Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Rabu, 28 Desember 2011

KERENDAHAN HATI

Hari Raya St. Perawan Maria Bunda Allah
Bil. 6:22-27; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21
Tahun B
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC

Pada suatu saat saya membawakan homili dengan tema kerendahan hati. Mengingat bahwa hari itu adalah hari Minggu dan setelah itu ada Misa berikutnya, saya mencoba membawakan homili tersebut dengan agak singkat dan padat.

Setelah Misa selesai, ada seorang bapak yang mendekati saya dan berkata, “Pastor, sepertinya kerendahan hati seperti yang dikotbahkan tadi akan sangat sulit dijalankan oleh umat dalam situasi masyarakat kita sekarang ini!”. “Mengapa?’, saya balik bertanya. Dan dia menjelaskan sambil memberikan contoh kurang lebih seperti ini. “Dalam dunia sekarang, kalau kita lebih mengutamakan kepentingan orang lain, maka kita sendiri yang akan menderita dan mengalami kesulitan. Apakah masih ada orang yang mau seperti itu?”.

    Ketika mempersiapkan tulisan ini sambil membaca bacaan-bacaan Kitab Suci Minggu ini saya mendapatkan gagasan tentang kerendahan hati. Dan ketika gagasan kerendahan hati itu saya renungkan, saya teringat pengalaman bersama sang bapak di atas.
Harus saya akui bahwa dewasa ini kerendahan hati atau sikap rendah hati merupakan barang langka. Dewasa ini sudah sangat sedikit orang yang mau bersikap rendah hati. Orang yang rendah hati sebaliknya malah dinilai sebagai orang yang lemah. Di saat orang-orang lain memperebutkan kesempatan dalam kesempitan, orang yang rendah hati dinilai sebagai orang yang membuang dan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Di saat orang lebih memperhatikan kepentingan dan keuntungan sendiri, orang yang rendah hati nilai sebagai orang yang bodoh. Benarkah orang yang rendah hati itu adalah orang yang lemah & bodoh?

Rendah hati adalah kata sifat. Dalam bahasa Inggris kita mengenal kata humble (kata sifat) dan humility (kata benda). Kata humble berasal dari kata bahasa Latin humilis (kata sifat) dan humus (kata benda), yang arti dasarnya adalah tanah, bumi. 

Sebagaimana tanah dan bumi menjadi dasar pijakan segala sesuatu dan tempat bertumbuh dan berkembangnya kehidupan, rendah hati adalah sifat yang menjadi dasar, bertumbuh dan berkembangnya sifat-sifat kemanusiaan yang lainnya. Tanpa kerendahan hati maka sifat-sifat kemanusiaan lainnya menjadi kurang bermakna. Santo Paulus dalam madah kasihnya, berkata, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong”.(1Kor. 13:4). Kerendahan hati yang tampak dalam sikap tidak memegahkan diri dan tidak sombong menjadi salah satu kwalitas kasih, menurut Paulus. Tanpa kerendahan hati maka kwalitas kasih akan memudar. Hal yang senada dikatakan oleh Yohanes, pengarang Injil, ketika dia berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”. (Yoh.3:16). Mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal adalah ungkapan lain dari “firman telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yoh.1:14). Peristiwa Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus ini oleh Paulus disebut sebagai peristiwa pengosongan Diri Allah (bdk. Fil. 2:7-8). Dan inilah peristiwa di mana Allah telah merendahkan Hati dan Diri-Nya demi keselamatan manusia. Sikap Allah yang merendahkan Hati dan Diri-Nya ini justru hendak menunjukan kwalitas Cinta Allah yang begitu besar kepada manusia.

    Dalam bacaan Injil kita Minggu ini sikap rendah hati ditampakkan dalam diri para gembala dan Perawan Maria.

Dalam Injil Lukas, gembala sering menjadi simbol orang-orang yang tersingkirkan karena pekerjaan mereka. Ketika sedang melaksanakan pekerjaannya menggembalakan domba dan mencari padang rumput bagi kawanan dombanya, mereka sering melakukan perjalanan yang jauh dan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan tinggal di padang rumput bersama kawanan dombanya (bdk. Luk.2:8). Saat menjalankan pekerjaan itu mereka sering tidak bisa menjalankan kewajiban keagamaannya, tidak bisa membasuh dan membersihkan tubuhnya. Karena alasan itu mereka sering dianggap orang-orang najis, berdosa dan kotor sehingga disingkirkan dari masyarakat. Para gembala ini hanya menerima kabar dari Malaikat tentang kelahiran Kanak-kanak Yesus (ay.9). Tanpa banyak diskusi macam-macam, mereka segera bergegas menuju Bethelem (ay.15-16). Meskipun tidak memahami semua perkataan Malaikat dan tidak mengerti makna dibalik kabar itu, mereka pergi melaksanakan apa yang mereka dengar.

Hal yang sama dialami oleh Perawan Maria. Ketika para gembala menceritakan apa yang dialaminya (ay.17) dan semua orang yang mendengarnya menjadi heran dengan kisah mereka (ay.18), Maria menyimpan segalanya itu dalam hatinya dan merenungkannya (ay.19). Maria tidak bisa mencerna dengan akal budi dan pengertiannya tentang kisah kelahiran Putranya. Meskipun demikian, dia mencoba merenungkannya; artinya, menjalaninya sambil mencoba menemukan makna di dalamnya meskipun dia juga tidak tahu persis kapan makna itu akan dia dapatkan.  Hal yang sama juga dialaminya ketika dia menerima kabar dari Malaikat Gabriel bahwa dia dipilih Allah untuk menjadi ibu Yesus. Dia mencoba untuk memahaminya dengan akal budinya (bdk. Luk. 1:34). Meskipun dia akhirnya tokh tidak dapat mengerti dibalik kabar Malaikat itu, dia menerima keterpilihan itu (bdk. ay.38).

Dari kedua tokoh, para gembala dan Perawan Maria, kita bisa menemukan kriteria lain tentang kerendahan hati, yakni kerelaan untuk mendengarkan.  Kriteria ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kriteria Paulus, yakni tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Paulus menyatakannya dengan ungkapan negatip, sedangkan Lukas mengungkapkannya secara positip. Orang yang rela mendengarkan adalah orang yang tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Orang yang bisa mendengarkan adalah orang yang tidak banyak berbicara, NATO (No Action Talk Only).

    Kita kembali kepada pertanyaan refleksi di atas, “benarkah orang yang rendah hati itu adalah orang yang lemah dan bodoh?”.
Saya tidak bisa memberikan suatu jawaban pasti sebagai resep, tetapi hanya bisa memberikan beberapa contoh. 

Contoh pertama sudah kita lihat dalam diri para gembala dan Perawan Maria. Apakah mereka adalah orang-orang yang lemah dan bodoh? Justru sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang tegar. Contoh yang lain adalah Beata Ibu Theresa dari Calcuta. Kerendahan hatinya untuk merawat orang-orang miskin telah menjadikan beliau sebagai sumber inspirasi bagi kegiatan kemanusiaan yang dicanangkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kerendahan hati Beato Paus Yohanes Paulus II untuk memaafkan orang yang menembaknya di Lapangan St. Petrus, Vatikan, Mehmet Ali Agca, menjadi inspirasi untuk sikap mengampuni dan sikap perdamaian. Dan masih banyak contoh lain lagi. 

Apakah itu kebodohan dan kelemahan? Saya teringat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat” (1Kor.1:27). Dan ungkapan lainnya, “manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” (1Kor.2:14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar