Hari Minggu Adven III
Oleh: P. Sani Saliwardaya, MSC
Oleh: P. Sani Saliwardaya, MSC
Inspirasi Bacaan :Yes. 61:1-2a, 10-11; 1Tes. 5:16-24; Yoh. 1:6-8, 19-20
“Everybody is unique, but nobody is an island”. Ungkapan ini, yang bisa diterjemahkan “Meskipun setiap orang adalah unik, tetapi tidak seorangpun yang bisa hidup sendirian”, pernah menjadi pertanyaan besar dalam hatiku. Apa sebenarnya makna ungkapan itu? Cukup lama aku tidak menemukan jawaban yang memuaskan hatiku. Aku selalu merasa bahwa aku bisa hidup bahagia sendirian; aku membutuhkan orang tetapi sejauh mendukung cita-cita & kebahagiaanku. Patokan dan tolok ukurnya adalah diriku sendiri. Sampai pada suatu ketika aku merasakan bahwa pandanganku itu cukup keliru dan melenceng. Aku harus memperbaharui diri. Pembaharuan ini dipicu oleh suatu pengalaman yang menyentuh hatiku.
Ketika masih studi di Seminari Tinggi Pineleng di “Manado” (sebenarnya desa Pineleng terletak di Kabupaten Minahasa, tetapi orang dari luar Sulawesi Utara lebih mengenal Manado daripada Minahasa), setiap tahun sebagai bentuk bakti sosial, kami mengunjungi Rumah Sakit Kusta di desa Malalayang, Manado. Kami biasanya mengunjungi mereka menjelang Natal dengan membawa bingkisan Natal yang kami kumpulkan dari umat. Jadi sebenarnya kami hanya “mengantarkan” hadiah dari umat untuk mereka. Selain mengantarkan hadiah Natal, kami biasanya menyanyi bersama mereka dan berbincang-bincang sebentar dengan mereka, lalu pulang ke kampus. Tidak semua penderita kusta itu bisa menemui dan ditemui oleh kami, hanya mereka yang sudah benar-benar dinyatakan sembuh dan “kering” saja yang bisa bertatap muka dengan kami.
Singkat cerita, setelah dua kali berkunjung ke Rumah Sakit Kusta tersebut, aku kenal dengan seorang bapa yang masih tinggal di sana karena keluarganya tidak mau lagi menerima dia. Bapa ini sudah kehilangan sebagian ruas jari-jari tangannya, dan hidungnya juga sudah tidak sempurna lagi. Setiap kali berkunjung, aku selalu mencoba bercerita dengan dia dan mendengarkan ceritanya. Dia seorang bapa yang selalu tampak ceria dan optimis, meskipun sudah cacat karena sakitnya. Pada kunjungan yang ketiga itu, saya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, “Om Anton, apa yang membuat om selalu kelihatan gembira dan cerah?”. Jawabannya yang tak terduga itulah yang membuat aku merasa perlu membaharui diriku dan konsepku tentang kebahagiaan. Om Anton menjawab demikian. “Aku bersyukur karena aku masih bisa membantu teman-teman lain yang lebih parah dari aku. Karena itulah, aku tetap senang tinggal di sini bersama teman-teman walaupun keluargaku tidak pernah menengok aku lagi. Aku mempunyai keluarga baru yang membuat aku bisa bersyukur”.
Om Anton, dengan keadaannya yang seperti itu, bisa tetap ceria karena masih merasa berguna bagi komunitasnya. Komunitasnya itulah yang membuat dia masih merasa berguna dan bahagia.
Hari Minggu III Adven dalam tradisi Gereja kita disebut hari Minggu Suka Cita, atau dalam bahasa latin sering disebut Gaudete atau Gaudebo. Salah satu alasan suka cita itu ialah bahwa hari kedatangan Juruselamat dunia sudah semakin mendekat.
Bacaan-bacaan Minggu ini juga memberi alasan atas suka cita tersebut.
Bacaan pertama dari kitab nabi Yesaya menceritakan kisah panggilan seorang nabi, di mana kisahnya mirip dengan nyanyian Hamba Yahwe (bdk. Yes.42:1 dst.). Panggilan seorang nabi selalu merupakan kabar gembira karena nabi diutus Tuhan untuk membawakan kabar keselamatan. Meskipun demikian, tidak dengan sendirinya nabi selalu diterima dan dihormati. Tugas panggilan sang nabi yang dikisahkan dalam Yesaya 61 ini adalah mewartakan tentang kesetiaan Allah. Dikatakan bahwa Tuhan akan menepati dan mewujudkan janji-Nya untuk menyelamatkan bangsa Israel yang tercerai-berai. Bukan hanya itu saja. Tuhan bahkan akan menjadikan mereka sebagai mempelai wanita-Nya (bdk. ay.10-11). Sebagai wakil umat, sang nabi mengucapkan syukur atas perhatian, kebaikan, dan kesetiaan Tuhan karena telah berkenan “mengenakan padanya pakaian keselamatan dan menyelubunginya dengan jubah kebenaran”. Itulah alasan suka cita umat.
Bacaan Injil menampilkan Yohanes Pembaptis sebagai saksi kedatangan Sang Mesias.
Yohanes memberi kesaksian bahwa dia bukan Mesias. Kesaksiannya ini ditampilkan dalam dua adegan, yakni berhadapan dengan “beberapa imam & orang lewi” di mana status Yohanes Pemandi dipertanyakan (ay.19-23), dan berhadapan dengan “beberapa orang farisi” di mana kuasanya membaptis dipertanyakan (ay.24-28). Ketika dianggap sebagai nabi Elia, dia dengan terus terang mengatakan “bukan”, dan bahkan ketika dianggap sebagai Mesias, dia dengan tegas mengatakan “bukan”. Yohanes Pemandi tidak mau mencari keuntungan bagi dirinya sendiri meskipun ada kesempatan. Kerendahan hatinya sungguh-sungguh tampak ketika dia mengatakan ketidak-layakannya untuk membuka tali kasut Sang Mesias (ay. 27).
Dalam bacaan II, Paulus menasehati umat di Tesalonika untuk bersuka cita menyongsong datangnya hari Tuhan. Konteks bacaan tersebut adalah nasehat Paulus agar mereka membangun hidup bersama dengan dasar kasih (ay.12-13). Dan cara hidup umat Kristiani yang didasarkan pada kasih itu harus dibina dan dikembangkan melalui doa (ay.17, bersyukur dalam segala hal (ay.18), dan dengan tidak memadamkan Roh (ay.19). dengan kata lain, Paulus menasehati mereka agar membangun hidup bersama (berkomunitas) dengan memberi “tempat & waktu” bagi Tuhan.
Dari ketiga bacaan tersebut kita dapat menarik suatu kesimpulan:
1. Suka cita sejati tidak terjadi dan tumbuh dengan sendirinya.
2. Suka cita sejati tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang yang bisa dan biasa membina hati nurani dengan disiplin dan teratur.
3. Untuk bisa dan membiasakan diri membina hati nurani dengan disiplin dan teratur dibutuhkan semangat kerendahan hati .
4. Semangat kerendahan hati adalah semangat memberi “tempat & waktu” kepada Roh Kudus yang dinyatakan dalam doa dan mengupayakan hidup dengan penuh rasa syukur.
5. Komunitas merupakan wadah yang ideal di mana semangat memberi “tempat & waktu” kepada Roh Kudus terus menerus dibina, diperbaharui dan dikembangkan.
Dalam Minggu Adven III ini kita diajak untuk mencari dan menemukan suka cita sejati, bukan hanya sekedar suka cita instant, sebagai persiapan untuk menyongsong suka cita Ilahi yang ditawarkan kepada kita. Sebagai orang Katolik, komunitas di mana kita hidup adalah pertama-tama keluarga, kemudian rukun, sel / kelompok, dan Gereja. Apakah kita menemukan suka cita di sana? Dan apakah kita berbagi suka cita di sana juga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar