Adven 3
Bacaan Injil Lukas (1:26-38) memberikan kepada kita permenungan bagaimana iman Maria. Ia memiliki iman yang sungguh mendalam kepada Tuhan. Kedalaman iman Maria nampak dari relasinya yang begitu dekat dengan Allah dan para malaikat-Nya. Ia dikunjungi oleh Malaikat, disapa dan disampaikan kepadanya pesan dari Allah sendiri. Ia juga sungguh menjadi orang kepercayaan Allah yang mampu turut serta ambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Tentu kepercayaan Allah itu tidak tanpa dasar. Dasarnya adalah Maria beriman secara total dan sungguh-sungguh pada Allah.
Kecuali itu, Maria juga menampakkan ketangguhan beriman: Hal itu nampak dari kesediaannya untuk menerima tugas yang berat dan penuh resiko. Dikatakan berat dan beresiko karena ia harus mengandung seorang Putra sementara ia belum bersuami. Dalam masyarakat pada waktu itu, siapapun yang kedapatan berzinah akan dihukum mati dengan cara dilempari batu. Bisa saja oleh orang yang tidak beriman, Maria telah dianggap berzinah dan mengandung. Namun kepercayaan-Nya kepada Allah tidak tergoyahkan oleh ketakutan-ketakutan akan resiko yang akan terjadi. Ia siap menanggung resiko atas keputusannya menerima tawaran Allah. Dengan penuh iman, ia menjawab tawaran Allah itu dengan kata-kata yang indah, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu." Maria mengakui bahwa beriman memang kadang-kadang akan menghadapi resiko. Namun kalau memiliki iman yang mendalam dan tangguh, apa pun resikonya pasti akan bisa dihadapi sebab Allah beserta kita untuk membantu kita.
Pengakuan Maria itu mirip dengan pengakuan kisah selanjutnya inii. Kita akan diajak merenungkan kedalaman dan ketangguhan iman seorang biarawati yang berkarya di salah satu rumah sakit Katolik. Bagaimana ketangguhan yang ditampakkan dan sikapnya dalam melayani pasien dalam kisah "Salib Menguatkan Pelayanan Kami".
Senin pagi yang cerah di akhir Juli 2010. Setelah usai doa pagi, sebelum mulai kerja, telpon berdering. Usai aku memberi salam, ada jawaban lembut dari sana, yang mengatakan, "Suster tolong pendampingan pasien baru Elisabet 201B, masuk dengan [i]febris[/i] (panas) yang tak kunjung turun sudah hampir satu minggu. Inti informasi yang disampaikan adalah bapak Harapan (bukan nama sesungguhnya), tidak mau makan dan minum obat, alasannya tidak jelas, tetapi sempat bilang menunggu salib yang dipasang di kamarnya minta diturunkan.
Seusai perawat wasen (memandikan) semua pasien, saya masuk ke kamar itu, memberi salam dan memperkenalkan diri. Bapak itu menjawab salam saya, karena namanya jelas saya sebut. Tetapi pak Harapan tidak bisa melihat saya secara langsung karena posisi tidurnya dibalik, supaya tidak melihat salib. "Selamat pagi Pak! Bisa tidur semalam?" Pak Harapan tidak menjawab sapaan saya. "Sudah siang kok belum sarapan? Apa masih ada hal yang membuat tidak enak? Apa yang boleh saya bantu pak?" Mulailah sepatah kata keluar dari bibirnya, "Saya ini pusing dan stress kok dak sembuh-sembuh." Tanyaku lebih lanjut, "kenapa tidurnya ini kok diputar-putar? Apa ini tidak membuat bapak tambah pusing? Mau terima oksigen susah, ambil makan minum susah, bahkan dokter visitpun juga susah karena harus putar-putar." Bapak itu tertawa kecil, lalu putar badan tanpa saya duga. Bapak ini menunjuk salib dengan berucap, "Itu yang membuat saya tambah pusing suster??" Saya ganti yang tertawa, "benarkah begitu??" Tanyaku lanjut, "coba perhatikan baik-baik, apa yang membuat bapak pusing dari salib itu?" Bapak itu menunduk, dan berucap lirih tapi jelas. "Tidak suster! Saya tidak tahan melihat matanya yang terus melihat saya, dan saya kasihan melihat dia terus-terus tergantung di sana,maka saya semalem minta perawat untuk menurunkan." Saya menjadi semakin penasaran, "Lha kenapa salib itu sampai sekarang masih ada di situ? Suster tadi malah tidak mau membantu menurunkan?" Pak Harapan menjelaskan, "Perawat tadi malam hanya tersenyum saja sambil menjawab, 'Sebelum saya lahir dan kerja disini, Salib itu sudah ada. Lagi pula, itu salib itu ciri khas bagi orang Kristen Pak dan tidak akan mengganggu pengobatan bapak'. Begitu dia menjawabnya."
Kata "kasihan" yang terungkap itu saya jadikan kata kunci untuk masuk lebih dalam. Setelah cukup saya mendengarkan, saya berkata, "Terima kasih pak sudah mengasihani Tuhan kami. Akan tetapi kami lebih berterima kasih lagi kalau bapak tidak memaksa kami untuk menurunkan salib itu dengan tidak mau makan dan minum obat. Tujuan bapak datang ke sini kan mau berobat dan sehat kan??? Salib itu bagi bapak tidak berarti apa-apa, bapak boleh menganggap hanya sebuah patung yang dipasang, sebagai ciri, lambang, atau tanda bagi orang kristiani'." Lebih lanjut saya menjelaskan, "Lain halnya bagi kami, salib tidak hanya sekedar lambang, tetapi memiliki makna yang dalam. Salah satunya kami bekerja melayani orang-orang sakit di rumah sakit ini, juga disemangati oleh Dia yang disalib itu. Penderitaan dan wafatnya di kayu salib itu karena cinta-Nya pada kami manusia berdosa, supaya selamat." "Kami seluruh staf disini sebagai sarana untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan dengan membantu para pasien yang lemah dan tak berdaya, dalam proses penyembuhan, kita semua bergantung pada Tuhan sendiri sang pemilik hidup."
Bapak ini mengangguk tanda menerima, dan satu hal penting saya dapat lihat secara nyata saat itu, ia mau makan sampai habis, dan minum obat. Sengaja saya menunggu sampai selesai, karena kebetulan juga keluarganya pas pulang.
Kecuali itu, Maria juga menampakkan ketangguhan beriman: Hal itu nampak dari kesediaannya untuk menerima tugas yang berat dan penuh resiko. Dikatakan berat dan beresiko karena ia harus mengandung seorang Putra sementara ia belum bersuami. Dalam masyarakat pada waktu itu, siapapun yang kedapatan berzinah akan dihukum mati dengan cara dilempari batu. Bisa saja oleh orang yang tidak beriman, Maria telah dianggap berzinah dan mengandung. Namun kepercayaan-Nya kepada Allah tidak tergoyahkan oleh ketakutan-ketakutan akan resiko yang akan terjadi. Ia siap menanggung resiko atas keputusannya menerima tawaran Allah. Dengan penuh iman, ia menjawab tawaran Allah itu dengan kata-kata yang indah, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu." Maria mengakui bahwa beriman memang kadang-kadang akan menghadapi resiko. Namun kalau memiliki iman yang mendalam dan tangguh, apa pun resikonya pasti akan bisa dihadapi sebab Allah beserta kita untuk membantu kita.
Pengakuan Maria itu mirip dengan pengakuan kisah selanjutnya inii. Kita akan diajak merenungkan kedalaman dan ketangguhan iman seorang biarawati yang berkarya di salah satu rumah sakit Katolik. Bagaimana ketangguhan yang ditampakkan dan sikapnya dalam melayani pasien dalam kisah "Salib Menguatkan Pelayanan Kami".
Senin pagi yang cerah di akhir Juli 2010. Setelah usai doa pagi, sebelum mulai kerja, telpon berdering. Usai aku memberi salam, ada jawaban lembut dari sana, yang mengatakan, "Suster tolong pendampingan pasien baru Elisabet 201B, masuk dengan [i]febris[/i] (panas) yang tak kunjung turun sudah hampir satu minggu. Inti informasi yang disampaikan adalah bapak Harapan (bukan nama sesungguhnya), tidak mau makan dan minum obat, alasannya tidak jelas, tetapi sempat bilang menunggu salib yang dipasang di kamarnya minta diturunkan.
Seusai perawat wasen (memandikan) semua pasien, saya masuk ke kamar itu, memberi salam dan memperkenalkan diri. Bapak itu menjawab salam saya, karena namanya jelas saya sebut. Tetapi pak Harapan tidak bisa melihat saya secara langsung karena posisi tidurnya dibalik, supaya tidak melihat salib. "Selamat pagi Pak! Bisa tidur semalam?" Pak Harapan tidak menjawab sapaan saya. "Sudah siang kok belum sarapan? Apa masih ada hal yang membuat tidak enak? Apa yang boleh saya bantu pak?" Mulailah sepatah kata keluar dari bibirnya, "Saya ini pusing dan stress kok dak sembuh-sembuh." Tanyaku lebih lanjut, "kenapa tidurnya ini kok diputar-putar? Apa ini tidak membuat bapak tambah pusing? Mau terima oksigen susah, ambil makan minum susah, bahkan dokter visitpun juga susah karena harus putar-putar." Bapak itu tertawa kecil, lalu putar badan tanpa saya duga. Bapak ini menunjuk salib dengan berucap, "Itu yang membuat saya tambah pusing suster??" Saya ganti yang tertawa, "benarkah begitu??" Tanyaku lanjut, "coba perhatikan baik-baik, apa yang membuat bapak pusing dari salib itu?" Bapak itu menunduk, dan berucap lirih tapi jelas. "Tidak suster! Saya tidak tahan melihat matanya yang terus melihat saya, dan saya kasihan melihat dia terus-terus tergantung di sana,maka saya semalem minta perawat untuk menurunkan." Saya menjadi semakin penasaran, "Lha kenapa salib itu sampai sekarang masih ada di situ? Suster tadi malah tidak mau membantu menurunkan?" Pak Harapan menjelaskan, "Perawat tadi malam hanya tersenyum saja sambil menjawab, 'Sebelum saya lahir dan kerja disini, Salib itu sudah ada. Lagi pula, itu salib itu ciri khas bagi orang Kristen Pak dan tidak akan mengganggu pengobatan bapak'. Begitu dia menjawabnya."
Kata "kasihan" yang terungkap itu saya jadikan kata kunci untuk masuk lebih dalam. Setelah cukup saya mendengarkan, saya berkata, "Terima kasih pak sudah mengasihani Tuhan kami. Akan tetapi kami lebih berterima kasih lagi kalau bapak tidak memaksa kami untuk menurunkan salib itu dengan tidak mau makan dan minum obat. Tujuan bapak datang ke sini kan mau berobat dan sehat kan??? Salib itu bagi bapak tidak berarti apa-apa, bapak boleh menganggap hanya sebuah patung yang dipasang, sebagai ciri, lambang, atau tanda bagi orang kristiani'." Lebih lanjut saya menjelaskan, "Lain halnya bagi kami, salib tidak hanya sekedar lambang, tetapi memiliki makna yang dalam. Salah satunya kami bekerja melayani orang-orang sakit di rumah sakit ini, juga disemangati oleh Dia yang disalib itu. Penderitaan dan wafatnya di kayu salib itu karena cinta-Nya pada kami manusia berdosa, supaya selamat." "Kami seluruh staf disini sebagai sarana untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan dengan membantu para pasien yang lemah dan tak berdaya, dalam proses penyembuhan, kita semua bergantung pada Tuhan sendiri sang pemilik hidup."
Bapak ini mengangguk tanda menerima, dan satu hal penting saya dapat lihat secara nyata saat itu, ia mau makan sampai habis, dan minum obat. Sengaja saya menunggu sampai selesai, karena kebetulan juga keluarganya pas pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar