Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Rabu, 28 Desember 2011

Menumbuhkan Kesabaran & Kegigihan

    Apa modal Anda untuk sukses dalam hidup ini? Harta yang melimpah? Kepandaian otak yang Anda miliki?

    Ada seorang yang cacat. Tangan kanannya tidak bisa ia gerakan sejak ia lahir. Kaki kanannya pun pincang. Namun pria ini sangat aktif dengan menggunakan tangan kirinya. Ia belajar bersama anak-anak normal di sekolah. Segala pekerjaan ia lakukan dengan tangan kirinya. Ia tidak minder. Ia melakukan semua pekerjaan rumah dengan baik dan benar. Di sekolah, ia bukan anak yang bodoh. Otaknya encer. Ia sering menduduki rangking pertama dalam kelasnya.

    Setelah menyelesaikan semua pendidikan dasar, ia meneruskan ke perguruan tinggi. Di sana ia juga tidak mengalami kesulitan dalam belajar. Ia lulus dengan pujian. Bukan hanya soal teori. Tetapi ia juga pandai dalam mempraktekkan ilmu yang diperolehnya di bangku kuliah.

    Dengan modal sarjana, ia melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang menjual sabun terkenal. Ia melamar menjadi salesman. Namun kemampuannya diragukan oleh pimpinan perusahaan itu. Awalnya ia diberi pekerjaan di bagian administrasi. Namun lama-kelamaan ia merasa jenuh. Ia merasa bahwa kemampuannya menjadi lebih baik, kalau ia menekuni bagian penjualan.

    Setelah mengajukan diri untuk menjadi salesman, ia diterima. Ia mulai berjuang dari rumah ke rumah untuk menjual produk dari perusahaan sabun itu. Dengan kakinya yang timpang dan tangan kanan yang tidak bisa digerakkan, ia berhasil membujuk para pembeli. Ia berhasil. Dua kata yang selalu ia pegang teguh dari sang ibu adalah kesabaran dan kegigihan. Tahun itu, ia menjadi penjual terbaik yang memasarkan produk sabun. Ia mendapat hadiah dari perusahaan.

    Sahabat, sering orang lupa bahwa dalam hidup ini orang membutuhkan kesabaran dan kegigihan. Orang mudah meninggalkan pekerjaannya, ketika ada tantangan dan rintangan. Orang merasa dirinya tidak mampu menghadapi rintangan itu. Orang lebih mudah mencari hal-hal yang gampang untuk dikerjakan. Apalagi kalau hal itu mendatangkan banyak uang.

    Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dalam hidup ini yang kita butuhkan adalah kesabaran dan kegigihan. Meski tubuhnya tidak normal seperti umumnya orang-orang, namun pria itu yakin ia bisa menjalani hidup ini dengan baik. Karena itu, ia mengembangkan kesabaran dan kegigihan. Ia yakin, dua kata ini mampu memberi motivasi bagi dirinya untuk sukses.

    Orang beriman mesti memiliki kesabaran dan kegigihan dalam hidupnya. Hanya dengan cara ini, orang mampu menjalani hidup ini dengan baik dan benar. Berbagai godaan sering menjerumuskan manusia pada sikap gegabah dalam hidupnya. Orang tergoda untuk tidak sabar. Orang tergoda untuk cepat-cepat meraih sukses dalam waktu singkat. Akibatnya, banyak hal negatif yang mereka alami dalam hidup ini.

    Mari kita tumbuhkan kesabaran dalam hidup kita. Kita bercermin dari Tuhan yang sabar terhadap kita. Kalau kita melihat diri kita yang penuh dengan kelemahan dan dosa ini, kita mesti sadar bahwa Tuhan begitu sabar menantikan kita untuk bertobat. Tuhan ingin kita kembali ke jalan yang benar dengan mengembangkan semangat sabar dan gigih. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ

RENUNGAN BACAAN

RENUNGAN BACAAN
bacaan Hari minggu Masa Natal
TAhun B

TIGA PASANG BERKAT
    Petikan dari Kitab Bilangan ini menampilkan rumus berkat yang difirmankan Tuhan kepada Musa untuk disampaikan kepada para imam keturunan Harun. (Menurut Kel 28:1-43; terutama ay. 41, Harun dan keturunannya diresmikan sebagai pemegang jabatan imam.) Kata-kata berkat itu sendiri termaktub dalam Bil 6:24-26. Seperti dijanjikan Tuhan, bila kata-kata itu diucapkan, Dia sendirilah yang akan memberkati. Masing-masing ay. 22-26 itu terdiri dari dua bagian yang saling menjelaskan (ay. 24: memberkati - menjagai; ay. 25: menyinarkan wajah - menyayangi; ay. 26: memandangi - menaruh kedamaian). Selain itu, seluruh rumus berkat diungkapkan dalam tiga ucapan berkat. Pengulangan tiga kali, entah dari segi bunyi ("kudus, kudus, kuduslah Tuhan" [Yes 6:3]), entah dari segi makna (seperti di sini) mengundang sikap hormat dan khidmat akan kehadiran Yang Ilahi dalam keagungan-Nya (Bandingkan dengan ulasan mengenai silsilah Yesus [Mat 1:1-17] yang terdiri dari 3 kali 2 kali 7 keturunan dalam uraian bagi Injil Misa Vespertina Natal).

"SEMOGA TUHAN MEMBERKATIMU DAN MENJAGAIMU"

    "Memberkati" dan "menjagai". Ungkapan kedua menegaskan yang pertama. Jadi memberkati berarti menjagai, melindungi dari kekuatan-kekuatan jahat. Lawan memberkati ialah mengutuk dan kutukan terbesar ialah membiarkan orang menjadi mangsa daya-daya maut. Dalam kesadaran orang dulu, kekuatan-kekuatan jahat tak perlu didatangkan atau diguna-gunakan. Daya-daya hitam itu sudah ada di sekeliling dan selalu mengancam. Namun demikian, mereka tak bisa menembus garis lingkaran berkat yang ditoreh oleh Tuhan dengan sabda-Nya. Dalam arti ini, kawasan berkat ialah ruang hidup bagi ciptaan, bagi kita. Tak mungkin ada yang bisa hidup di luar ruang itu. Ada cerita menarik. Seorang ahli tenung digdaya dari Aram, Balaam namanya, didatangkan oleh Balak, raja Moab, untuk menyihir kalang-kabut orang-orang Israel yang berjalan lewat di situ (lihat Bil 22-24). Namun demikian, Balaam menyadari bahwa ilmu tenungnya tak berguna karena Tuhan tidak membiarkan orang Israel berjalan di luar ber*kat-Nya (Bil 23:8-9). Tuhan memberkati mereka dan Balaam mengakui tidak mampu membalikkannya (Bil 23:20). Malahan Balaam akhirnya ikut memberkati (Bil 24:1-9) dan bahkan sampai tiga kali (Bil 24:10)!
    Kita merayakan Tahun Baru dan mengharapkan berkat Tuhan. Apa yang bisa kita harapkan? Kita mohon agar Ia melindungi kita dari kekuatan-kekuatan jahat yang akan kita jumpai dalam perjalanan 12 bulan mendatang ini. Kita minta ruang hidup yang leluasa. Yang biasa menjalankan kekuatan-kekuatan jahat akan menjadi seperti dukun tenung Balaam: tidak lagi berbahaya. Malah kekuatannya akan beralih menjadi berkat. Ini kehebatan Tuhan yang menjagai orang-orang-Nya. Ia tak perlu memusnahkan lawan-lawan. Akan ada rekonsiliasi - rujuk kembali - dan mereka malah akan mengiringi perjalanan dalam waktu.

"SEMOGA TUHAN MENYINARKAN WAJAH-NYA KEPADAMU DAN MENYAYANGIMU"
    Dalam ay. 25 ini, "menyinarkan wajah" dijelaskan sebagai "menyayangi". Orang Perjanjian Lama yang memikirkan wajah Tuhan yang bersinar kepadanya juga ingat lawan katanya, yakni wajah yang garang. Namun demikian, wajah garang tidak dipakai untuk menggambarkan Tuhan, sekalipun Ia sedang marah. Ungkapan ber-"wajah garang" biasa dikenakan kepada penguasa yang lalim, kepada para musuh, kepada sisi gelap kemanusiaan. Wajah garang membuat orang jeri tapi sebenarnya tidak bersimaharajalela terus-menerus. Waktunya sudah bisa dihitung. Ini jelas misalnya dalam penglihatan yang diperoleh Daniel, lihat Dan 8:23 dst.
    Satu hal lagi dapat dicamkan. Manusia bisa juga bersinar wajahnya, mirip Tuhan, namun ia juga bisa berwajah garang. Hidup manusia itu kancah perbenturan antara terangnya wajah Tuhan dengan garangnya daya-daya jahat. Ini perkara teologis yang siang malam mengusik benak orang-orang pandai dalam Perjanjian Lama. Kohelet, sang Pengkhotbah, memecahkannya dengan pertolongan hikmat. Dalam Pkh 8:1, dikatakannya bahwa hikmat kebijaksanaan membuat wajah orang menjadi bersinar dan mengubah kegarangan wajahnya. Teologi kebijaksanaan ini menjelaskan berkat dalam Bil 6:25 tadi. Dengan hikmat kebijaksanaan, orang dapat mencerminkan Tuhan, menghadirkan Dia yang sayang akan orang-orang-Nya. Juga dalam merayakan Tahun Baru kita boleh minta agar Tuhan menyinarkan wajah-Nya kepada kita semua. Saat ini juga kita dapat memohon hikmat kebijaksanaan yang membuat kita dapat menghadirkan terang wajahnya di muka bumi, di dalam kurun waktu, di dalam kehidupan kita, agar yang garang-garang itu berubah menjadi terang. Dunia ini telah menerima terang kehadiran Tuhan, jangan kita pikir kegarangan bisa mengelabukannya.

"SEMOGA TUHAN MEMANDANGIMU DAN MENARUH KEDAMAIAN PADAMU"
    Dalam ay. 26, "mengangkat wajah bagimu" yang artinya memperlakukan secara istimewa karena berharga ditegaskan lebih lanjut dalam bagian kedua sebagai "menaruh kedamaian". Dalam alam pikiran Perjanjian Lama, tiadanya syalom, kedamaian, dialami sebagai kegelisahan yang menyesakkan dan yang akhirnya bisa mematikan. Memang tak bisa begitu saja kedamaian diiming-imingkan (Menurut Nabi Yeremia, orang yang latah bernubuat tentang damai tanpa isi sebetulnya nabi palsu; Yer 6:14; 8:11; 28:9). Perjanjian Lama melihat kedamaian sebagai buah dari "tse*daqah", yakni kesetimpalan antara kenyataan dan yang disabdakan Tuhan. Wujudnya ada macam-macam, yang terutama ialah "adil", "benar/lurus", "tak bercela", "bijaksana". Tiap wujud itu tak terbatas pada urusan orang-perorangan, tetapi menyangkut hidup bersama juga. Keadaan yang paling mencekik kehidupan bukanlah peperangan atau paceklik, melainkan tiadanya "kesetimpalan" dalam pelbagai wujudnya tadi. Keselamatan terjadi bukan dengan meneriakkan syalom syalom seperti nabi palsu, melainkan dengan menjadikan "tsedaqah'" suatu kenyataan sehingga manusia dan jagat semakin setimpal kembali dengan yang dikehendaki Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, terutama dalam tulisan Paulus, gagasan seperti itu (Yunaninya "dikaiosyne") dipakai untuk menerangkan keselamatan sebagai karya penebusan Kristus yang "meluruskan kembali" (Yunaninya "dikaioun", Latinnya "iusti*ficare") manusia dan jagat sehingga rujuk kembali dengan Tuhan. Maksudnya, dalam Kristus manusia dan jagat memperoleh kembali keadaannya semula yang tidak perot, yang tidak mengerikan, yang tidak menggelar kekerasan. Bila ini terlaksana, barulah orang bisa berbicara mengenai syalom, kedamaian. Ucapan berkat dalam Bil 6:26 "menaruh kedamaian" mengandaikan manusia bisa apik kembali, bisa lurus dan tak bercela, setimpal dengan yang dimaksud Tuhan. Bagaimana? Bila manusia dan jagat dipandangi terus-menerus oleh Tuhan seperti terungkap dalam bagian pertama ayat itu. Inilah yang bisa kita minta untuk tahun mendatang ini. Wajah kemanusiaan dan jagat ini akhir-akhir ini penyok sana sini, perot, timpang. Kita minta agar Tuhan memandangi itu semua. Kita tanya Dia, tahankah Kau memandang ini semua? Katanya sayang manusia. Sekarang pandangilah! Angkat wajah-Mu, jangan sembunyikan! Luruskan kembali keapikan ciptaanmu! Tak usah sungkan bilang begitu kepada-Nya.

MARIA DAN KITA
    Manusia tidak dibiarkan sendirian. Imanuel - "Tuhan beserta kita" - datang. Dan Maria sang Theotokos "yang membuat keilahian lahir" itu menunjukkan memang benar demikian. Kepada seorang gadis di Nazaret dulu disampaikan ajakan untuk ikut serta mewujudkan berkat bagi umat manusia. Ajakan yang sama kini masih ditawarkan bagi semua orang yang berkemauan baik. Dulu Maria serta-merta menyahut "terjadilah perkataan-Mu" kepada Gabriel. Untung tawaran tidak datang kepada kita bersama malaikat yang menuntut jawaban saat itu juga. Ada dua belas bulan ke depan untuk mengemasnya. Waktu yang biasanya di pihak lawan kita kini bisa menjadi berkat.
    Dalam Luk 2:21 yang ikut dibacakan dalam Injil bagi hari ini disebutkan bahwa setelah genap 8 hari, bayi itu akan disunatkan dan demikian ditandai secara resmi sebagai anggota umat Tuhan. Juga hari itu hari menyatakan secara resmi namanya, yakni Yesus. Nama ini sendiri menandaskan bahwa Tuhan itu pemberi keselamatan. Ayat ini juga sekali lagi mengingatkan pembaca bahwa nama itu telah disampaikan malaikat ketika mengunjungi Maria (Luk 1:31) sebelum ia mengandung. Demikian pembaca yang mendalami makna bacaan ini akan mulai menyadari bahwa Tuhan Penyelamat membiarkan diri dibesarkan oleh manusia agar makin dikenali. Merayakan keibuan Maria sebenarnya bukan hanya menghormati pribadinya belaka, melainkan merayakan kemanusiaan yang diberkati Tuhan.
Semoga tahun yang baru ini menjadi berkat bagi kemanusiaan!
A. Gianto

Santa Perawan Maria Bunda Allah

    Guna memahami gelar “Bunda Allah,” pertama-tama kita harus mengerti dengan jelas peran Maria sebagai Bunda Juruselamat kita, Yesus Kristus. Sebagai orang Katolik, kita sungguh-sungguh yakin akan inkarnasi Kristus: Maria mengandung dari kuasa Roh Kudus (bdk. Luk 1:26-38 dan Mat 1:18-25). 

Melalui Maria, Yesus Kristus - pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus, sehakikat dengan Bapa, dan Allah yang benar dari Allah yang benar - memasuki dunia ini dengan mengenakan daging manusia dan jiwa manusia. Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. 

Dalam pribadi ilahi-Nya terdapat sekaligus kodrat ilahi dan kodrat manusiawi. Bunda Maria tidak menjadikan pribadi ilahi Yesus, yang telah ada bersama Bapa dan Roh Kudus dari kekekalan, “Ia, yang dikandungnya melalui Roh Kudus sebagai manusia dan yang dengan sesungguhnya telah menjadi Puteranya menurut daging, sungguh benar Putera Bapa yang abadi, Pribadi kedua Tritunggal Mahakudus. Gereja mengakui bahwa Maria dengan sesungguhnya Bunda Allah [Theotokos, yang melahirkan Allah].” (Katekismus Gereja Katolik, no. 495). Seperti dicatat oleh St. Yohanes, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. ” (Yoh 1:14).

    Oleh karena alasan ini, pada masa awal sejarah Gereja, Bunda Maria digelari “Bunda Allah.” St. Yohanes Krisostomus (wafat thn 407), misalnya, menggubah dalam Doa Syukur Agung Misanya, suatu madah untuk menghormati Bunda Maria: “Sungguh, semata-mata guna memaklumkan bahwa engkau terberkati, ya Bunda Allah, yang paling terberkati, yang sepenuhnya murni dan Bunda Allah kami. Kami mengagungkan engkau yang lebih terhormat daripada kerubim dan lebih mulia secara tak bertara daripada serafim. Engkau, yang tanpa kehilangan keperawananmu, melahirkan Sabda Tuhan. Engkau yang adalah sungguh Bunda Allah.”
    Namun demikian, keberatan atas gelar “Bunda Allah” muncul pada abad kelima akibat adanya kebingungan mengenai misteri inkarnasi. Nestorius, Uskup Konstantinopel (thn 428-431), mengajukan keberatan yang utama. Ia mengatakan bahwa Bunda Maria melahirkan Yesus Kristus, seorang manusia biasa, titik. Kepada manusia ini dipersatukan pribadi Sabda Allah (Yesus Ilahi). Persatuan dua pribadi ini - Kristus yang manusia dan Sabda Ilahi - merupakan sesuatu yang “luhur dan unik”, tetapi hanya suatu kebetulan belaka. Pribadi ilahi tinggal dalam pribadi manusia “sebagai bait”. Melanjutkan jalan pikirannya, Nestorius menegaskan bahwa Yesus manusia wafat di salib, tetapi tidak demikian dengan Yesus ilahi. Jadi, Bunda Maria bukanlah “Bunda Allah,” melainkan sekedar “Bunda Kristus” - Yesus manusia. Apakah membingungkan? Memang, akibat dari pemikiran tersebut adalah membagi Kristus menjadi dua pribadi dan menyangkal inkarnasi.

    St. Sirilus, Uskup Alexandria (wafat thn 440) menyangkal pendapat Nestorius dengan mengatakan, “Bukannya seorang manusia biasa pertama-tama dilahirkan oleh Santa Perawan, dan kemudian sesudahnya Sabda turun atasnya; melainkan, bersatu dengan daging dalam rahim, [Sabda] mengalami kelahiran dalam daging, kelahiran dalam daging adalah kelahiran-Nya sendiri…” Pernyataan ini menegaskan keyakinan yang dikemukakan dalam paragraf pertama - Bunda Maria adalah sungguh Bunda Allah.

    Pada tanggal 22 Juni 431, Konsili Efesus bersidang guna menyelesaikan perdebatan ini. Konsili memaklumkan, “Barangsiapa tidak mengakui bahwa Imanuel adalah sungguh Allah dan karenanya Santa Perawan adalah Bunda Allah [Theotokos] (sebab ia melahirkan menurut daging Sabda Allah yang menjadi daging), dikutuk Gereja.” Oleh sebab itu, Konsili secara resmi memaklumkan bahwa Yesus adalah satu pribadi ilahi, dengan dua kodrat - manusiawi dan ilahi - dipersatukan dalam persekutuan yang sempurna. Kedua, Efesus menegaskan bahwa Bunda Maria dapat secara tepat digelari Bunda Allah: Maria bukanlah Bunda Allah Bapa, atau Bunda Allah Roh Kudus; melainkan ia adalah Bunda Allah Putra - Yesus Kristus, sungguh Allah sejak kekekalan, yang masuk ke dalam dunia ini dengan menjadi sungguh manusia. Konsili Efesus memaklumkan Nestorius sebagai bidaah sesat dan Kaisar Theodosius memerintahkan agar ia diusir dan dibuang. (Menariknya, suatu Gereja Nestorian kecil masih ada hingga sekarang di Irak, Iran dan Siria.)

    Peristiwa inkarnasi sungguh merupakan suatu misteri yang tak terpahami. Gereja menggunakan bahasa yang sangat tepat - sekalipun filosofis - guna mencegah kebingungan dan kesalahpahaman. Karena kita baru saja merayakan Hari Raya Natal dan Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah, baiklah kita merenungkan misteri agung ini secara lebih mendalam tentang bagaimana Juruselamat Ilahi kita masuk ke dalam dunia ini dengan mengambil rupa manusia kita, demi membebaskan kita dari dosa. Patutlah kita senantiasa merenungkan serta berusaha mengikuti teladan mulia Bunda Maria, yang mengatakan, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.”

    Hendaknya kita tidak pernah melupakan bahwa Bunda Maria adalah sungguh “bunda”.  Bunda Maria bukanlah sekedar sarana fisik belaka dengan mana Kristus masuk ke dalam dunia ini, melainkan ia juga seorang bunda dalam arti sepenuhnya. Sebagai seorang bunda, ia senantiasa ingin menghadirkan Putranya kepada yang lain dan menghantar mereka kepada Putra Ilahinya. Dalam Injil, ia menghadirkan Yesus kepada para gembala, para majus, Nabi Simeon dan Hana, dan juga dalam perjamuan nikah di Kana. Ia rindu melakukan hal yang sama bagi tiap-tiap kita. Ketika Kristus wafat di salib, berdiri di sana Bunda-Nya, Maria, dan St. Yohanes Rasul; Yesus berkata kepada Maria, “Ibu, inilah, anakmu!” mempercayakan bunda-Nya yang janda ke dalam pemeliharaan St. Yohanes; dan kepada St. Yohanes, “Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27). Sesuai tradisi, kita senantiasa yakin bahwa dengan itu Yesus memberikan Bunda Maria sebagai Bunda kepada Gereja seluruhnya dan kepada kita masing-masing.

    Keyakinan ini dengan sangat indah dijelaskan melalui pesan Bunda Maria di Guadalupe, di mana Santa Perawan menampakkan diri kepada St. Juan Diego pada tahun 1531. Pada tanggal 9 Desember, Bunda Maria mengatakan, “Ketahuilah dengan pasti, engkau yang terkecil dari antara anak-anakku, bahwa akulah Santa Perawan Maria yang tak bercela, Bunda Yesus, Allah yang benar, yang melalui-Nya segala sesuatu beroleh hidup, Tuhan atas segala yang dekat maupun yang jauh, Tuan atas surga dan bumi. Merupakan kerinduanku yang terdalam bahwa sebuah kapel dibangun di sini untuk menghormatiku. Di sini aku akan menunjukkan, aku akan menyatakan, aku akan melimpahkan segenap cintaku, kasih sayangku, pertolonganku dan perlindunganku kepada segenap manusia. Akulah bundamu yang berbelas kasih, bunda yang berbelas kasih dari kalian semua yang hidup rukun di negeri ini, dan dari segenap umat manusia, dari segenap mereka yang mengasihiku, dari mereka yang berseru kepadaku, dari mereka yang mencariku, dan dari mereka yang menaruh harapannya padaku. Di sini aku akan mendengar isak-tangis mereka, keluh-kesah mereka, dan aku akan menyembuhkan serta meringankan segala beban derita, kesulitan-kesulitan dan kemalangan-kemalangan mereka.”

    Kemudian pada tanggal 12 Desember, Bunda Maria mengatakan, “Dengarkanlah dan camkanlah dalam hatimu, putera kecilku terkasih: janganlah kiranya sesuatu pun mengecilkan hatimu, melemahkan semangatmu. Janganlah kiranya sesuatu pun membimbangkan hatimu ataupun tekadmu. Juga, janganlah takut akan segala penyakit ataupun pencobaan, kekhawatiran ataupun penderitaan. Bukankah aku di sini, aku yang adalah bundamu? Bukankah engkau ada dalam naungan dan perlindunganku? Bukankah aku ini sumber hidupmu? Bukankah engkau ada dalam naungan mantolku, dalam dekapan pelukanku? Adakah sesuatu lain yang engkau butuhkan?” Pesan-pesan indah ini menegaskan peran Bunda Maria sebagai Bunda Allah dan Bunda kita.

    Sementara kita mengawali tahun yang baru, marilah kita berpegang pada teladan Bunda Maria dan mempercayakan diri pada doa-doanya bagi kita. Kiranya kita senantiasa datang kepadanya sebagai Bunda kita sendiri, sambil memohon, “Bunda Maria yang Tersuci, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin.”

Sumber:YESAYA: www.indocell.net

KERENDAHAN HATI

Hari Raya St. Perawan Maria Bunda Allah
Bil. 6:22-27; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21
Tahun B
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC

Pada suatu saat saya membawakan homili dengan tema kerendahan hati. Mengingat bahwa hari itu adalah hari Minggu dan setelah itu ada Misa berikutnya, saya mencoba membawakan homili tersebut dengan agak singkat dan padat.

Setelah Misa selesai, ada seorang bapak yang mendekati saya dan berkata, “Pastor, sepertinya kerendahan hati seperti yang dikotbahkan tadi akan sangat sulit dijalankan oleh umat dalam situasi masyarakat kita sekarang ini!”. “Mengapa?’, saya balik bertanya. Dan dia menjelaskan sambil memberikan contoh kurang lebih seperti ini. “Dalam dunia sekarang, kalau kita lebih mengutamakan kepentingan orang lain, maka kita sendiri yang akan menderita dan mengalami kesulitan. Apakah masih ada orang yang mau seperti itu?”.

    Ketika mempersiapkan tulisan ini sambil membaca bacaan-bacaan Kitab Suci Minggu ini saya mendapatkan gagasan tentang kerendahan hati. Dan ketika gagasan kerendahan hati itu saya renungkan, saya teringat pengalaman bersama sang bapak di atas.
Harus saya akui bahwa dewasa ini kerendahan hati atau sikap rendah hati merupakan barang langka. Dewasa ini sudah sangat sedikit orang yang mau bersikap rendah hati. Orang yang rendah hati sebaliknya malah dinilai sebagai orang yang lemah. Di saat orang-orang lain memperebutkan kesempatan dalam kesempitan, orang yang rendah hati dinilai sebagai orang yang membuang dan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Di saat orang lebih memperhatikan kepentingan dan keuntungan sendiri, orang yang rendah hati nilai sebagai orang yang bodoh. Benarkah orang yang rendah hati itu adalah orang yang lemah & bodoh?

Rendah hati adalah kata sifat. Dalam bahasa Inggris kita mengenal kata humble (kata sifat) dan humility (kata benda). Kata humble berasal dari kata bahasa Latin humilis (kata sifat) dan humus (kata benda), yang arti dasarnya adalah tanah, bumi. 

Sebagaimana tanah dan bumi menjadi dasar pijakan segala sesuatu dan tempat bertumbuh dan berkembangnya kehidupan, rendah hati adalah sifat yang menjadi dasar, bertumbuh dan berkembangnya sifat-sifat kemanusiaan yang lainnya. Tanpa kerendahan hati maka sifat-sifat kemanusiaan lainnya menjadi kurang bermakna. Santo Paulus dalam madah kasihnya, berkata, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong”.(1Kor. 13:4). Kerendahan hati yang tampak dalam sikap tidak memegahkan diri dan tidak sombong menjadi salah satu kwalitas kasih, menurut Paulus. Tanpa kerendahan hati maka kwalitas kasih akan memudar. Hal yang senada dikatakan oleh Yohanes, pengarang Injil, ketika dia berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”. (Yoh.3:16). Mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal adalah ungkapan lain dari “firman telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yoh.1:14). Peristiwa Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus ini oleh Paulus disebut sebagai peristiwa pengosongan Diri Allah (bdk. Fil. 2:7-8). Dan inilah peristiwa di mana Allah telah merendahkan Hati dan Diri-Nya demi keselamatan manusia. Sikap Allah yang merendahkan Hati dan Diri-Nya ini justru hendak menunjukan kwalitas Cinta Allah yang begitu besar kepada manusia.

    Dalam bacaan Injil kita Minggu ini sikap rendah hati ditampakkan dalam diri para gembala dan Perawan Maria.

Dalam Injil Lukas, gembala sering menjadi simbol orang-orang yang tersingkirkan karena pekerjaan mereka. Ketika sedang melaksanakan pekerjaannya menggembalakan domba dan mencari padang rumput bagi kawanan dombanya, mereka sering melakukan perjalanan yang jauh dan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan tinggal di padang rumput bersama kawanan dombanya (bdk. Luk.2:8). Saat menjalankan pekerjaan itu mereka sering tidak bisa menjalankan kewajiban keagamaannya, tidak bisa membasuh dan membersihkan tubuhnya. Karena alasan itu mereka sering dianggap orang-orang najis, berdosa dan kotor sehingga disingkirkan dari masyarakat. Para gembala ini hanya menerima kabar dari Malaikat tentang kelahiran Kanak-kanak Yesus (ay.9). Tanpa banyak diskusi macam-macam, mereka segera bergegas menuju Bethelem (ay.15-16). Meskipun tidak memahami semua perkataan Malaikat dan tidak mengerti makna dibalik kabar itu, mereka pergi melaksanakan apa yang mereka dengar.

Hal yang sama dialami oleh Perawan Maria. Ketika para gembala menceritakan apa yang dialaminya (ay.17) dan semua orang yang mendengarnya menjadi heran dengan kisah mereka (ay.18), Maria menyimpan segalanya itu dalam hatinya dan merenungkannya (ay.19). Maria tidak bisa mencerna dengan akal budi dan pengertiannya tentang kisah kelahiran Putranya. Meskipun demikian, dia mencoba merenungkannya; artinya, menjalaninya sambil mencoba menemukan makna di dalamnya meskipun dia juga tidak tahu persis kapan makna itu akan dia dapatkan.  Hal yang sama juga dialaminya ketika dia menerima kabar dari Malaikat Gabriel bahwa dia dipilih Allah untuk menjadi ibu Yesus. Dia mencoba untuk memahaminya dengan akal budinya (bdk. Luk. 1:34). Meskipun dia akhirnya tokh tidak dapat mengerti dibalik kabar Malaikat itu, dia menerima keterpilihan itu (bdk. ay.38).

Dari kedua tokoh, para gembala dan Perawan Maria, kita bisa menemukan kriteria lain tentang kerendahan hati, yakni kerelaan untuk mendengarkan.  Kriteria ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kriteria Paulus, yakni tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Paulus menyatakannya dengan ungkapan negatip, sedangkan Lukas mengungkapkannya secara positip. Orang yang rela mendengarkan adalah orang yang tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Orang yang bisa mendengarkan adalah orang yang tidak banyak berbicara, NATO (No Action Talk Only).

    Kita kembali kepada pertanyaan refleksi di atas, “benarkah orang yang rendah hati itu adalah orang yang lemah dan bodoh?”.
Saya tidak bisa memberikan suatu jawaban pasti sebagai resep, tetapi hanya bisa memberikan beberapa contoh. 

Contoh pertama sudah kita lihat dalam diri para gembala dan Perawan Maria. Apakah mereka adalah orang-orang yang lemah dan bodoh? Justru sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang tegar. Contoh yang lain adalah Beata Ibu Theresa dari Calcuta. Kerendahan hatinya untuk merawat orang-orang miskin telah menjadikan beliau sebagai sumber inspirasi bagi kegiatan kemanusiaan yang dicanangkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kerendahan hati Beato Paus Yohanes Paulus II untuk memaafkan orang yang menembaknya di Lapangan St. Petrus, Vatikan, Mehmet Ali Agca, menjadi inspirasi untuk sikap mengampuni dan sikap perdamaian. Dan masih banyak contoh lain lagi. 

Apakah itu kebodohan dan kelemahan? Saya teringat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat” (1Kor.1:27). Dan ungkapan lainnya, “manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” (1Kor.2:14)

Renungan Malam Natal


Renungan Natal 2011
Tahun B
Oleh Pastor Paulus Tongli, Pr
Akhirnya natal tiba. Empat minggu masa Adven telah kita lalui, masa di mana kita menanti dan berdoa memohon rahmat natal. Dan kini natal telah tiba. Hari ini para malaikat mewartakan kabar gembira akan kesukaan yang besar bagi semua bangsa, bagi kita telah lahir seorang penyelamat di kota Daud, yaitu Kristus Tuhan. Kabar gembira ini diperuntukkan bagi semua umat Allah. Sebagai umat Allah kita memiliki kegembiraan dan damai sejahtera yang dibawa oleh kelahiran Kristus ke dunia. Tetapi bagaimana saya secara pribadi masuk ke dalam “kegembiraan besar” natal? Natal mewartakan “kegembiraan bagi dunia”, ya, tetapi bagaimana saya menjadikan kegembiraan ini menjadi kegembiraanku? Ini adalah pertanyaan yang penting, karena meskipun Allah telah menyatakan kegembiraan kepada seluruh dunia, masih tetap ada begitu banyak orang di antara kita yang tidak ikut serta di dalam aliran kegembiraan ini, banyak orang dari antara kita yang tidak mengetahui bagaimana melibatkan diri di dalam kegembiraan ini dan menjadikannya kegembiraan pribadi. 

Seorang misionaris bekerja di sebuah perkampungan, yang memiliki kesulitan akan air bersih. Orang berjalan berkilo-kilo meter untuk mencapai sungai terdekat untuk mengambil air. Dengan dorongan dari misionaris itu, warga kampung berusaha untuk membuat sumur bor. Dengan bantuan pemerintah setempat, mereka akhirnya berhasil membuat lubang sumur dengan mata bor di tengah kampung. Sementara itu misionaris itu telah meninggalkan kampung. Dengan segera para warga kampung dapat menikmati air yang segar dan bersih berkat sumur bor itu. Maka mereka menulis surat kepada misionaris itu untuk datang dan mengunjungi warga kampung itu. Pada waktunya, datanglah misionaris itu ke kampung. Ada kegembiraan yang besar yang disebabkan oleh hadirnya sumur bor di tengah kampung itu. Misionaris itu bergembira bersama mereka akan sumur bor itu yang telah memberikan apa yang selama ini mereka dambakan. Ia berkeliling kampung untuk mengunjungi semua warga yang masih dikenalnya. Ia memasuki rumah seorang wanita tua dan meminta kepadanya untuk memberikan secangkir air sejuk untuk diminum. Misionaris itu begitu terkejut ketika wanita tua itu mengatakan bahwa ia tidak punya air di rumah. “tetapi kampung sudah memiliki sumur bor” kata misionaris itu. “Ya” jawab wanita itu, “tetapi cucuku yang tinggal bersamaku tidak mau mengambil air. Ia hanya bermain-main sepanjang hari”. 

Begitulah, kita lihat bahwa sangat mungkin orang dapat mati kehausan di tengah sebuah kampung yang memiliki sumur dengan air berlimpah. Mengapa? Karena tidak mungkin air sumur itu masuk kedalam rumah tanpa ada orang yang mengambilnya, tanpa menggerakkan kaki untuk pergi ke sumur itu dan menimba air dari sumur yang telah tersedia itu. Air itu menjadi hak setiap orang, tetapi setiap orang perlu melakukan sesuatu untuk mengklaim haknya sebelum menjadi miliknya pribadi, sebelum air itu secara nyata menghilangkan rasa haus. Demikianlah juga kabar gembira akan kesukaan yang besar yang Allah tunjukkan kepada dunia pada hari natal. Kita masih perlu melakukan sesuatu, melakukan sedikit usaha, sebelum secara pribadi mengalami kegembiraan itu di dalam hidup kita, di dalam keluarga kita, dan di dalam dunia kita. 

Apa yang dapat kita buat? Mudah untuk menjelaskan, tetapi sulit untuk melaksanakannya. Kata JOY terdiri dari 3 huruf: J – O – Y. Huruf J adalah singkatan dari Jesus, O adalah Others dan Y adalah You. Joy adalah Jesus, Others, before You. Yesus, Orang Lain sebelum Engkau. Untuk mengetahui joy, kegembiraan, di dalam hidup kita perlulah kita menempatkan Yesus di atas segalanya. Kedua kita perlu mencoba untuk mempersilakan orang lain sebelum kita mempersilakan diri kita. Inilah resep untuk kegembiraan. Itulah cara untuk mengubah kegembiraan natal “damai sejahtera di dunia” menjadi kegembiraan kita pribadi “damai sejahtera di dalam diriku” kini dan selalu. 

Saat kita mendengarkan ceritera natal, baiklah kita memberi perhatian kepada berbagai macam orang dan kelompok orang yang disebut dan memperhatikan apakah mereka menempatkan Yesus dan orang lain sebelum mereka atau apakah mereka pertama-tama mencari kepentingan mereka sendiri. Kita akan menemukan bahwa mereka yang mempraktekkan JOY adalah orang yang menikmati damai sejahtera itu, dan bahwa mereka yang pertama-tama mencari kepentingan diri sendiri selalu tidak senang dan jauh dari damai sejahtera. 

Di sekitar peristiwa natal terungkap beberapa contoh. Di satu sisi ada para penjaga penginapan yang menolak Yosef dan Maria di malam yang dingin sementara mereka menikmati kehangatan di dalam penginapan itu. Ada juga raja Herodes yang ingin menjamin keamanan dirinya sebagai raja sehingga ia tega untuk memerintahkan pembunuhan bayi-bayi yang lahir, agar Yesus pun terbunuh. Orang-orang seperti ini tidak akan pernah dapat mengalami kegembiraan yang diwartakan malaikat itu. Di sisi lain, ada para gembala yang setelah mendengar kabar malaikat serta merta meninggalkan segala milik mereka di padang dan pergi mencari bayi yang baru lahir itu untuk menyembahNya. Atau para majus, orang-orang bijaksana dari Timur yang karena melihat petunjuk alam semesta, meninggalkan kemapanan di negeri mereka dan menempuh perjalanan yang panjang dan berbahaya menuju Betlehem untuk menyembah Yesus, Raja yang baru lahir serta mempersembahkan kepada-Nya hal-hal yang mereka anggap berharga. 

Mereka inilah yang di dalam Kitab Suci ditampilkan sebagai yang menyadari dan menerima anugerah Allah, dan karenanya mengalami di dalam hati mereka kedamaian yang sejati dari natal. Setiap merayakan natal, kita diajak untuk membongkar sekat-sekat egoisme kita dan menggantinya dengan solidaritas dengan sesama. Marilah kita meneladan para gembala dan para bijaksana dari timur dengan selalu menempatkan Yesus dan orang lain sebelum diri kita, sehingga kegembiraan natal dapat selalu menjadi bagian hidup kita. Amin.

Cerita Natal

    Pada tahun 1914 ada sebuah kisah menarik yang terjadi di malam Natal. Saat itu terjadi peperangan antara Inggris, Jerman dan Perancis. Di malam Natal seperti itu, pastilah para prajurit ingin berada di rumah, berkumpul dengan keluarga, menyiapkan kado-kado, bernyanyi dan menikmati sukacita serta hidangan yang enak. Tapi kali ini mereka berada jauh dari rumah, jauh dari keluarga dan orang-orang yang dicintai. Salju yang turun menambah dinginnya udara malam dan dinginnya hati mereka. Perut lapar, pakaian yang basah, dinginnya udara dan tempat tinggal yang becek serta ketidaknyamanan suasana perang merupakan satu harmoni yang semakin menghilangkan semangat untuk mengangkat senjata. Ada satu kerinduan untuk duduk bersama keluarga didepan perapian sambil mengunyah kue-kue yang lezat.

    Seorang prajurit yang tertembak merintih menahan sakit, sementara yang lain menggigil kedinginan. Pimpinan mereka pun malam itu tidak seperti biasanya. Ia kelihatan sangat bersedih, menangis teringat akan anak dan isterinya. Entah kapan mereka akan pulang dan berada ditengah orang-orang yang mereka kasihi. Mereka semua diam membisu selama beberapa jam, tetapi tiba-tiba nampak cahaya kecil yang bergerak-gerak dari arah pasukan Jerman. Ternyata ada prajurit Jerman yang membuat pohon Natal kecil dan mengangkatnya keatas agar kelihatan. Ia melakukan itu sambil mengalunkan lagu “Stille Nacht, Heilige Nacht” atau lagu “Malam Kudus”. Alunan lembut lagu itu membuat hati para prajurit pilu karena mereka teringat suasana Natal ditengah-tengah keluarga. Prajurit Jerman yang menyanyikan lagu itu ternyata adalah seorang penyanyi tenor opera terkenal sebelum dikirim ke medan perang. Sambil menyanyi, prajurit itu berdiri dari tempat persembunyiannnya sehingga musuh dapat melihatnya. Ia ingin menyampaikan makna Natal yang sesungguhnya, yaitu berbagi kasih dan damai. Prajurit tersebut bersedia mengorbankan nyawanya, ia bersedia ditembak oleh musuh karena mereka pasti bisa melihatnya dengan jelas. Tetapi, apakah yang terjadi?

    Satu per satu dari masing-masing pasukan keluar dari persembunyian dan ikut menyanyi. Mereka berkumpul bersama dan air mata tidak tertahankan. Seorang prajurit Inggris musuh bebuyutan Jerman malah mengiringi nyanyian tersebut dengan sebuah alat musik tiup yang dibawanya. Tidak ada lagi lawan, tidak ada peperangan, tidak ada benci, yang ada hanya kedamaian didalam kebersamaan. Mereka semua bersama-sama menyanyi dalam bahasa mereka masing-masing, dilanjutkan lagi dengan lagu “Hai Mari Berhimpun”. Mereka yang tadinya adalah musuh yang berusaha saling membunuh, kini merasakan aliran damai Natal. Mereka bersama-sama menyembah dan bersyukur atas kelahiran Juruselamat.

Pohon Injil

    Suatu ketika adalah sebatang pohon Natal yang bersinar terang tinggi menjulang; menarik mata memandang. Kecemerlangannya sungguh memikat dan menggembirakan hati siapa saja yang lewat. “Terangnya begitu cemerlang,” begitu kata mereka dan mereka pun enggan beranjak pergi.

Sang pohon Natal berdiri tegak, bangga bermandikan cahaya oleh sebab setiap lampu menyala begitu gemilang.  Kemudian, terdengarlah sebuah bola lampu berkata, “Aku capai menyala siang dan malam, sebaiknyalah aku padam dan beristirahat; terlalu capai aku selalu mengusahakan yang terbaik. Lagipula, aku begitu kecil; aku tidak yakin kehadiranku cukup berarti.”

Sekonyong-konyong, seorang anak dengan lembut menyentuhnya,”Lihat, mama, yang ini bersinar sangat terang. Aku telah melihat semua lampu di atas pohon terang, yang ini tampak paling cemerlang bagiku.” “Ya, Tuhan!” seru si bola lampu “Hampir saja aku redup dan padam.

Aku pikir tak seorang pun peduli jika aku padam dan tak bersinar terang.” Seiring dengan itu, suatu terang yang cemerlang kembali bersinar.  Terang-terang yang lain pun merasakan kehadirannya pula. Injil kita, bagaikan pohon Natal ini, dengan bola-bola lampu kecil yang adalah kamu dan aku. Masing-masing kita mempunyai bagian yang harus diisi dengan cinta, pengetahuan dan kehendak baik. Mari menjadikan pohon kita bermandikan cahaya, dengan kesaksian-kesaksian yang gemilang. Oleh sebab Injil kita adalah pohon kehidupan yang menerangi jalan menuju keabadian.

Malam Sebelum Natal

    Malam sebelum Natal, menyusuri jalan-jalan kota, St. Yosef mencari tempat bagi sang Bayi; Bunda Maria menanti, begitu lemah-lembut, begitu pasrah. Anak-anak berbaring di tempat tidur mereka; Orang-orang dewasa tak peduli,  “Tidak ada tempat,” kata mereka; Bahkan penjaga penginapan pun mengusir mereka, St. Yosef bertanya-tanya,  adakah tempat bernaung?

     Terpikir olehnya gua-gua di sisi bukit, “Mari kita ke sana,” kata Maria, “di sana tenang dan sunyi.” Sinar bulan di sela turunnya keping-keping salju lembut, menerangi jalan di mana kaki-kaki yang lelah melangkah; Dan di gua, dalam buaian jerami, Juruselamat kita dilahirkan pada hari Natal yang pertama! Bapa menyaksikan dari Surga tinggi, diutus-Nya malaikat-malaikat, para utusan cinta-Nya. Lebih cepat dari gerak rajawali, para malaikat terang berhimpun, penuh sukacita dan semangat mendengar nama mereka disebut. “Mari Kerubim, Mari Serafim, Mari Rafael, Mikhael dan Gabriel; Terbanglah ke bumi, dimana umat-Ku tinggal, wartakan kabar sukacita kedatangan Putra-Ku.”

    Para gembala menjaga kawanan domba mereka malam itu, tiba-tiba tampaklah kepada mereka langit benderang oleh terang surgawi. Para malaikat meyakinkan, janganlah kalian takut, Natal telah tiba, kata mereka; Juruselamat telah dilahirkan! Bergegas mereka mendapatkan Dia, namun langkah terhenti di ambang gua, hingga Maria mengundang mereka untuk menyembah Dia. Ia dibendung rapat dengan lampin, dari kepala hingga kaki, tak pernah para gembala melihat bayi begitu mungil dan manis! Tak diucapkan-Nya sepatah kata, tapi para gembala mengerti, Ia mengatakan rahasia dan memberkati mereka pula; Dengan lembut mereka meninggalkan Dia, Sang Bayi yang terbaring dalam palungan, sukacita memenuhi hati mereka di hari Natal yang pertama. Terdengar oleh Maria, sorak-sorai sementara mereka mendaki bukit, “Kemuliaan bagi Allah di tempat Tinggi, dan damai bagi mereka yang berkenan kepada-Nya!”

Pesan Natal Bersama 2011

PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI) TAHUN 2011“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar” (Yes. 9:1a)Saudara-saudari yang terkasih,

    Segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada, Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus.
    Kembali kita sudah berada pula di dalam suasana perayaan kedatangan Dia, yang dahulu sudah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya sebagai “seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita, lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja damai.” (Yes. 9:5). Tokoh inilah yang disebutnya juga di dalam nubuatan itu sebagai “Terang yang besar” dan “yang dilihat oleh bangsa-bangsa yang berjalan dalam kegelapan” (bdk. Yes. 9:1a). Inilah Kabar Gembira tentang kedatangan Sang Juruselamat Yesus Kristus Tuhan kita,, yang dahulu disampaikan oleh para malaikat di padang Efrata kepada para gembala (bdk Luk.2:8-12), dan sekarang disampaikan juga kepada kita semua di sini.
    Para gembala di padang Efrata, orang-orang kecil, sederhana dan terpinggirkan di jaman Lukas, menanggapi sapaan ilahi “Jangan takut” (Luk. 2:10) dengan saling mengajak sesama yang dekat dan senasib dengan mereka dengan mengatakan satu sama lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita” (Luk. 2:15). Para Majus dari Timur, telah menempuh perjalanan jauh sampai ke Yerusalem untuk mencari dan mendapatkan Dia ini, karena “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat. 2:2). Sayang sekali, bahwa di samping para gembala dan para majus dari Timur ini ada juga Raja Herodes, yang juga mendapat tahu tentang kedatangan Dia ini, tetapi dengan berpura-pura mau datang menyembah-Nya, tetapi sebenarnya bermaksud membunuh-Nya dan ketika niat jahatnya ini gagal ia malah melakukan kejahatan lain dengan membunuh anak-anak tak bersalah dari Bethehem (lih. Mat. 2: 8, 10-12).
    Kepada kitapun, yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 2011 ini, telah disampaikan Kabar Gembira tentang kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah “Firman, yang di dalamnya ada hidup dan hidup itu adalah terang bagi manusia” (bdk. Yoh. 1:1-4). Memang, yang kita rayakan pada hari Natal itu adalah: “Terang yang sesungguhnya yang sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (bdk Yoh.1:9-11). Tetapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa bangsa kita masih mengalami berbagai persoalan. Kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan masih menjadi persoalan sebahagian besar bangsa kita, yang mengakibatkan juga sulitnya menanggulangi biaya-biaya pendidikan dan kesehatan. Kekerasan masih merupakan bahasa yang digemari guna menyelesaikan masalah relasi antar-manusia. Kecenderungan penyeragaman, ketimbang keanekaragaman masih merupakan pengalaman kita. Akibatnya, kerukunan hidup, termasuk kerukunan antar-umat beragama, tetap menjadi barang mahal. Korupsi, bukannya dihapuskan, tetapi malah makin beranak-pinak dan merasuki segala aras kehidupan kita. Penegakan hukum yang berkeadilan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia masih merupakan pergumulan kita. Pencemaran dan perusakan lingkungan yang menyebabkan bencana alam belum pernah terjadi sebelumnya tetap mencemaskan kita. Mereka yang diberi kekuasaan dan sekaligus amanat untuk memimpin bangsa kita ini dengan benar dan adil cenderung melupakan tugas-tugasnya itu.
    Dalam pesan Natal bersama kami tahun ini, kami hendak menggarisbawahi semangat Kedatangan Kristus tersebut dengan bersaksi dan beraksi, bukan hanya untuk perayaan Natal itu saja, tetapi hendaknya juga menjadi semangat hidup kita semua:

    * Sederhana dan bersahaja: Yesus telah lahir di kandang hewan, bukan hanya karena “tidak ada tempat bagi mereka di rumah pengiapan” (Luk. 2:7), tetapi justru karena Dia yang “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7).
    * Rajin dan giat: seperti para gembala yang “cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria, Yusuf dan bayi itu” (Luk. 2:16).
    * Tanpa membeda-bedakan secara eksklusif: sebagaimana kanak-kanak Yesus juga menerima para Majus dari Timur seperti adanya, apapun warna kulit mereka dan apapun yang menjadi persembahan mereka masing-masing (lih. Mat. 2:11).
    * Tidak juga bersifat dan bersikap separatis, karena Yesus sendiri mengajarkan bahwa “barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu" (Luk. 9:50).

Saudara-saudari yang terkasih,
    Tuhan Yesus, yang kedatangan-Nya sudah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya hampir delapan ratus tahun sebelum kelahiran-Nya, disebut sebagai “terang besar” yang “dilihat oleh bangsa-bangsa yang berjalan di dalam kegelapan” (bdk Yes. 9:1a). Nubuat itu direalisasikan-Nya sendiri dengan bersabda : “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12). Di samping penegasan tentang dri-Nya sendiri itu, barangkali baik juga kita senantiasa mengingat apa yang ditegaskannya, meskipun secara negatif, tentang kita para pengikut-Nya: "Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu. Selama terang itu ada padamu, percayalah kepadanya, supaya kegelapan jangan menguasai kamu; barangsiapa berjalan dalam kegelapan, ia tidak tahu ke mana ia pergi” (Yoh. 12:35).
    Akhirnya marilah kita menyambut kedatangan-Nya dengan sederhana dan tidak mencolok karena kita tidak boleh melupakan, bahwa sebagian besar bangsa kita masih dalam kemiskinan yang ekstrim. Dengan demikian terjadilah kini seperti yang terjadi pada Natal yang pertama: ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).

SELAMAT NATAL 2011 DAN TAHUN BARU 2012

Jakarta, 14 November 2011

Atas nama

PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA               KONFERENSI WALIGEREJA DI INDONESIA (PGI), 
                                                                                                                INDONESIA (KWI),

 
          Pdt. Dr. A.A. Yewangoe                                                          Mgr. M. D, Situmorang
                Ketua Umum                                                                                    Ketua



         Pdt. Gomar Gultom, M.Th.                                                      Mgr. J. M. Pujasumarta
                  Sekretaris Umum                                                               Sekretaris Jenderal

Kamis, 15 Desember 2011

Perlunya Introspeksi Diri dalam Hidup

    Anda punya kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik? Apa yang akan Anda lakukan untuk memiliki hidup yang lebih baik?

    Ada seorang gadis ingin mengubah tingkah lakunya. Menurutnya, ia punya tingkah laku yang tidak baik di hadapan sesamanya. Misalnya, ia suka memaksakan kehendaknya kepada teman-temannya. Kalau ia mau meraih keinginannya, ia ingin teman-temannya membantunya. Padahal sering teman-temannya itu tidak bisa melakukannya. Ia ingin menjadi orang yang punya sahabat-sahabat yang baik.

    Suatu hari ia mendatangi seorang bijaksana. Ia menceritakan situasi hidupnya. Lantas ia juga mengatakan kepada orang bijaksana itu bahwa ia ingin berubah. Soalnya adalah kehendak dirinya itu sering lebih kuat daripada keinginannya untuk berubah. Ia sudah berusaha, namun selalu saja ada aral yang melintang.

    Orang bijaksana itu mengatakan bahwa yang ia butuhkan adalah introspeksi diri. Ia mesti melihat ke dalam dirinya sendiri tentang keberadaan sesamanya dalam hidupnya. Ia berkata, “Kehadiran sesama kita bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kehadiran sesama itu sebagai wujud kebaikan Tuhan dalam hidup kita. Jadi janganlah kita memaksakan kehendak kita kepada orang lain.”

    Lantas orang bijaksana itu meminta gadis itu untuk menumbuhkan komitmen dalam dirinya untuk rela berubah. Hal ini membutuhkan korban dari dirinya sendiri. Ia mesti berusaha terus-menerus. Ia tidak boleh berhenti, karena berubah berarti memiliki hidup baru. Hidup yang sungguh-sungguh menghargai kehadiran sesama.

    Sahabat, sering kita mengalami hidup yang biasa-biasa saja. Kita sering kurang bergairah dalam menjalani hidup ini. Ibaratnya ada angin ribut yang sedang menerpa rumah kita, namun kita merasa tidak terjadi apa-apa. Kita merasa bahwa hidup biasa-biasa saja sudah cukup.

    Kisah tadi mau mengingatkan kita bahwa kita punya kesempatan untuk berubah dalam hidup ini. Kita bisa menjadi orang yang lebih baik daripada sebelumnya. Gadis itu tidak takut untuk berubah. Ia ingin memiliki hidup yang lebih baik lagi. Ia tidak ingin kehilangan sahabat-sahabatnya. Ia ingin membangun komitmen untuk berubah.
    
Memang, tidak mudah seseorang yang telah menghidupi kebiasaan yang jelek bertahun-tahun untuk berubah. Seseorang yang punya kebiasaan menipu sesamanya sulit melepaskan diri dari kebiasaannya. Ada saja cara-cara untuk menipu sesamanya. Namun kalau ia mau mengadakan introspeksi diri, kiranya ia akan mampu meninggalkan kebiasaan buruknya itu.

    Introspeski berarti kita menilai kembali kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam hidup kita. Apakah kebiasaan-kebiasaan itu mengganggu kehidupan bersama? Apakah kebiasaan-kebiasaan itu menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk maju dalam hidup ini?

    Introspeksi juga berarti kita mengadakan evaluasi terhadap diri kita sendiri. Kita mesti menyadari bahwa kita bukanlah malaikat yang tak bercacat. Kita adalah manusia yang memiliki keterbatasan dan kekurangan-kekurangan. Karena itu, kita mesti berani mengevaluasi diri kita. Hanya dengan cara ini, kita mampu menjadi orang yang lebih baik lagi. Dengan demikian, kita akan mengalami hidup yang damai dan sukacita. Tuhan memberkati. **

MENJADI SIGNIFIKAN DAN RELEVAN BAGI MASYARAKAT

    Para gembala bersuka cita mendengar warta kelahiran Sang Juruselamat. Mereka kemudian bergegas pergi ke Betlehem dan menjumpai sang bayi Yesus. Hati mereka berkobar-kobar penuh kegembiraan, hingga menggerakkan diri mereka mewartakan kabar gembira kepada siapa pun yang dijumpai dan selalu memuji Allah melalui kata, sikap, dan tindakan. Melalui para gembala itu, semakin banyak orang mengenal Allah dan mengalami kasih-Nya.
    Selayaknya seperti para gembala, perjumpaan dengan Allah dan pengalaman iman kita akan Dia menggerakkan hidup kita untuk bersuka cita dalam hidup dan berani menjumpai siapa pun untuk berbagi kebahagiaan. Kehadiran yang memberi kegembiraan dan pengaruh baik bagi banyak orang itu menjadi panggilan setiap orang kristiani sepanjang abad. Saat ini ketika banyak orang berpikir untuk kepentingan diri dan hilang rasa solidaritas, kepedulian, kita dipanggil justru untuk terlibat dalam kehidupan bersama dan berbagi kasih Tuhan dalam aneka bentuk. Keterbatasan, kekurangan, bahkan ketidakberdayaan kita jangan menjadi alasan untuk menutup hati dan melipat tangan bagi sesama kita. Pengalaman ibu Maria Goretti menjadi inspirasi bagi kita.
    Saya bernama Maria Goretti. Saya menjadi Katolik ketika sudah dewasa. Sejak dibaptis, saya selalu yakin bahwa saya bersama Yesus.
    Bersama Yesus menjadi sumber kekuatan bagi diri hidup saya. Kekuatan itu juga yang meneguhkan semangat saya untuk membantu kedua orang tua. Meskipun telah berbeda keyakinan dengan anggota keluarga, sebagai anak sulung, saya tetap merasa bertanggungjawab mendampingi adik-adik saya. Syukur kepada Allah! Saya bisa membantu adik-adik saya untuk mandiri. Saat ini, mereka telah berkeluarga dan memiliki kehidupan yang cukup mapan.
    Bersama Yesus juga mendorong saya untuk membantu dan menyumbangkan kemampuan diri saya bagi orang-orang di sekitar saya. Sebagai Ibu RW, saya tergerak untuk membantu meningkatkan taraf hidup mereka. Saya memberdayakan kaum perempuan supaya mereka juga bisa membantu ekonomi keluarga. Saya tidak membeda-bedakan keyakinan dalam bersahabat dan dalam menolong. Walaupun sebagai umat kristiani, saya memberikan satu ruang di rumah saya untuk sholat, berikut dengan perangkatnya. Alasan saya sederhana. Saya ingin agar saudara-saudara berkeyakinan lain pun dapat melaksanakan ibadah mereka. Sikap itu pula yang membebaskan saya untuk semakin leluasa memberi perhatian kepada siapa saja. Bila ada tetangga yang menderita sakit, saya berusaha untuk segera mengunjungi. Biasanya, saya juga mengkoordinir para ibu lain supaya kami dapat bersama-sama mengunjungi yang sakit. Dalam lingkungan pekerjaan, saya pun dipercaya untuk menjabat bendahara kantor. Walaupun berat dan berresiko, syukurlah bisa mengemban tugas sebagai bendahara selama 5 tahun dengan baik sampai masa pensiun.
    Dalam Gereja, saya mencoba aktif di berbagai kegiatan, baik dalam tingkat lingkungan, paroki bahkan kevikepan. Bersama dengan suami dan anak-anak, saya mencoba memberi perhatian secara khusus dalam kegiatan Orang Muda Katolik (OMK). Selain itu, saya dan suami menjadi pasutri yang mendampingi komunitas anak-anak muda yang sedang mencari dan memperkuat jati dirinya.
    Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika tepat berumur 56 tahun, tulang leher saya hilang seruas! Dokter yang memeriksa saya mengatakan bahwa saya terserang kanker stadium empat. Saya terserang kanker ganas. Saya shock! Ada keinginan untuk berontak. Saya sangat sulit menerima kenyataan pahit ini. "Dokter kan bisa keliru," demikian kata saya berusaha menolak kanker yang menggerogoti tubuh saya.   
    Selama tiga bulan pertama di rumah sakit dr. Sardjito, saya masih memiliki semangat besar untuk sembuh. Tetapi, kanker yang mendera diri saya justru kian memperparah fisik saya. Dalam kondisi tubuh yang kian kurus dan kepala botak, saya sering merasakan sakit yang amat sangat. "Sakit sekali... Obat penahan sakit yang kuminum sudah dosis yang paling tinggi, tapi masih juga terasa sakit..". Saya kerap menahan air mata yang akan mengalir. Dalam kondisi seperti ini, banyak kenalan yang mendampingi dan mendukung saya. Mereka menguatkan saya.
    Dalam perjalanan waktu, saya tidak mau larut dalam duka dan derita. Dalam sakit yang saya derita, saya masih ingin berguna bagi sesama. Dari atas tempat tidur, saya memulai mendoakan banyak orang. Biasanya, anak saya memberikan daftar-daftar nama yang akan saya doakan. Benar juga! Dengan melakukan aktifitas itu, saya merasa lebih berguna.
    Ternyata pengalaman "Bersama Yesus!" tidak hanya menyemangati saya untuk melayani, tetapi juga meneguhkan saya dalam kelemahan dan derita. Kebersamaan dengan Yesus menguatkan dan meneguhkan saya ketika menghadapi saat-saat kritis hidup saya.(Kisah nyata Ibu Maria Goretti.)

 Refleksi dan Sharing Pengalaman
    Menghadirkan Kristus sebagai Juruselamat di tengah-tengah masyarakat merupakan cita-cita. Natal yang perlu kita upayakan. Bagaimana kita memahami warta kegembiraan karya keselamatan Yesus ini agar semakin nyata dalam hidup kita. Di bawah ini ada beberapa pertanyaan agar kita semakin menyadari hal itu.
    a. Apa yang mengesan dan dapat kita petik dari kisah para gembala dan kisah ibu Maria Goretti?
    b. Apakah iman mendorong anda untuk hidup lebih baik dan lebih berguna di dalam masyarakat?
       Ceritakan pengalaman hidup anda!
    c. Dengan tindakan apa kita bisa mewujudkan Gereja yang signifikan dan relevan?

    Pengalaman perjumpaan para gembala dengan Sang Bayi Yesus mendorong para gembala melanjutkan warta sukacita itu kepada orang lain. Perjumpaan dengan Yesus memberikan rahmat istimewa, yakni mewujudkan dalam kehidupan konkrit warta karya keselamatan Allah. Rahmat istimewa berkat perjumpaan dengan karya keselamatan Allah menjadi pendorong dan inspirasi bagi para gembala dalam memaknai kehadirannya di tengah banyak orang. Demikian juga pengalaman kebersamaannya dengan Yesus, menjadi inspirasi dan pendorong ibu Maria Goretti untuk memberikan hidupnya untuk orang lain dengan sukacita, sebuah cerminan keberimanan dalam masyarakat, walaupun dalam penderitaan tetap memberikan dirinya perhatian bagi orang lain.
    Kita dipanggil untuk mewujudkan iman kita dalam kehidupan nyata di tengah masyarakat. Tindakan-tindakan kecil dan sederhana yang mengungkapkan kasih dan solidaritas Allah akan menjadi tindakan nyata mewujudkan Gereja yang semakin signifikan dan relevan bagi orang lain.
    Iman membuat kehadiran kita selalu baru dimana pun kita berada, kehadiran kita menjadi tanda sakramental, yaitu tanda kehadiran Tuhan yang berbelas kasih. Tindakan itu akan kelihatan dari sikap yang kita lakukan: kejujuran kita, kebaikan hati yang tidak membalas yang buruk, tanggung jawab dalam pekerjaan, dan perhatian pada masyarakat yang lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Kita tidak perlu menyembunyikan identitas kita sebagai orang Katolik. Kita "berkompetisi" dalam kehidupan sosial bermasyarakat bukan untuk disanjung atau mendapat pujian, melainkan itu semua kita lakukan sebagai bentuk perwujudan iman kita sebagai orang Katolik. Kita adalah bagian dari masyarakat yang bersatu dengan seluruh masyarakat dalam usaha pembangunan. Dengan sikap dan tindakan nyata, kita ikut menyembuhkan luka-luka dalam masyarakat, membantu memajukan mereka yang tertinggal, menyalakan harapan bagi yang menderita.

Dalam masa Adven inilah, kita mempersiapkan Natal untuk kita maknai secara baru. Natal hendaknya menjadi medan untuk menghadirkan karya keselamatan Kristus ke tengah-tengah masyarakat secara nyata, dengan terlibat, solider, dan menyumbangkan segala hal yang baik bagi pembangunan hidup bersama.

Hari dan Masa Beristilah Khusus dalam Penanggalan Liturgi

    Menjelang Natal, kami menyuguhkan informasi yang dapat difahami oleh   umat Katolik mengenai Masa Natal. Mungkin saja kita tidak terlalu faham akan penanggalan gerejawi, sehingga kita seringkali salah kaprah karena kita tidak mengerti masa Natal, misalnya: ada gereja atau umat Kristen sudah merayakan Natal sebelum masa Adven atau pada masa Adven. Ini tentu saja kurang memberi kesan bermakna dalam masa Adven. Kita terlalu cepat atau terburu-buru sudah merayakan Natal pada masa Adven. Ini tentu sudah rancu makna itu, baik makna Adven itu sendiri maupun makna Natalnya. Semoga melalui artikel berikut ini kita benar-benar memahami makna Masa Natal.

ADVEN Adventus (bahasa latin) = ‘kedatangan’
I    stilah ini dulu kala dipakai umum dalam Imperium Romawi untuk kedatangan kaisar yang dianggap sebagai dewa, kemudian dipakai oleh pengikut-pengikut Kristus untuk menyatakan bahwa bagi mereka bukan kaisar, melainkan Kristus adalah Raja dan Tuhan. Masa Adven adalah masa persiapan sebelum Natal, yakni masa persiapan untuk menghayati makna kedatangan Kristus, sesuai dengan penantian Mesias oleh umat Israel yang terungkap dalam Alkitab Perjanjian Lama, juga sehubungan dengan kedatangan-Nya pada akhir zaman.

Warna Masa Advent:
    Tradisional gerejawi: ungu untuk Hari Minggu Adven I, II dan IV, merah muda (warna fajar) untuk Hari Minggu Adven III. Ada Gereja yang memakai warna biru ganti ungu, karena karakter Masa Adven tidak sama dengan karakter Masa Prapaska. Warna biru juga dihubungkan dengan Maria yang mewakili umat Israel dalam penantiannya akan kedatangan Mesias.

Adven I : Hari Minggu ke-4 sebelum Natal: biru (atau ungu)
Adven II : Hari Minggu ke-3 sebelum Natal: biru (atau ungu)
Adven III : Hari Minggu ke-2 sebelum Natal: merah muda (atau biru/ungu) Adven IV : Hari Minggu ke-1 sebelum Natal: biru (atau ungu)

GAUDETE Gaudete (bahasa latin) = ‘bersukacitalah’ (Filipi 4:4)

    Kata pertama dari antifon (semacam refren) pada Mazmur Pembukaan untuk Hari Minggu Adven III. Seluruh Hari Minggu itu diberi nama menurut kata pertama tersebut. Warna merah muda juga sesuai dengan sukacita itu: fajar menyingsing.

RORATE Rorate caeli (bahasa latin) = ‘Teteskanlah, hai langit’ (Yesaya 45:8)
    Kata-kata pertama dari antifon pada Mazmur Pembukaan untuk Hari Minggu Adven IV.

NATAL Natal (Portugis) Natalis - Dies Natalis (bahasa Latin) = ‘Hari Lahir’
    Masyarakat pra-kristiani dalam Imperium Romawi dahulu menggunakan istilah ini untuk kelahiran dewa Sang Surya, lengkapnya dies natalis invicti: hari kelahiran matahari yang tak terkalahkan. Pengertiannya dihubungkan pula dengan penyembahan kaisar sebagai dewa seperti matahari. Kaisar (abad ke-3) menetapkan perayaannya pada 25 Desember, demi kehormatannya sendiri sebagai ‘tuhan’. Hari ini kemudian ‘dikristianisasi’ sebagai Dies Natalis Yesus Kristus sebagai Matahari Kebenaran, Terang dunia yang sebenarnya, Raja alam semesta, Tuhan yang sanggup turun dari takhta-Nya.

    Ada juga perhitungan tanggal kelahiran Yesus yang bertitik tolak dari Lukas 1:26. Jikalau Tahun Baru Yahudi (awal bulan Tisyri) jatuh pada sekitar awal Oktober, maka bulan keenam jatuh sekitar bulan Maret. Apabila malaikat Gabriel datang kepada Maria pada akhir bulan keenam itu, maka akhir Desember (menurut kalender kita) adalah 9 bulan sesudahnya. Namun, menurut kalender Yahudi, bulan keenam juga dapat dihitung dari Paska, sehingga kelahiran Yesus terjadi pada musim panas dan kandang di Betlehem sedang kosong karena domba-domba bisa bermalam di alam terbuka. Warna Masa Natal dan Epifania: putih.

SUB OKTAF NATAL
    Kadang-kadang ada Hari Minggu di antara 25 Desember dan 1 Januari, sehingga jatuh pada suatu tanggal sebelum ‘Oktaf Natal’ (lihat keterangan di bawah ini). ‘Sub Oktaf berarti ‘di bawah oktaf.

OKTAF NATAL
    Hari ke-8 sesudah 25 Desember, tepat pada Januari. Lebih penting dari ‘Tahun Baru’ menurut ‘tahun sipil’ adalah nama ‘Yesus’ yang diberi kepada-Nya pada saat Ia disunat satu minggu sesudah Ia lahir (Lukas 2:21).

EFIFANIA Bahasa Yunani Epifaneia = penampakan
    Khususnya penampakan Kaisar atau patungnya sebagai dewa pada puncak manifestasi di stadion atau amfiteater (tempat tontonan besar untuk rakyat). Umat Kristiani pertama tidak mengakui kaisar, melainkan Yang Tersalib sebagai Tuhan. Istilah ‘Epifania’ tetap mereka pakai untuk peringatan kedatangan (Penampakan, penyataan tampil-Nya) Sang Juruselamat yang bernama Yesus. Tematik Epifania lebih luas dari hanya kelahiran-Nya: kedatangan Terang dunia, penyembahan oleh orang majus, pembaptisan Yesus oleh Yohanes (dengan suara dari atas: ‘Inilah Anak-Ku’). Dirayakan pada 6/7 Januari (atau pada Hari Minggu terdekat), mula-mula khususnya di bagian Timur Imperium Romawi, kemudian juga di bagian Barat (sejarahnya lebih lama daripada perayaan Natal). Warna Masa Epifania: putih.

Menjadi Bunda Kristus

        Hari Minggu Adven IV
       Oleh: P. Paulus Tongli, Pr
 
 

Beberapa pendamping sekolah minggu suatu saat sedang mempersiapkan anak-anaknya untuk bermain drama natal. Si kecil Cynthia tidak menyukai perannya. Ia ingin bertukar peran dengan temannya Monika. Ketika pendampingnya bertanya kepadanya, mengapa ia ingin bertukar peran, ia menjawab, “Karena lebih mudah memerankan malaikat daripada Maria, ibu Tuhan.” Jawaban Cynthia tentu saja benar. Menjadi bunda Kristus bukanlah suatu hal yang mudah. Sulit, tetapi itulah yang senyatanya menjadi panggilan kita. Kita dapat mengatakan, bahwa meskipun Yesus telah lahir di Bethlehem, tetapi keinginan-Nya yang sesungguhnya adalah untuk lahir di dalam hati orang-orang yang mempercayai-Nya, untuk dihadirkan di dalam diri orang-orang yang mempercayai-Nya.

Bunda Kristus adalah gelar yang biasanya kita terapkan pada Maria. Tetapi Maria adalah ibu Kristus di dalam dua arti. Ia adalah ibu Kristus secara fisik, karena ia telah mengandung dan melahirkan Kristus. Ini adalah peran yang tidak akan dapat terulang dan suatu kehormatan yang tidak akan dapat diambil oleh orang lain dari padanya. Tetapi ia juga adalah ibu Kristus di dalam arti spiritual. Di dalam makna spiritual ini peran menjadi ibu Kristus dapat di lakoni oleh setiap orang Kristen. Kita semua tua-muda, laki-laki-perempuan dapat dan seharusnya menjadi bunda Kristus. Penyebutan orang-orang Kristen sebagai ibu Kristus sangatlah lazim di kalangan para mistikus kristiani. Seorang mistikus, imam Dominikan, yaitu Meister Eckhart, berkata bahwa Allah menciptakan jiwa manusia untuk melahirkan putera-Nya, agar bilamana kelahiran itu terjadi, kelahiran itu akan memberikan kegembiraan yang lebih bersar kepada Allah daripada kegembiraan pada saat penciptaan langit dan bumi.

Apakah itu menjadi ibu spiritual dari Kristus, dan bagaimana hal itu dapat terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini perlulah kita kembali kepada Kristus sendiri.

“Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepada-Nya: “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.” Jawab Yesus kepada mereka: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Mrk 3:31-35)

Hal ini menunjukkan bahwa (a) Yesus mengharapkan para pengikut-Nya untuk tidak hanya menjadi saudara dan saudari-Nya, tetapi juga menjadi ibu-Nya, dan (b) cara untuk menjadi ibu Yesus adalah dengan melakukan kehendak Allah. Menjadi ibu spiritual bagi Yesus terletak pada jawaban positif kita terhadap Allah, juga ketika tampaknya Tuhan meminta dari kita hal yang secara manusiawi kelihatannya tidak mungkin, seperti meminta Maria untuk menjadi ibu perawan. Untuk menjadi ibu Kristus perlulah kita berdoa seperti doa Maria: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku seturut perkataanmu” (Luk 1:38).

Doa Maria tersebut saat ini dikenal sebagai doa yang terindah. Doa inilah yang telah membawa Allah turun dari surga dan tinggal di dalam jiwa dan badan seorang wanita yang sederhana. Doa inilah yang telah memungkinkan terjadinya sebuah peristiwa yang terbesar di dalam sejarah manusiawi, peristiwa Allah menjadi manusia di dalam diri Yesus. Doa inilah yang telah sejarah manusia secara permanen sejak 2000 tahun yang lalu. Doa ini sangat berbeda dengan doa yang biasa, doa di mana kita mencoba untuk mempengaruhi Allah melakukan kehendak kita. Doa yang biasanya kita panjatkan sebenarnya berisi, “Kehendak/keinginankulah yang terjadi,” sementara doa Maria sungguh berisi kepasrahan, “Kehendak-Mulah yang terjadi.”

Si kecil Cynthia dalam ceritera pembukaan tadi memang benar. Memang tidak mudah untuk menjadi ibu Kristus. Tetapi kutipan injil hari ini telah menunjukkan caranya. Caranya ialah: mendengarkan sabda Allah dan mengatakan ya kepada Allah juga ketika tampaknya kehendak Allah itu bertentangan dengan semua rencana dan harapan kita akan masa depan kita. Dengan semakin dekatnya hari natal, Maria mengingatkan kita bahwa natal yang terbaik, dan merupakan natal yang sesungguhnya, ialah kalau kita tidak hanya mengenangkan kelahiran Kristus di kota kecil Bethlehem, tetapi mensyukuri kelahiran Kristus di kedalaman hati kita.