Hari Minggu Adven I
Tahun B
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC
Inspirasi Bacaan: Yes. 63:16b-17, 64:1, 3b-8; 1Kor. 1:3-9; Mrk. 13:33-37
Saya termasuk salah seorang di
dunia ini yang kurang memiliki kesabaran untuk menunggu. Bagi saya, yang lebih
menyukai keteraturan, kerapian, dan ketepatan waktu, pekerjaan menunggu bukan
hanya membosankan tetapi merupakan suatu siksaan berat. Saya menjadi gampang
uring-uringan & “stress” ketika menunggu, apalagi jika yang ditunggu
tiba-tiba membatalkan janjinya. Bentuk
“stress” itu tampak dengan gejala “jalan mondar-mandir” dengan muka masam,
sering ke toilet, berkeringat. Kalau sudah begitu, biasanya saya tidak mau
diganggu sampai yang ditunggu muncul. Ada suatu pengalaman menarik yang
kemudian membuat saya menjadi “sedikit” lebih sabar menunggu, walaupun masih
dengan muka masam.
Suatu hari, saya dan beberapa rekan
imam serta umat membuat janjian untuk mengadakan rekreasi bersama. Kami
merencanakan untuk pergi ke daerah pegunungan sekedar menghirup udara segar
sambil makan “barbeque” (makan sambil membakar makanan sendiri, entah daging,
ikan, sayur, dll.). Karena rekan-rekan imam tahu bahwa saya suka memasak,
mereka memberi tugas kepada saya untuk mempersiapkan makanan yang hendak kami
bawa. Beberapa hari sebelum berangkat, saya sudah membuat daftar jenis makanan
yang hendak dibawa serta segala macam bumbunya; dan sehari sebelum berangkat
rekreasi, saya membeli seluruh keperluan tersebut dan mengemasnya dalam kardus
supaya bisa dibawa dengan gampang. Keesokan harinya, saya bangun jam 05.00
untuk memasukan segala kemasan itu dalam mobil agar jam 06.00, jam yang kami
tentukan bersama untuk berangkat, kami bisa langsung berangkat. Ternyata, pada
jam yang sudah kami sepakati itu baru 2 rekan imam yang muncul dan 3 umat, yang
lain belum ada kabar beritanya. Aku mulai gelisah dan gejala “stress”-ku mulai
menampakkan diri. Dua rekan imam yang sudah hadir mulai senyum-senyum karena
mereka sudah mengenal aku. “Stress”ku semakin parah karena hampir jam 08.00
belum semua hadir. Kami menghubungi teman-teman yang lain lewat telepon, tetapi
tidak diangkat. Aku mulai “merah-padam”, dan mengajak teman-teman yang sudah
hadir untuk berangkat saja, dan membiarkan yang lain nanti menyusul. Tetapi
mereka menghibur aku dan memotivasi aku agar bersabar. Ketika sudah jam 08.30
kami belum juga berangkat, maka aku mengatakan kepada yang lain bahwa aku batal
ikut rekreasi karena hatiku sudah tidak “mood” lagi. 10 menit kemudian, mobil
yang dikendarai teman-teman yang terlambat memasuki halaman pastoranku. Karena
aku sudah tidak berniat pergi, aku biarkan saja mereka bercerita mengemukakan
alasan keterlambatannya. Kemudian salah seorang dari teman menjelaskan kepadaku
alasan mengapa mereka terlambat begitu lama. Ternyata, ketika hendak berangkat,
mereka melihat ada kecelakaan lalu lintas. Mereka menolong membawa korban
kecelakaan itu ke rumah sakit terlebih dahulu dan menghubungi keluarga korban.
Itulah sebabnya, mereka terlambat dan tidak bisa dihubungi. Akhirnya, kami
semua pergi rekreasi bersama-sama meskipun berangkat agak kesiangan.
Setelah
kembali dari rekreasi, pada malam harinya saya membuat refleksi tentang
peristiwa dan pengalamanku “menunggu”. Refleksiku saya pusatkan pada
teman-temanku yang lain yang bisa “mengisi waktu menunggu” itu tanpa “stress”.
Selama menunggu itu, mereka bisa bercerita dan bersendau-gurau dengan lepas
seolah-olah sedang “tidak menunggu”. Konsentrasi mereka seolah-olah “bukan”
pada hal menunggu kedatangan teman-teman yang terlambat, tetapi pada menikmati
dan mengisi waktu sambil menunggu. Dengan kata lain, fokus perhatian
mereka bukan pada hal menunggu, tetapi pada hal memberi isi waktu menunggu. Hal
ini persis berbeda dengan situasiku. Fokus perhatianku saat menunggu ada pada
hal menunggu
kedatangan orang yang terlambat, sehingga tidak bisa memberi isi
pada waktu menunggu. Dan inilah yang membuat aku menjadi tidak sabar dan
stress.
Mulai hari
Minggu ini, kita memasuki tahun liturgi yang baru, yakni tahun liturgi B. Tahun
liturgi dibuka dengan Masa Adven; masa di mana kita menantikan kedatangan Messias;
masa penantian; waktu untuk menunggu. Pada masa Adven ini, Gereja mengajak kita
bukan
untuk menunggu Messias yang belum datang, karena pada kenyataanya
Messsias sudah datang. Masa Adven menjadi saat-saat di mana kita diajak untuk
mengenang dan memperingati kembali, menghadirkan kembali dalam kehidupan kita
saat di mana bangsa Israel menanti-nantikan kedatangan Messias. Sebagaimana
halnya pada saat penantian itu bangsa Israel diajak untuk bertobat dan
membaharui diri (bdk. Mrk. 1:4, seruan Yohanes Pembaptis pada pertobatan),
demikian pula kita. Menghadirkan kembali saat-saat penantian bangsa Israel akan
Messias berarti menghadirkan kembali saat-saat seruan pertobatan Yohanes
Pembaptis.
Pertobatan dan pembaharuan diri itulah cara memberi isi selama waktu penantian, waktu menunggu. Dan
itulah fokus perhatian masa Adven. Fokus pertobatan dan pembaharuan diri masa
Adven ini akan dijabarkan secara lebih konkrit dalam bacaan-bacaan Kitab Suci.
Injil
Markus pada hari MInggu Adven I mengajak kita untuk mengkonkritkan makna
pertobatan dan pembaharuan diri dalam dua ungkapan kunci “menyerahkan tanggung
jawab kepada hamba-hamba-Nya” (ay.34) dan “jangan sampai kamu didapatinya
sedang tidur” (ay.36). Dua ungkapan tersebut sepertinya hendak mengatakan satu
hal yang sama tetapi dengan cara dan titik tolak yang berbeda. Melalui dua
ungkapan tersebut kita diajak untuk memahami bahwa pertobatan dan pembaharuan
diri bukan semata-mata bercorak batiniah, yang tidak bisa dinikmati orang lain
secara langsung; tetapi juga harus bercorak “nyata”, “kelihatan hasilnya”.
Allah Bapa telah memberikan kepada kita pelbagai anugerah
yang kita butuhkan. Sadar atau tidak sadar, kita sering melupakan atau
membiarkan anugerah itu begitu saja tanpa bertumbuh. Kita bagaikan orang yang
menerima talenta, tetapi menguburkannya di dalam tanah karena merasa talenta
itu tidak
cukup bagi kita atau karena kita “takut” mengembangkannya. Kita
melupakan dan membiarkan talenta itu apa adanya, karena kita mau tidur,
tidak ada kemauan untuk mengembangkannya.
Ajakan untuk bertanggung jawab dan mempertanggung-jawabkan
berarti ajakan untuk mengembangkan apa yang telah Tuhan serahkan kepada kita.
Bukan hasil pengembangan itu yang terpenting, tetapi kemauan dan usaha untuk mengembangkannya.
Dengan demikian, bentuk konkrit dari pertobatan dan pembaharuan diri ialah perjuangan
untuk mengembangkan anugerah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hari Minggu Adven I ini kita diajak untuk memberi isi
penantian kita dengan perjuangan mengembangkan talenta yang Tuhan berikan
kepada kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar