Suatu sore di akhir minggu pertama bulan Agustus. Seorang ibu tampak dengan sabar menunggu putrinya bermain laying-layang di tanah lapang, tidak jauh dari rumah mereka. Ketika sang putrid mulai tenggelam dalam keasyikan menerbangkan laying-layang menembus awan pedesaan, sang ibu pun lenyap dalam pengembaraannya, melumat novel yang baru saja dibawanya dari kota kabupaten. Keduanya benar-benar tenggelam dalam dunia dan kegemaran masing-masing.
Tiba-tiba saja bayangan awan menyapu kesadaran sang ibu, dan ia pun memalingkan wajah ke arah putrinya. Ibu itu tampak terkejut melihat putrinya memegang erat benang laying-layang itu sambil sesekali menarik dan melonggarkannya. “Layang-layang sama sekali tidak tampak, tetapi kenapa anakku begitu bersemangat?” tanya sang ibu dalam hatinya.
Perlahan sang ibu mendekati anaknya, lalu bertanya, “Nak, aku tidak melihat laying-layangmu. Aku khawatir laying-layangmu sudah putus. Apa kamu yakin laying-layangmu masih terikat pada benangnya?”
Sedikit terkejut dengan pertanyaan ibunya, sang putrid yang baru beranjak remaja itu menjawab, “Tentu masih ada bu, laying-layangnya masih ada kog. Aku tahu itu, karena aku masih merasakannya ketika menarik dan melonggarkan benang ini.”
Ya, sejauh masih bisa dirasakan, laying-layang itu memang masih terikat pada benang yang tampaknya masih tegang tersebut. Meskipun tak tampak mata, laying-layang itu eksis. Kehadirannya masih bisa dan tetap dirasakan.
Mungkin saja gambaran semacam ini cocok mengilustrasikan kehadiran Tuhan dalam kehidupan iman kita. Tuhan dipercaya sebagai ada dan eksis. Meskipun tidak tampak, kehadirannya bisa dirasakan. Sama seperti laying-layang yang terus terikat pada benang, Tuhan pun setia “mengikatkan diri-Nya” pada benang kehidupan kita. Dialah ibarat laying-layang yang merelakan diri-Nya terikat pada hati kita. Melalui keterbukaan dan kepasrahan pada-Nya kita sanggup merasakan kehadiran-Nya.
Demikianlah, ketika kita membiarkan diri kita terbuka dalam perjumpaan dengan orang lain dan mengalami kehadiran mereka, ketika kita sanggup mencium semerbak mewangi bunga-bunga, menikmati birunya langit, tenggelam dalam alunan merdu musik dan lagu, atau terpesona pada indahnya alam, ketika itu pula seluruh kemampuan mengindrai dibiarkan berfungsi. Dalam rasa, dalam pendengaran, dalam penglihatan, dalam sentuhan, dan dalam cecapan, hati kita bergetar. Dan ketika itu pula, selaku benang laying-layang, hati kita terikat kuat pada laying-layang abadi. Dia yang sanggup terbang nun-jauh di sana, tetapi yang tak akan pernah membiarkan pujaan hati-Nya merana dan kering dalam kerinduan akan kehadiran-Nya. Ya, hanya ketika hati itu menjadi bening dan suci, laying-layang Abdai mau mengikatkan diri-Nya di sana.
Kita tahu itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar