatannya kepada Allah dan kepada Gereja.”

Untuk alasan ini, klerus hendaknya mengenakan “busana klerus yang pantas, menurut norma-norma yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja dan menurut tradisi setempat yang berlaku.” (Kanon 284) Ini artinya, busana tersebut, bila bukan jubah, haruslah benar-benar khusus dan berbeda dari busana awam, dan seturut martabat dan kesucian pelayanannya.
Terlepas dari kondisi yang amat khusus, pemakaian busana awam oleh klerus bisa menunjukkan lemahnya identitas dirinya sebagai seorang pastor yang mendedikasikan diri sepenuhnya untuk melayani Gereja (Direktori 66)

Dengan adanya peringatan dari Takhta Suci tentang pentingnya busana klerus bagi imam, kami merasa akan bermanfaat untuk mempelajari beberapa alasan yang perlu digarisbawahi. Kami juga ingin mempelajari beberapa argumen yang umum digunakan untuk membenarkan tidak dikenakannya collar.

Kami menganggap bahwa menjamurnya praktik mengabaikan collar, yang harusnya diperhatikan para imam, merupakan tanda sekaligus penyebab kelesuan dalam Gereja. Keengganan untuk dikenali di muka umum sebagai seorang imam Gereja Katolik sebenarnya bisa jadi menunjukkan keinginan untuk menjauhkan diri dari panggilan imamatnya. Collar lalu menjadi ”pakaian kerja”, yang ditanggalkan begitu tidak ”sedang bertugas”. Gagasan fungsionalistis terhadap imamat yang ditunjukkan lewat sikap demikian bertentangan dengan konfigurasi ontologis kepada Kristus Sang Imam Agung yang dianugerahkan lewat tahbisan imamat.

Awam mengandalkan para imam untuk dukungan dan kekuatan rohani. Mereka merasa ada yang tidak beres ketika imam mereka mencoba membaur di antara khalayak ramai dan “menghilang”.

Tujuan artikel ini adalah untuk mendorong para rekan imam untuk mengenakan collar (begitu pula, para biarawan-biarawati mengenakan jubah biara mereka). Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, memang ada pengecualian-pengecualian terhadap peraturan ini, sejauh itu masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan, misalkan pada acara olahraga dan rekreasi, ketika sedang berlibur (secara umum), ketika di rumah bersama sanak saudara atau ketika berada di kawasan privat dalam pastoran. Dan tentunya, kewajiban mengenakan busana klerus dengan sendirinya tidak berlaku di saat ada penganiayaan. Di waktu-waktu krisis yang demikian, panduan dari para uskup hendaknya diikuti.

Tidak tepat pula bila dikatakan bahwa imam yang menolak mengenakan collar adalah imam yang buruk. Kami khawatir beberapa saudara-saudara kita para imam telah masuk ke dalam kebiasaan yang buruk. Mungkin mereka telah meyakinkan diri mereka sendiri bahwa dengan menanggalkan busana klerus, mereka dapat melakukan lebih banyak kebaikan bagi Gereja. Kami berharap agar para imam yang beranggapan demikian memikirkan kembali keputusan mereka untuk berpakaian sebagai awam, dan untuk meneliti kembali alasan di balik keputusan tersebut.


(Catatan penerjemah: Collar berwarna putih, baik yang digunakan bersama jubah maupun kemeja, merupakan tradisi gereja Katolik yang sudah berabad-abad umurnya. Sayang sekali, saat ini di Indonesia mungkin lebih banyak pendeta Protestan yang memakainya daripada imam Katolik.)

Bagian 1: Alasan untuk mengenakan collar.

1) Collar merupakan tanda konsekrasi imamat kepada Tuhan. Sebagaimana cincin kawin menunjukkan kekhasan suami isteri dan menandakan persatuan di antara mereka, maka collar menunjukkan jati diri para uskup dan imam (dan kadang para diakon serta seminaris) sekaligus menunjukkan kedekatan mereka dengan Allah melalui penyerahan diri sendiri kepada panggilan tahbisan yang telah (atau akan) mereka terima.

2) Dengan mengenakan busana klerus dan dengan tidak memiliki pakaian berlebihan, imam menunjukkan ketaatan meneladani Yesus dalam kemiskinan material. Imam tidak memilih pakaiannya sendiri-- Gereja lah yang memilih baginya, berkat kebijaksanaan yang telah dikumpulkannya selama dua milenium. Bagi seorang imam, menerima dengan penuh kerendahan hati keinginan Gereja agar para imam mengenakan collar menggambarkan penyerahan diri secara sehat kepada otoritas dan keselarasan dengan kehendak Kristus yang dinyatakan lewat Gereja-Nya.

3) Hukum Gereja mewajibkan para klerus untuk mengenakan busana klerus. Kami telah mengutip di atas Direktori Bagi Para Imam Nomor 66, yang mengutip Kanon Nomor 284.

4) Keinginan agar para imam mengenakan collar secara berulang kali disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II. Kehendak Bapa Suci dalam hal ini tidak dapat dengan begitu saja diabaikan; beliau berbicara dengan kharisma khusus. Beliau sering mengingatkan para imam nilai dan makna mengenakan collar.

Dalam suratnya kepada Ugo Kardinal Poletti, Vikarisnya untuk Keuskupan Roma, tanggal 8 September 1982, Bapa Suci memberi instruksi untuk menyebarluaskan norma-norma berkaitan dengan penggunaan collar dan jubah bagi kaum religius. Bapa Suci mengamati bahwa busana klerus berharga ”bukan hanya karena busana ini menambah kesopanan dalam bertingkah laku secara eksternal atau menambah kepatutan dalam melaksanakan pelayanannya, namun terlebih lagi karena busana ini memberikan bukti kepada komunitas gerejawi kesaksian seorang imam di hadapan publik akan jati dirinya dan bahwa ia secara istimewa menjadi milik Allah.”

Dalam sebuah homili tanggal 8 November 1982 kepada sekelompok diakon yang akan menerima darinya tahbisan imamat, Bapa Suci berkata bahwa jika mereka mencoba untuk menjadi seperti kebanyakan orang dalam ”gaya hidup” dan ”cara berpakaian,” maka misi mereka sebagai imam Yesus Kristus tidak akan terpenuhi seutuhnya.

5) Collar menghindarkan terjadinya ”kesalahpahaman”; orang lain akan bisa segera memahami intensi seorang imam ketika imam tersebut ditemukan dalam suasana atau situasi yang di luar kebiasaan. Misalkan, seorang imam perlu melakukan kunjungan pastoral ke daerah di mana banyak bandar narkoba atau pelacur beroperasi. Collar akan memberi pesan yang jelas pada semua orang, bahwa imam tersebut datang dalam nama Kristus untuk melayani orang sakit dan mereka yang membutuhkan. Praduga mungkin bisa muncul bila seorang imam yang dikenali oleh warga setempat berkunjung ke daerah serupa dengan berpakaian sebagai awam.

6) Collar akan mengilhami orang untuk menghindari cara berpakaian, bertutur kata dan perbuatan yang tidak sopan, dan mengingatkan mereka akan perlunya kepantasan di muka umum. Seorang imam yang periang namun cerdas dan serius dapat mendorong orang untuk memeriksa tingkah lakunya sendiri. Collar menjadi tantangan yang diperlukan bagi jaman yang tenggelam dalam ketidakmurnian, ditunjukkan dengan cara berpakaian yang tidak sopan, kata-kata hujatan dan perbuatan penuh skandal.

7) Collar adalah perlindungan bagi panggilan seseorang ketika berhadapan dengan wanita muda dan atraktif. Seorang imam yang bepergian tanpa busana klerus (dan tidak mengenakan cincin tanda adanya ikatan perkawinan) akan menjadi target yang menarik bagi wanita lajang yang mencari suami, atau bagi wanita sudah menikah yang tergiur untuk tidak setia.

8) Collar memberi semacam ”penjagaan” bagi imam. Collar mengingatkan imam akan misi dan jati dirinya: untuk bersaksi bagi Yesus Kristus, Sang Imam Agung, sebagai salah satu di antara para imam saudaranya.

9) Seorang imam yang mengenakan collar menjadi inspirasi bagi orang-orang yang berpikir: ”Inilah pengikut Yesus di zaman modern.” Collar berbicara tentang kemungkinan membuat komitmen yang tulus dan tak lekang dengan Allah. Umat beriman dari berbagai usia, kebangsaan, dan watak akan memperhatikan orang yang berbudi luhur, yang hidupnya diberikan untuk orang lain, yang dengan gembira dan bangga mengenakan busana imam Katolik, dan mungkin akan menyadari bahwa mereka juga bisa membaktikan diri mereka secara baru, atau untuk pertama kalinya, kepada Sang Gembala Yang Baik.

10) Collar menjadi sumber yang membangkitkan minat bagi non-Katolik. Sebagian umat non-Katolik tidak pernah bersinggungan dengan pemimpin agama yang mengenakan busana klerus. Dengan demikian, imam Katolik melalui cara mereka berpakaian dapat membuat orang-orang ini merenungkan--bahkan bila hanya selintas lalu--tentang Gereja.

11) Seorang imam yang berpakaian seturut yang diinginkan Gereja menjadi pengingat pada Allah dan pada hal-hal suci. Kekacau-balauan sekularisme yang bertahan sekarang ini tidak bersahabat dengan gambaran-gambaran tentang Allah, tentang Gereja dan sebagainya. Ketika seorang imam mengenakan collar, hati dan pikiran orang-orang yang melihatnya akan terarah pada ”Yang Ilahi” yang seringkali tersisih dalam agenda budaya kontemporer.

12) Collar juga merupakan pengingat bagi imam bahwa ia ”tidak pernah tidak menjadi imam”. Dengan berbagai kebingungan yang merata terjadi di jaman ini, collar dapat membantu imam untuk menghindari keraguan jati diri. Memiliki dua cara berpakaian dapat dengan mudah menghantar seseorang--dan ini seringkali terjadi--kepada dua gaya hidup, atau bahkan dua kepribadian.

13) Seorang imam yang mengenakan collar bagaikan pembawa pesan panggilan berjalan. Pemandangan seorang imam ceria dan bahagia, yang dengan penuh percaya diri berjalan di pinggir jalan dapat menjadi magnet yang menarik pemuda untuk mempertimbangkan kemungkinan Allah memanggil mereka menjadi imam. Allah yang memanggil; imam itu hanya sebuah tanda yang nampak, yang digunakan Allah untuk menarik orang kepada diri-Nya.

14) Mengenakan collar membuat imam selalu tersedia untuk melayani Sakramen-Sakramen terutama Pengakuan Dosa dan Pengurapan Orang Sakit, dan untuk situasi-situasi genting. Pemakaian collar membuat imam yang bersangkutan mudah dikenali, ini membuat imam-imam yang mengenakannya lebih mungkin didekati, terutama dalam situasi di mana kehadiran imam amat diperlukan. Para penulis artikel ini dapat bersaksi bahwa kerap kali mereka diminta memberikan pelayanan Sakramen dan dimintai bantuan di bandara, di kota-kota padat dan di desa-desa terpencil, karena mereka dengan mudah dikenali sebagai imam Katolik.

15) Collar merupakan tanda bahwa imam yang mengenakannya berjuang untuk menjadi kudus dengan cara senantiasa hidup dalam panggilannya. Untuk membuat diri setiap saat tersedia bagi jiwa-jiwa dengan selalu bisa dikenali sebagai seorang imam di muka umum sungguh merupakan sebuah pengorbanan, namun sebuah pengorbanan yang menyenangkan Tuhan Allah kita. Kita diingatkan bagaimana manusia selalu datang kepada-Nya dan tak satu pun Ia tolak. Begitu banyak orang yang akan mendapatkan manfaat dari pengorbanan kita untuk berjuang tanpa putus untuk menjadi imam-imam kudus.

16) Collar menjadi pengingat bagi umat Katolik yang ”terasing” untuk tidak melupakan keadaan mereka yang tidak beres dan tanggung jawab mereka pada Tuhan. Imam adalah seorang saksi--demi kebaikan maupun keburukan--bagi Kristus dan Gereja Kudus-Nya. Ketika seorang yang telah terpisah dari Allah melihat seorang imam, dia terdorong untuk mengingat bahwa Gereja tetap ada. Seorang imam yang ceria dapat menjadi pengingat yang baik akan Gereja.

17) Mengenakan busana klerus merupakan pengorbanan di saat-saat tertentu, terutama dalam cuaca yang panas. Mortifikasi terbaik bukanlah yang kita sendiri cari. Ketidaknyamanan akibat suhu yang panas dan lembab bisa kita persembahkan sebagai silih atas dosa-dosa kita dan juga sebagai cara untuk memohon rahmat bagi umat paroki kita.

18) Collar menjadi ”tanda yang penuh kontradiksi” bagi dunia yang telah jatuh ke dalam dosa dan perlawanan terhadap Sang Pencipta. Collar memberi pernyataan tegas: imam sebagai “alter Christus” telah menerima mandat dari Sang Penebus untuk mewartakan Injil ke khalayak ramai, tanpa pikir panjang untuk pengorbanan pribadinya.

19) Collar membantu para imam menghindarkan diri dari mentalitas sedang bertugas/tidak sedang bertugas. Angka 24 dan 7 haruslah menjadi angka istimewa untuk kita: kita adalah imam selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Kita adalah imam, dan bukan individu dengan ”profesi imam.” Bertugas ataupun tidak bertugas, kita harus selalu menyediakan diri bagi siapa pun yang dikirim Allah kepada kita. ”Domba yang hilang” tidak pernah membuat perjanjian untuk bertemu lebih dahulu.

20) Para ”perwira” dalam pasukan Kristus harus bisa dikenali. Dalam tradisi, kita mengenal bahwa mereka yang sudah menerima Sakramen Penguatan menjadi ”tentara” Kristus, menjadi orang Katolik dewasa yang siap dan bersedia untuk mempertahankan nama-Nya dan Gereja-Nya. Mereka yang telah ditahbiskan menjadi diakon, imam dan uskup harus juga siap--apa pun yang terjadi--untuk menggembalakan kawanan domba Tuhan. Maka, para imam yang mengenakan collar menunjukkan dengan jelas peran mereka sebagai pemimpin dalam Gereja.

21) Para kudus tidak pernah menerima adanya kemunduran dalam cara imam berbusana. Contohnya, Santo Alfonsus Liguori (1696-1787), Pelindung para Teologian Moral dan Pengaku Iman, dalam tulisannya yang terkenal “Martabat dan Tugas-Tugas Para Imam”, mendorong para imam untuk mengenakan busana klerus yang pantas, menegaskan bahwa collar membantu imam sekaligus umat beriman untuk mengingat kembali keagungan, kekudusan imamat yang diinstitusikan oleh Allah-Manusia.

22) Kebanyakan umat Katolik mengharapkan para imam berbusana yang sesuai dengan perannya sebagai imam. Sudah begitu lama, para imam memberikan rasa nyaman dan aman kepada umatnya. Ketika masih muda, seorang Katolik diajari bahwa imam adalah wakil Allah--seorang yang pantas untuk dipercayai. Dengan demikian, umat Allah ingin tahu siapakah para wakil Allah ini dan apa yang mereka bela/pertahankan. Kebiasaan imam mengenakan busana khusus yang ditetapkan Gereja sudah berabad-abad bisa diterima dengan baik; hal ini bukanlah ketentuan tanpa dasar. Umat Katolik berharap para imam berbusana sebagai imam dan berperilaku selaras dengan ajaran dan praktik Gereja. Sebagaimana kita amati terjadi beberapa tahun belakangan ini, umat beriman sangatlah terganggu dan merasa tersakiti apabila imam-imam secara sengaja menentang otoritas Gereja, mengajar dan berbuat sembarangan dan bahkan melakukan perbuatan dosa.

23) Hidup Anda bukanlah milik Anda sendiri; Anda milik Allah secara istimewa, Anda diutus untuk melayani-Nya dengan hidup Anda. Ketika kita bangun tiap pagi, kita perlu mengarahkan pikiran kita kepada Allah kita yang penuh kasih, dan meminta rahmat untuk dapat melayani-Nya dengan baik hari itu. Kita mengingatkan diri kita akan status kita sebagai pelayan-Nya yang terpilih dengan cara mengenakan busana yang menunjukkan kepada semua orang bahwa Allah tetap masih bekerja di dunia ini lewat kita, orang-orang miskin dan pendosa ini.

Bagian 2: Argumen yang biasa dilontarkan untuk tidak memakai busana klerus

Segudang alasan diajukan supaya para imam tidak perlu mengenakan collar. Beberapa pendapat di antaranya ada di bawah ini, berikut kami sertakan juga komentar kami.

1) ”Saya butuh waktu bagi diri saya sendiri.” Para imam, jelas memerlukan waktu khusus untuk diri mereka sendiri, terutama waktu untuk berdoa. Bagaimana pun juga, seorang imam selalu dan selamanya adalah imam. Di luar waktu-waktu yang sudah kita bicarakan dalam pembukaan di atas (waktu rekreasi, liburan, dll.), tidak ada keperluan untuk berbusana sebagai awam. Imam harus melewati waktu-waktu pribadinya tetap sebagai imam dan bukan sebagai yang lain.

2) ”Saya ingin santai.” Kita membuat kesalahan besar bila kita menyamakan mengenakan collar tersebut dengan tidak santai, dan santai berarti tanpa collar. Imam harus secara alami mengenakan collar tersebut tanpa perlu selalu menghindarinya. Kita harus melaksanakan kegiatan kita sehari-hari, termasuk juga bersantai, tanpa perlu merasa tidak nyaman dengan busana imam kita. Hal ini harus menjadi seperti kulit kedua bagi kita.

3) ” Kehidupan pelayanan dan pribadiku terpisah.” Memiliki ”kepribadian yang terpisah” bukanlah hal yang sehat. Tidak ada imam yang bisa sementara menyimpan imamatnya di rak. Menyembunyikan keimamatan seseorang seringkali merupakan gejala adanya keinginan untuk melakukan perbuatan dosa, atau sedikitnya kurang baik.

4) ”Saya perlu hiburan.” Kalau yang Anda maksud adalah hiburan yang membuat Anda merasa malu menikmatinya saat Anda mengenakan collar, maka lupakanlah hiburan tersebut, dan bukan collar-nya.

5) ”Mereka yang mengenakan collar adalah mereka yang merasa tidak aman dan mencari keamanan dengan berlindung di balik seragam mereka.” Collar bukanlah seragam yang bisa ditanggalkan di akhir hari. Namun lebih dari itu, kebijaksanaan Gereja yang benar dan teruji telah menentukan bahwa busana demikianlah yang bisa menggambarkan dengan baik siapakah seorang imam itu. Collar adalah bentuk kebiasaan yang sudah mapan, bagian di mana pelayan tertahbis menghidupi panggilan gerejawi mereka dalam ranah privat sekaligus publik. Benar juga bahwa ada orang-orang yang merasa diri mereka lebih baik karena apa yang mereka kenakan. Tapi collar dan jubah tidak semestinya dihapus berdasarkan hal tersebut. Para imam dan religius adalah orang-orang lemah dan mudah tergoda. Mengenakan pakaian yang semestinya dapat memperkuat mereka yang sedang berjalan menuju jurang dosa. Di sisi lain, mereka yang tak ingin tampil di muka umum sebagai diri mereka sendiri tampaknya memiliki rasa ketidakamanan dalam diri mereka.

6) ”Saya tidak ingin terlihat menonjol dalam kerumunan.” Hal ini adalah bagian dari kemuliaan namun juga kadang pengorbanan dari menjadi pelayan pilihan Allah: imam menonjol bukan karena pencapaian atau kebaikan mereka sendiri, namun karena mereka mewakili Yesus Kristus. Imam berbeda, tapi bukan berarti ia aneh.

7) Collar menimbulkan penghalang antara saya dan umat saya.” Beberapa imam telah menyatakan demikian di muka umum. (Contohnya, seorang imam petinggi tribunal dan seorang imam lagi yang berkarya dalam lingkungan ekumene, keduanya menegaskan pentingnya mereka tidak mengenakan collar karena khawatir akan menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi para non-Katolik dan mereka yang tidak simpatik dengan ajaran Gereja.) Mungkinkah itu berarti ada orang-orang yang berpikir apa yang direpresentasikan collar--Yesus Kristus, Gereja Katolik, imamat--adalah penghalang? Para imam harus berhubungan dengan orang sebagai imam, dan tidak pernah selain sebagai imam.

8) ”Saya tidak bisa menjadi salah satu di antara orang-orang tersebut ketika saya ’berkostum’.” Kami menjawab, ”Bagus, karena imam tidak pernah menjadi cuma salah satu di antara orang-orang.” Lagipula, mengenakan collar bukanlah “berkostum”. Justru seorang imam yang mengenakan busana awam (di luar pengecualian-pengecualian yang sah) berkostum sebagai seseorang yang sebenarnya bukan dirinya.

9) ”Saya tidak ingin menimbulkan perasaan tidak nyaman untuk non-Katolik atau tampak terlalu provokatif dalam masyarakat yang pluralistik.” Beberapa orang menghina Yesus ketika Ia dulu berjalan di Palestina. Apakah kita mencoba untuk lebih ”ramah” dari-Nya? Atau mungkin kita takut menderita demi nama-Nya? (Catatan penerjemah: Biksu Budha di Indonesia senantiasa mengenakan busana mereka yang khas. Dengan busana itu mereka dikenali, dihormati dan disegani oleh berbagai kalangan, termasuk oleh kalangan non-Budha.)

10) ”Busana klerus untuk Gereja klerus--Saya percaya bahwa ada kesetaraan di antara seluruh umat beriman.” Tidak ada ide seperti Gereja klerus yang akan diakui. Hanya ada satu Gereja, dan imamat adalah bagian konstitutif dari Gereja yang tidak dapat dihapuskan. Kesetaraan seluruh umat beriman tidak membantah keberagaman panggilan dan pilihan cara hidup dalam Gereja. Bagi para imam, untuk membebaskan diri sendiri dari tugas-tugas kehidupan imamatnya, termasuk di antaranya pemakaian collar, adalah bentuk klerikalisasi yang memungkiri hak umat beriman untuk mengenal imam mereka sehingga mereka bisa mencari para imam untuk meminta pelayanan kapan pun diperlukan.

11) ”Karya saya di antara kaum muda terintangi dengan adanya collar.” Banyak imam yang mengaku bahwa pelayanan kepada kaum muda justru meningkat dan bukan terhalangi dengan mengenakan collar. Pemuda dan pemudi bisa melihat kecintaan dan pengabdian si imam kepada Tuhan dan Gereja. Dan karena tidak ada alasan bagi si imam untuk menunjukkan ”Saya pun seperti Anda” (karena bukan demikian adanya) imam tersebut bisa dengan gembira mengenakan collar-nya ketika berada di antara kaum muda, tahu bahwa tak ada yang perlu dia buktikan ataupun dia sembunyikan. Dia hanya perlu menunjukkan cinta dan kasih dari Sang Penyelamat.

12) ”Pakaian tidak menjadikan orang--umat Allah dapat melihat imamat saya melalui cara hidup saya, dan bukan cara berpakaian saya.” Pernyataan ini ada benarnya. Namun cara berpakaian yang sah yang ditetapkan oleh Gereja tidaklah menyembunyikan siapa imam itu sebenarnya; sebaliknya, hal ini justru menyoroti bahwa benar ia seorang imam yang diwajibkan oleh Gereja untuk berpakaian sesuai ketentuan sebagaimana ia berusaha untuk meneladani Sang Imam Utama.

13) ”Simbol-simbol eksternal bukanlah kesukaan saya--Saya adalah saya, saya tidak ingin menjadi orang seperti yang diinginkan orang lain.” Persis. Sebagai imam, kita harus menjadi imam dan dengan sukacita dan penuh kerendahan hati memberikan pesan yang jelas itu kepada orang lain. Ketika collar dengan cepat ditanggalkan beberapa dasawarsa yang lalu, alasan yang sering muncul adalah: ”Apa yang penting adalah yang ada di dalam hati saya … Saya tidak memerlukan cara berpakaian apa pun untuk menunjukkan imamat saya.” Hidup kita harus menunjukkan sifat-sifat ini tanpa perlu malu; kalau tidak, kita mungkin hanya mencari kesenangan kita sendiri dan bukan kehendak Kristus. Kita selalu menggunakan simbol-simbol, dan tidaklah perlu merasa malu akan hal itu. Mengenakan collar dengan penuh ketaatan dan kerendahan hati menunjukkan kepasrahan pada otoritas Allah dan Gereja Kudus-Nya.

14) “Imam-imam yang mengenakan collar selalu terkesan kaku, super konservatif, tidak fleksibel, kaum elit, sombong dan cari perhatian diri. Saya bukan seperti itu.” Pernyataan ini dibuat karena ada imam-imam yang berbusana imam memiliki hasrat yang tidak sehat untuk selalu merasa dibutuhkan dan dikenali; mereka hanya mengenakan kerah untuk mendapat pujian dan untuk ”menjadi tuan besar” atas umat awam; mereka mencari diskon khusus atau barang gratisan di toko-toko dan restoran. Namun ini juga merupakan penilaian yang kurang adil bagi mereka yang mencoba untuk hidup sebagaimana diminta oleh Gereja. Collar berarti kehidupan sederhana dan kerendahan hati di hadapan Allah. Bagi imam yang berkata, ”Saya tidak seperti imam-imam menyedihkan itu yang masih mengenakan atribut klerikalisme kuno masa Tridentinum,” hal ini mungkin dikatakan untuk mengurangi rasa bersalahnya untuk tidak melakukan apa yang diminta Gereja.

Buah Pikiran Akhir

Tak bisa disangkal, sebagian besar masyarakat Barat menunjukkan dekadensi dengan melenyapkan segala tanda dari yang transenden.

Untuk menentang keadaan yang demikian, para imam, yang diteguhkan oleh Roh Kudus dengan iman yang kokoh dan semangat perutusan yang benar, harus berusaha untuk bekerjasama dengan Sang Pencipta unuk menghidupkan kembali dunia dengan perasaan hormat dan tanggung jawab pada Allah.

Collar, jauh dari sekedar pengingat akan perintah Gereja yang mewajibkan busana klerus bagi para imamnya, merupakan penanda yang amat diperlukan akan adanya Penolong yang memanggil setiap orang untuk mengenali kasih tanpa pamrih dan keagungan Tritunggal Maha Kudus.

Para imam yang mengenakan collar mungkin akan diserbu dengan banyak keberatan. ”Kita adalah Gereja … kita semua adalah imam … tidak ada tempat bagi perbedaan kelas dalam Gereja abad keduapuluhsatu…” Bahkan mungkin beberapa rekan imam akan menaruh curiga, yakin bahwa ia kurang hati-hati dalam bertindak. ”Mengenakan collar hanya akan membuat Anda menjadi target dan korban … Anda akan menyesal.”

Namun para imam yang mengenakan collar, selain menaati hukum Gereja dan permintaan tulus Bapa Suci, juga menunjukkan kerinduannya untuk menghadirkan Sang Juru Selamat ke dalam dunia yang telah rusak. Betapapun banyaknya penganiayaan yang akan ditemui oleh imam yang mengenakan collar, ia tahu benar bahwa upahnya pun besar: yaitu dapat membawa orang lain kepada Kristus meskipun ia sendiri mempunyai banyak kelemahan.

Bagi para imam yang selalu mengenakan collar kami ingin berkata: Teruslah melakukannya! Bagi mereka yang belum, kami mau berkata: tiliklah makna dari sesuatu yang mungkin terlihat begitu remeh dari sebuah pakaian. Perhatikan bahwa tugas-tugas imamat yang Anda lakukan sekarang tidak akan mendapat kendala melainkan akan meningkat saat Anda mengenakan busana yang sesuai dengan kebiasaan suci Gereja.

Busana Liturgi Uskup



Saya pernah menulis mengenai Busana Uskup di majalah [Liturgi - Terbitan KWI] ini, tepatnya di Vol 20 No 1 - Jan-Feb 2009. Tulisan yang kali ini akan lebih baik kalau dibaca setelah membaca kembali tulisan yang sebelumnya. Kalau majalah Anda sudah tidak ada, Anda dapat menemukan tulisan tersebut di sini.

Yang dimaksud busana liturgi uskup dalam hal ini adalah busana yang dikenakan uskup saat upacara-upacara liturgi, termasuk di antaranya Misa, Ibadat Harian dan berbagai kesempatan memberikan sakramen dan sakramental.

Selain busana liturgi, uskup juga mempunyai busana resmi dan busana sehari-hari, yang dikenakan dalam acara-acara yang bukan upacara liturgi. Contohnya, saat menerima tamu, menghadiri berbagai rapat dan undangan, dan termasuk juga menghadiri wisuda universitas Katolik.

Pada prinsipnya busana liturgi uskup yang paling mendasar dan pertama adalah yang dalam Caeremoniale Episcoporum (CE-Tata Upacara Para Uskup) disebut sebagai Habitus Choralis, seperti yang dikenakan oleh Uskup Surabaya YM Vincentius Sutikno Wisaksono pada gambar di samping, yaitu:jubah ungu setakat mata kaki (1) dan sabuk sutera ungu (2); rochet dari linen atau bahan sejenis (3); mozetaungu (4); salib pektoral, dengan tali anyaman warna hijau-emas (5) (bukan dengan rantai); pileola ungu (6), yang mungkin lebih dikenal dengan nama solideo atau zucchettobiretaungu (7); cincin (8); dan stocking/kaos kaki ungu (tidak terlihat).

Jubah ungu (1) adalah jubah liturgi uskup. Sama dengan jubahresminya yang berwarna hitam/putih, jubah ungu ini dilengkapi dengan aksen warna merah (bukan ungu) di bagian tepi, lubang kancing dan kancing. Yang beda, bagian lengan bawah jubah ungu ini, yang ditekuk ke atas sekitar 20-25 cm, dilapis dengan sutera warna merah.

Sabuk sutera ungu (2) uskup untuk keperluan liturgi dan non liturgi sama saja barangnya. Sabuk ini dikenakan di dada bagian bawah, bukan di pinggang.

Rochet (3) adalah busana khusus uskup yang mirip dengan superpli. Bedanya, bagian lengan rochet sempit dan superpli (seharusnya) lebih lebar. Biasanya, bagian bawah badan dan lengan rochet terbuat dari renda yang cukup lebar.

Mozeta ungu (4) adalah mantol kecil yang hanya boleh dipakai oleh uskup. Sebelum reformasi aturan busana di tahun 1969,mozeta bahkan hanya boleh dipakai uskup kala ia berada di dalam wilayah keuskupannya. Selain uskup, ada beberapa ordo dan kanon reguler, yang sejak ratusan tahun lalu oleh Paus diberikan hak mengenakan mozeta (dengan warna lain). Termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah para Fransiskan, Karmelit, Dominikan dan Kanon Reguler Salib Suci. Mozeta atau apapun namanya, yang bentuknya mirip dengannya, hendaknya tidak dikenakan oleh misdinar, seperti yang marak belakangan ini.

Salib pektoral pasangan jubah ungu harus digantung dengan tali anyaman warna hijau-emas (5). Untuk jubah resmi warna hitam/putih, salib pektoral digantung dengan rantai. Salib pektoraldengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas mozeta. Dalam Misa,salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas alba dan di bawah kasula dan dalmatik pontifikal (bukan di atas kasula). (Bdk. CE 61)

Pileola atau solideo atau zucchetto ungu (6) adalah topi bundar dan kecil. Sesuai tradisi, pileola sebenarnya dikenakan oleh semua klerus. Pileola imam berwarna hitam, uskup ungu, kardinal merah dan Paus putih. (Catatan: Seturut tradisi, jubah imam berwarna hitam; meski begitu, putih selalu boleh digunakan imam, uskup dan kardinal di daerah tropis) Awalnya, pileola adalah pelindung kepala dari hawa dingin, untuk dikenakan oleh semua klerus yang sudah di-tonsura (dicukur gundul, seperti sering kita lihat pada gambar/patung St. Fransiskus Asisi atau St. Antonius Padua).

Bireta ungu (7) adalah topi segi empat yang dikenakan di ataspileolaBireta uskup berwarna ungu dan bireta imam berwarna hitam, keduanya dilengkapi dengan pom yang sewarna. Biretakardinal berwarna merah, terbuat dari sutera bermotif air, dan tidak dilengkapi dengan pom.

Cincin (8) senantiasa dikenakan uskup, sebagai simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya. (Bdk. CE 1199)

Cappa Magna atau mantol kebesaran uskup warnanya ungu, seperti tampak pada gambar di samping. Cappa magna tradisional dalam foto di samping panjangnya 8 meter.Cappa magna modern panjangnya hanya 4.5 meter, baik untuk uskup maupun kardinal. Cappa magna boleh dikenakan uskup hanya di dalam wilayah keuskupannya dan untuk perayaan-perayaan yang paling agung. (Bdk. CE 1200)

Uskup mengenakan busana liturgi tersebut di atas saat ia bepergian secara resmi di depan publik ke atau dari gereja, saat ia hadir dalam suatu upacara liturgi tetapi tidak memimpinnya, dan dalam berbagai kesempatan lain yang dinyatakan dalam Caeremoniale Episcoporum. (Bdk. CE 1202)

Secara khusus, uskup diminta mengenakan busana liturgi di atas saat kunjungan pastoral (Bdk. CE 1179). Saat itu, uskup hendaknya disambut di pintu (gerbang) gereja oleh pastor paroki yang mengenakan cappa/pluviale dan membawa salib untuk diciumnya. Pastor paroki kemudian menyerahkan aspergil dan air suci, agar uskup dapat memberkati dirinya sendiri dan semua yang hadir menyambutnya. (Bdk. CE 1180)

Uskup agung mengenakan jubah liturgi yang persis sama dengan uskup. Kardinal pun juga, hanya saja warnanya merah dan khusus bahan suteranya menggunakan sutera bermotif air. Bahan sutera bermotif air ini hanya boleh dikenakan oleh kardinal dan utusan khusus Paus (misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan). Sutera bermotif air untuk nuntius, yang adalah uskup agung, berwarna ungu.

Selain jubah ungu lengkap dengan asesorisnya tersebut di atas, pada dasarnya hanya ada dua macam busana liturgi yang dikenakan uskup. Keduanya sama juga dengan busana liturgi imam, yaituCappa/Pluviale dan Kasula/PlanetaPluviale dikenakan saat prosesi, saat memberikan berbagai sakramen dan sakramentali, saat memimpin Ibadat Pagi (Laudes) dan Ibadat Sore (Vesper) dan saat Misa, bila ia tidak memimpinnya atau tidak berkonselebrasi. Untuk Ibadat Bacaan, Tengah Hari dan Penutup (Completorium), baik memimpin atau tidak, uskup dapat mengenakan habitus choralisjubah ungu di atas, lengkap dengan asesorisnya. Kasula dikenakan saat Misa.

Singkatnya, busana liturgi mendasar untuk uskup adalah Habitus Choralis di atas, dan untuk upacara liturgi yang lebih meriah, dikenakan Pluviale/Cappa, dan khusus untuk Misa, dikenakanKasula/Planeta.

Para ahli busana Gereja mengatakan bahwa sebenarnya kasula adalahpluviale yang dijahit di bagian depannya. Keduanya sama-sama berasal dari bahan kain setengah lingkaran. Pluviale juga adalah busana yang umum bagi para biarawan-biarawati dan anggota koor, untuk upacara liturgi yang meriah, sesuai tradisi.

Foto samping: Saat Perarakan Minggu Palma, Paus mengenakan pluviale dan didampingi dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik. Perhatikan cara kardinal diakon memegang pluviale Paus selama prosesi, sesuai tradisi.

Berikut adalah tambahan asesoris khusus untuk uskup yang mengenakan kasula, untuk dikenakan saat Misa Stasional di Katedral ataupun Misa Agung lainnya (Bdk. CE 56 & 62).

Dalmatik Pontifikal sebenarnya sama dengan dalmatik diakon biasa, hanya yang ini bisa berwarna putih polos saja atau bisa ditambah dengan hiasan garis-garis sederhana. Busana ini dipakai di bawahkasula.

Foto-foto di samping: Saat Pencucian Kaki pada Misa Kamis Putih, Paus melepas kasula, maka nampaklah dalmatik pontifikal yang dikenakannya di bawah kasula, plus juga apron putih yang diikatkan di pinggang, yang biasanya dikenakan saat uskup memberikan sakramen krisma.

Pallium adalah kalung putih yang dikenakan di atas kasula.Pallium adalah asesoris khusus untuk uskup agung metropolitan, yaitu uskup agung yang memimpin suatu keuskupan agung. (Catatan: Ada uskup agung yang tidak memimpin keuskupan agung, misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan dan pejabat-pejabat Kuria Romawi di Vatikan) Pallium dianugerahkan langsung oleh Paus kepada semua metropolitan yang baru diangkat, sekali dalam setahun, pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, (29 Jun) di Vatikan (lihat foto penganugerahan pallium di atas: Paus mengenakan pallium dan uskup agung metropolitan yang berlutut di depannya baru saja menerima pallium dari Paus. Seremoriarius di sebelah kiri, Mgr. Francesco Camaldo, sedang memegang palliumjuga). Pallium hanya dikenakan oleh seorang metropolitan saat ia memimpin Misa di dalam wilayah keuskupan agungnya (termasuk dalam wilayah keuskupan sufragannya).

Saat tiba di gereja untuk upacara liturgi, uskup yang mengenakan busana liturgi jubah ungu di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoralmozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amikalbasingelsalib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas dan stola. Di atas itu semua, uskup mengenakanpluviale, atau bila ia memimpin atau berkonselebrasi dalam Misa, uskup mengenakan dalmatik pontifikal (untuk Misa Agung) dankasula serta pallium (untuk Misa Agung, khusus metropolitan).

Berikut adalah tambahan asesoris untuk uskup, saat mengenakankasula atau pluviale, untuk upacara agung (Bdk. CE 56 & 62).

Mitra bagi seorang uskup kurang lebih sama makna dan kegunaannya dengan mahkota bagi seorang raja. Dalam tradisi Gereja Katolik, ada tiga macam mitra uskup, yaitu mitra preciosa, semi-preciosa dan mitra linen putih polos. Mitra preciosa adalah mitra yang indah dan berharga, seringkali memakai benang emas atau perak dan dilengkapi juga dengan batu permata. Mitra semi-preciosa adalah mitra yang selama ini kita lihat dipakai banyak uskup di Indonesia. Mitra putih polos dari bahan kain linen (atau kain sutera damask untuk kardinal) adalah mitra yang dipakai saat uskup berkonselebrasi, ataupun saat Misa Arwah. Satu catatan kecil, seturut tradisi, lambang uskup dapat digunakan dalam mitra, tetapi penempatannya biasanya di ujung bawah kedua pita besar di belakang dan bukan di bagian depan mitra (lihat foto di atas). Catatan: Pita berujung hitam dan bersalib merah yang ada di tengah adalah pallium, dilihat dari belakang.

Tongkat dipakai uskup hanya dalam wilayah keuskupannya. Uskup tamu yang memimpin suatu upacara agung, atas perkenan uskup diosesan setempat, dapat juga memakai tongkat. Saat beberapa uskup hadir dalam suatu upacara, hanya satu uskup pemimpin upacara yang memakai tongkat. (Bdk. CE 59)

Senin, 22 Agustus 2011

Sepatu Yesus Buatmu



Bacaan Hari Minggu kemarin mengawali seluruh permenungan kita pada minggu ini dengan kisah tentang syarat-syarat mengikuti Yesus. Yesus bilang, barangsiapa yang tidak memikul salibnya dan mengikuti aku, ia tidak dapat menjadi muridku. Saya membayangkan dua syarat utama ini sebagai sepasang sepatu Yesus, sepatu kemuridan. Anda tentu ingat pepatah terkenal ini : "If you want to know how I am, walk a mile with my soes" jika kamu pingin tahu dan kenal siapa aku, berjalanlah satu mil dengan sepatuku sendiri. Untuk tahu dan mengenal Yesus hal yang sama juga berlaku yakni memakai 'sepatu' yang ia pakai.
Sepatu pertama adalah 'memikul salib'. Salib jangan dipikir sebagai penderitaan melulu walaupun penderitaan juga bagian dari salib. Salib adalah segala hal yang tidak mengenakkan, segala resiko yang harus kita tanggung akibat pilihan kita untuk mencintai dan melaksanakan kehendak Allah. Kalau anda membaca seluruh Injil Markus, Yesus menjalani jalan salib sepanjang hidupnya. Sejak ia di padang gurun, komitmennya dirongrong oleh godaan kuasa, harta dan kesenangan. Dalam karyanya Ia digoda untuk memperkenalkan diri sebagai Mesias lebih pada tanda-tanda mukjizat daripada cinta kasih yang kelak juga ia akan buktikan saat wafat di salib. Ia bahkan digoda untuk turun dari salib juga. Memikul salib sekalil lagi adalah seluruh pengalaman yang harus kita tanggung akibat pilihan kita untuk mencintai seperti Yesus.
akan tetapi, pengalaman yang tidak enak itu diubah menjadi berkat dan diubah menjadi pengalaman yang membahagiakan kalau kita memakai sepatu yang kedua: mengikuti Yesus. Lucu dan tidak enak bukan kalau hanya memakai sepatu sebelah saja? Maka sepatu kedua adalah pribadi Yesus sendiri. Jangan memisahkan sepatu pertama dari yang kedua ini; salib dari pribadi Yesus sendiri. Mengikuti Yesus berarti hidup seturut cara hidupnya yakni berpikir dan bertindak seperti Dia. Untuk tahu bagaimana cara pikir dan cara Dia bertindak, bacalah Injil. Sekarang bagi kita umat Katolik, adalah bulan kitab suci. Sudahkan anda meluangkan waktu untuk membaca dan merenungkan Injil sejenak? Kalau belum, ambil dan bacalah agar anda bisa terus berlangkah menyusuri jalan dan petualangan hidup anda di dunia ini dengan lebih nyaman.
Kemarin sore setelah membetulkan beberapa sepeda di Wisma Xaverian Yogyakarta, saya bergegas mandi karena sudah janjian dengan seorang calon frater untuk berdoa rosario berdua. Waktu saya naik ke lantai III di mana saya menjemur pakian saya, saya kepalang kaget melihat air sudah tergenang setinggi tumit kaki saya. Rupanya bandul tower air rusak sehingga pompanya tidak mau berhenti, jadilah air meluap tanpa seorangpun tahu. Tanpa pikir panjang saya segera mengambil ember dan gayung untuk menyelamatkan lantai III itu. Saya khwatir sekali kalau air itu merembes melaui plafon dan juga merusak instalasi listrik. Satu setengah jam saya dan dan tiga orang calon frater yang membantu berjuang mengeringkan lantai III itu. Saya rasakan seperti 'memndahkan air laut saja. Kok gak abis-abisnya!". Akhirnya air itu berhasil dikeringkan. Malam kemarin sungguh melelahkan bagi saya. Selain itu saya merasakan malam itu beberapa kegiatan yang saya rencanakan batal, tapi saya tetap merasa senang. Kepada tiga orang teman itu saya katakan, "yah...kita sebenarnya, tidak memutus doa atau batal berdoa tapi sebenarnya melanjutkan doa-doa kita dengan pekerjaan itu. Saya sendiri yakin akan hal itu. Inilah contoh sederhana bagaimana mencintai. Menanggung hal-hal yang tidak enak seperti perasaan lelah, atau mungkin kecewa itulah salib yang mesti dipikul dalam kegembiraan cinta.
Saya yakin, dengan terus memakai sepasang sepatu Yesus, hidup kita terus bahagia dan menjadi berkah bagi orang lain. Dengan sepatu yang sama pula, bahkan kita bisa bukan saja memindahkan air, tapi juga memindahkan air laut. Dalam cinta sejati, segala sesuatu mungkin saja dilakukan.

Salam,
ronald,s.x.

Mengapa Aku Mengikuti Yesus

Mengapa Aku Mengikuti Yesus? Saya sendiri sering bertanya-tanya: mengikuti Kristus untuk apa sih? Mau masuk surga? Ya kurang lebih begitu. Saya dibaptis sejak bayi. Bukan saya sendiri yang ambil keputusan untuk mengikuti Yesus. Melalui orang tua, aku dipilih dipanggil untuk menjadi anak Allah, pengikut Yesus dalam naungan teladan St. Thomas (nama baptisku). Itu yang terjadi, dan aku bersyukur karena orang tua mendengar panggilan suci ini, menyerahkan diriku dibaptis. Dalam pendidikan agama selanjutnya aku tahu Allah Bapa maha baik dan pengampun. Dia menjanjikan kehidupan abadi, surga bagi anak-anaknya, berkat Yesus Kristus. Lha kalau begitu terus terang saja aku punya keyakinan yang besar, kelak aku akan masuk surga. Jadi untuk apa tetap ikut Yesus dan mendengarkan perintahnya?Orang sebodoh dan sedangkal aku, hanya menemukan tiga alasan: Menjaga identiasku, untuk kepentinganku saat ini, dan menghindari dosa maut. 

1. Identitas yang Jelas
Dengan dibaptis aku dijadikan satu dengan gereja, aku mempunyai identas yang jelas, seperti ditulis st. Paulus dalam awal suratnya kepada umat Korintus (1Kor 2)"Mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi orang-orang kudus."He he ini tidak sepele. Sejak awal aku ternyata sudah dikuduskan ditebus Kristus bebas dari tempelan dosa asal. Kalau dijual di toko, labelku tertera keterangan "purified by Jesus". Aku sudah disucikan dan dikhususkan untuk Allah. Indah, sungguh indah. Agung, sungguh agung, rahmat pembaptisan ini. Tidak sekedar menambahkan embel-embel nama keren "Thomas" di depan nama jawa kampungku "Subandriyo" tetapi mengubah seluruh format jiwa dan eksistensiku. Aku bangga. Aku bukan lagi manusia "entah siapa" yang "entah bagaimana". Tanda merek yang terpasang di dadaku sangat jelas:"Yang dikuduskan oleh Kristus" atau "Holy Man". Karenanya aku tidak mau mengkhianati Yesus penebus yang sudah menjadikan aku manusia mulia ini. Dia akan kuikuti dan kudengarkan.
Lagi pula benar yang dikatakan Paulus tentang aku yaitu, "...yang dipanggil menjadi orang-orang kudus". Sambungan kalimat ini memberi keterangan bahwa identitasku harus kujalani, aku laksanakan dalam hidup nyata. Khan lucu kalau aku mengaku kepada kalian, lihat penulis ini adalah orang kudus, tetapi kelakuanku di hidup nyata 99% dursila. Untuk itulah aku tetap mengikuti Yesus. Maaf ya Yesus. Aku masih butuh ajaran penuntunMu, teladan yang menguatkan, dan rahmat yang memberi semangat untuk hidupku. Sampai kapanpun, selama masih menjadi manusia, aku pasti memerlukanMu, Yesus.

2. Untuk kepentinganku saat ini.
Hidup bahagia di surga nanti, saya percayakan kepada Yesus dan Bapa sang pengasih. Tempatku pasti sudah diatur dan disediakan. Tetapi hidup di dunia ini adalah nyata. Aku bergaul dengan orang-orang yang tidak sepenuhnya mau taat kepada Allah. Mereka bisa menyakiti aku, membuat aku bersedih hati, memancing emosiku dan mengajakku berdosa. Karena gerak keinginanku sendiri (yang tetap manusiawi), karena terhimpit situasi nyata, setiap saat aku terancam masuk dalam hidup yang tidak sehat, pilihan yang sesat. Kalau aku turuti jalan itu hasilnya bisa ditebak. Kebahagiaan hidupku akan lenyap. Mengikuti Yesus adalah jalan tepat untuk menjaga hidupku di dunia ini tetap bahagia. Mungkin jalannya susah, ada korban dan derita tapi aku pasti bahagia. Bukankah dengan begitu aku sudah dapat menikmati surga pada sat ini juga? Bersama Yesus tentu.

3. Menghindari dosa maut.
Aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang membenci orang tua sendiri dan akhirnya meninggalkan keluarga. Keluargaku dengan Allah sebagai kepalanya adalah keluarga bahagia. Aku tidak mau meninggalkannya. Bapaku tidak pernah bersalah kepadaku. Dia memberiku segala kasih agar aku kerasan tinggal di rumah. Dia juga tidak pernah terlambat memberikan nasehat dan rahmat setiap kali aku atau anaknya yang lain mau meninggalkannya. Celakalah anak yang tidak mau menerima uluran tangan itu dan tetap bersikeras pergi, menolak orang tuanya, meninggalkan kebahagiaan sejati. Itulah dosa maut. Dosa yang paling besar, yaitu menolak kasih Allah. Orang seperti ini sudah tidak terselamatkan lagi.
Di duniaku saat ini, godaan untuk meninggalkan Allah secara total, menolak surga sejati, sangatlah nyata. Aku melihat ada dua sebab yang sangat kelihatan.
  • Kesombongan diri yang berlebih. Manusia menganggap bisa menyelesaikan segala persoalan hidup dengan otak dan teknologi yang diciptakannya. Sampai batas tertentu berani mengatakan, "di sini Allah tidak diperlukan lagi". Secara teoritis pandangan ini jarang disebut tetapi lebih terjadi dalam praktek hidup. Semacam ateisme praktis. Kehidupan modern banyak dirasuki semangat ini: Allah tidak diperlukan.
  • Kesibukan melayani hasrat pribadi.
Aku yang hidup di lingkungan modern seperti ini merasa sangat aman ketika tetap menggendong tangan Yesus, kakak sulungku. Dia tidak akan membiarkan aku pergi meninggalkan Allah bapaku.