Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Rabu, 16 November 2011

SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN

Hari Minggu Biasa XXXII
Inspirasi Bacaan: Keb. 6:13-17; 1Tes. 4:13-18; Mat. 25:1-13
P. Sani Saliwardaya, MSC 

 Ungkapan tersebut di atas, rasa-rasanya sudah tidak asing lagi bagi kita. Ungkapan tersebut bisa diberi pelbagai makna dan arti serta dipakai dalam pelbagai macam situasi. Meskipun demikian, pada umumnya ungkapan tersebut mau mengajak kita untuk “berjaga-jaga atau bersiap siaga” sebelum muncul peristiwa atau kejadian yang tidak kita inginkan.

        Kita hidup dalam dunia post-modern di mana segala-galanya bisa dicapai dan didapat dengan cara instant, budaya siap saji / pakai. Bukan hanya makanan dan minuman saja, tetapi cara dan gaya hidup instant juga mulai menjamur dan diminati. Salah satu bentuk cara da n gaya hidup instant adalah gaya hidup kredit dan tukar-tambah. Pada masa jadoel (jaman doeloe), untuk membeli sebuah sepeda saja orang harus menghemat dan menabung sampai beberapa bulan atau bahkan tahun. Orang tempo doeloe harus membuat perencanaan keuangan untuk membeli sesuatu. Pada masa sekarang, untuk membeli dan membawa pulang sebuah sepeda motor, cukuplah mengeluarkan uang sebesar Rp. 500.000,-, sedangkan sisanya diangsur, dikredit sampai sekian bulan atau tahun. Bukan hanya sepeda motor, bahkan mobil dan rumah tinggalpun bisa diangsur / dikredit. Bahkan saya pernah dengar, untuk kepentingan ziarahpun sudah ada kreditnya. Barang-barang yang didapat dari cara instant begitu juga sangat gampang ditukar-tambahkan. Ketika seseorang sudah tidak menyukai barang yang dimilikinya, dengan gampang dia akan menukarkannya dengan barang yang lebih bagus dan menyenangkan, tetap dengan cara instant, yakni kredit.

    Dalam budaya instant, gaya hidup kredit dan tukar-tambah seperti itu, kata-kata menabung dan menghemat akan dianggap kurang berarti, bahkan tidak berguna sama sekali. Untuk apa susah payah menabung kalau segalanya bisa didapat dengan mudah?     Dan lebih jauh lagi, kata-kata berjaga-jaga dan bersiap siaga juga mengalami pemudaran arti & makna.

    Bagi orang yang menjalani cara dan gaya hidup instant seperti itu, pekerjaan “berjaga-jaga dan mempersiapkan sesuatu sebelum peristiwa terjadi” bisa dianggap sebagai pemborosan dan tindakan sia-sia.

    Saya teringat suatu peristiwa yang saya alami ketika masih berada di Jepang. Seperti kita ketahui bersama, bahwa Negari bunga Sakura ini termasuk salah satu negara yang paling banyak dilanda bencana gempa bumi dan angin topan. Untuk mengantisipasi bencana kekurangan pangan, khususnya air bersih dan makanan pokok, bilamana terjadi bencana alam, penduduk kota Jepang diminta untuk  mempersiapkan diri dan membekali diri dengan menyediakan 5 liter air, 5 bungkus mie instant, 5 bungkus nasi instan, dan 1 bh selimut untuk setiap orang dewasa. Barang-barang tersebut dikemas dalam satu wadah dan ditempatkan di tempat yang gampang dijangkau bilamana terjadi bencana alam. Barang-barang itu juga harus diganti setiap 6 bulan satu kali. Saya termasuk cukup rajin melakukan persiapan itu sampai dengan tahun ke tiga, sekitar tahun 1993. Setelah itu saya mulai mengabaikannya karena tidak terjadi bencana apapun di tempat saya tinggal. Sampai ketika terjadi gempa besar di Kobe sekitar awal tahun 1996. Saya melihat di TV ada banyak orang yang kekurangan makanan dan pakaian akibat bencana tersebut. Peristiwa gempa Kobe membuat saya melakukan kembali apa yang pernah saya lakukan dahulu. Berjaga-jaga dan siap siaga menghadapi bencana alam; sedia payung sebelum hujan.

    Injil hari ini mengingatkan kita akan pentingnya berjaga-jaga dan bersiap siaga dalam menantikan datangnya Kerajaan Surga bagi kita.

    Lima gadis yang bodoh, yang membawa pelita untuk menantikan mempelainya tetapi tidak menyiapkan minyak, bisa disejajarkan dengan orang-orang yang memiliki cara dan gaya hidup instant. Mereka seperti orang-orang yang hanya hidup dan menikmati situasi untuk hari ini tetapi tidak memikirkan hari depan. Mereka bagaikan orang yang tidak bisa menabung dan menghemat, tetapi maunya menghabiskan apa yang dimilikinya. Dan ketika mengalami kesulitan, mereka mengharapkan bantuan dan uluran tangan orang lain.

    Sebaliknya, lima gadis yang cerdik, yang membawa pelita untuk menantikan mempelainya dan membawa serta minyak cadangan, bisa disejajarkan dengan orang-orang yang bukan hanya menikmati hidup untuk dan demi hari ini saja tetapi juga memikirkan masa depannya. Untuk menghadapi situasi atau kejadian yang tidak dikehendakinya, mereka sudah membekali diri, mempersiapkan diri, berjaga-jaga untuk menghadapi segala kemungkinan bahkan yang terjelek.

    Sebagai umat Katolik, kita yakin dan percaya bahwa masa depan kita adalah hidup bahagia bersama Allah melalui Yesus Kristus dalam Kerajaan Surga. “Kita akan selama-lamanya bersama dengan Tuhan” (bdk. bacaan II, ay.17).

    Hidup dalam kebahagiaan ilahi seperti itu tidak akan bisa kita capai dan kita raih secara instant, secara kredit atau tukar-tambah. Kehidupan dalam kebahagiaan ilahi harus dipersiapkan dan dijaga dengan baik, bagaikan pelita yang dipakai oleh lima gadis cerdik tersebut.

    Pelita adalah lambang dari iman kita. Pelita iman ini telah dianugerahkan Tuhan kepada kita pada saat kita dibaptis. Setelah baptisan, kita diajak untuk menjaga pelita ini agar tetap menyala (bdk. simbol lilin yang kita terima ketika kita dibaptis). Pelita iman membutuhkan minyak sebagai sumber nyalanya. Minyak itu adalah “membangun relasi dengan Tuhan dan sesama” dengan lebih baik. Dengan kata lain, iman sebagai pelita kehidupan kita haruslah kita jaga nyala kehangatannya dengan tetap menjalin hubungan dengan Tuhan melalui hidup rohani (doa dan ibadat) dan tetap menjalin bungan dengan sesama melalui hidup bersama (tindakan-tindakan kasih & kebenaran).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar