Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Minggu, 27 November 2011

Seputar Masa Adven


Masa Adven adalah masa persiapan rohani umat beriman sebelum Natal. Masa Adven dimulai pada hari Minggu terdekat sebelum Pesta St. Andreas Rasul (30 November) yang berlangsung selama empat minggu, meskipun minggu terakhir Adven pada umumnya terpotong dengan tibanya Hari Natal.
Dari mana sebenarnya asal mula masa Adven? Awalnya di Perancis, Masa Adven merupakan masa persiapan menyambut Hari Raya Epifani. Pada saat itu para calon dibaptis menjadi warga Gereja; jadi persiapan Adven amat mirip dengan Prapaskah dengan penekanan pada doa dan puasa yang berlangsung selama tiga minggu dan kemudian diperpanjang menjadi 40 hari. Pada Konsili lokal Saragossa di Spanyol tahun 380 ditetapkan tiga minggu masa puasa sebelum Epifani. Kemudian dengan diilhami peraturan masa prapaskah, pada Konsili lokal Macon, di Perancis tahun 581 ditetapkan bahwa mulai tanggal 11 November (pesta St. Martinus dari Tours) hingga Hari Natal, umat beriman berpuasa pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Lama-kelamaan, praktek seperti ini mulai menyebar ke Inggris. Di Roma sendiri, masa persiapan Adven belum diadakan sampai abad keenam, dan dianggap sebagai masa persiapan menyambut Natal namun dengan ikatan pantang-puasa yang lebih ringan.
Gereja Katolik sendiri secara bertahap kemudian mulai membakukan masa Adven. Buku Doa Misa Gelasian, yang menurut tradisi diterbitkan oleh Paus St. Gelasius I (wafat th. 496), adalah yang pertama menerapkan Liturgi Adven selama lima Hari Minggu. Di kemudian hari, Paus St. Gregorius I (wafat thn 604) memperkaya liturgi ini dengan menyusun doa-doa, antifon, bacaan-bacaan dan tanggapan. Sekitar abad kesembilan, Gereja menetapkan Minggu Adven Pertama sebagai awal tahun penanggalan Gereja. Dan akhirnya, Paus St. Gregorius VII (wafat thn 1095) mengurangi jumlah hari Minggu dalam Masa Adven menjadi empat.
Walaupun asal muasal masa Adven tidak jelas, tetapi maknanya tetap terfokus pada kedatangan Kristus (kata “Adven” berasal dari bahasa Latin “adventus”, yang artinya “datang”). Katekismus Gereja Katolik menekankan makna ganda “kedatangan” ini sebagai berikut: “Dalam perayaan liturgi Adven, Gereja menghidupkan lagi penantian akan Mesias; dengan demikian umat beriman mengambil bagian dalam persiapan yang lama menjelang kedatangan pertama Penebus dan membaharui di dalamnya kerinduan akan kedatangan-Nya yang kedua” (no. 524).
Oleh sebab itu, di satu pihak, umat beriman merefleksikan kembali dan didorong untuk merayakan kedatangan Kristus yang pertama ke dalam dunia ini. Kita merenungkan kembali misteri inkarnasi yang agung ketika Kristus merendahkan diri, mengambil rupa manusia, dan masuk dalam dimensi ruang dan waktu guna membebaskan kita dari dosa. Di lain pihak, kita ingat dalam Syahadat bahwa Kristus akan datang kembali untuk mengadili orang yang hidup dan mati dan kita harus siap untuk bertemu dengannya.
Suatu cara yang baik dan saleh untuk membantu kita dalam masa persiapan Adven adalah dengan memasang Lingkaran Adven atau Korona Adven. Lingkaran Adven merupakan suatu lingkaran, tanpa awal dan akhir: jadi kita diajak untuk merenungkan bagaimana kehidupan kita, di sini dan sekarang ini, ikut ambil bagian dalam rencana keselamatan Allah yang kekal dan bagaimana kita berharap dapat dapat ikut ambil bagian dalaasm kehidupan kekal di kerajaan surga. Lingkaran Adven terbuat dari tumbuh-tumbuhan segar, sebab Kristus datang guna memberi kita hidup baru melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Tiga batang lilin berwarna ungu melambangkan tobat, persiapan dan kurban; sebatang lilin berwarna merah muda melambangkan hal yang sama, tetapi dengan menekankan Minggu Adven Ketiga, Minggu Gaudate, saat kita bersukacita karena persiapan kita sekarang sudah mendekati akhir. Terang itu sendiri melambangkan Kristus, yang datang ke dalam dunia untuk menghalau kuasa gelap kejahatan dan menunjukkan kepada kita jalan kebenaran. Gerak maju penyalaan lilin setiap hari menunjukkan semakin bertambahnya kesiapan kita untuk berjumpa dengan Kristus. Setiap keluarga sebaiknya memasang satu Lingkaran Adven, menyalakannya saat santap malam bersama dan memanjatkan doa-doa khusus. Kebiasaan ini akan membantu setiap keluarga untuk memfokuskan diri pada makna Natal yang sebenarnya.
Secara keseluruhan, selama Masa Adven kita berjuang untuk menggenapi apa yang kita daraskan dalam doa pembukaan Misa Minggu Adven Pertama: “Bapa di surga… tambahkanlah kerinduan kami akan Kristus, Juruselamat kami, dan berilah kami kekuatan untuk bertumbuh dalam kasih, agar fajar kedatangan-Nya membuat kami bersukacita atas kehadiran-Nya dan menyambut terang kebenaran-Nya.

Sumber : “Straight Answers: The Celebration of Advent” by Fr. William P. Saunders;

Mendamba Allah, Sang Penolong


Mari kita simak bagaimana kejahatan, dosa dan kerinduan manusia akan pertolongan Allah itu dalam cerita berikut.
Pada hari pertama gunung meletus 26 Oktober 2010, di dusun kami memang belum ada gerakan mengungsi. Namun, pada sore harinya, pukul 17.30, telah diumumkan lewat informasi dusun bahwa semua warga harus mengungsi. Selang beberapa menit setelah pengumuman itu, langsung ada hujan abu. Semua warga bingung, karena pada saat itu memang mobil evakuasi belum disediakan pemerintah -hanya ada 2 turuk dan 2 colt- padahal jalan-jalan sudah sangat ramai. Kami pun sempat bingung karena makin lama hujan abu semakin deras, sampai-sampai orang tidak berani keluar. Kebingungan kami bertambah ketika warga belum terevakuasi semua, terutama lansia, ibu-ibu, dan anak-anak. Untunglah kira-kira pukul 20.00 semua warga sudah dapat terevakuasi.
    Sekitar 10 hari kami tinggal bersama dengan warga dusun kami dalam barak pengungsian. Masalah utama kami adalah minimnya pendanaan. Tak jarang kami harus patungan untuk membeli gas dan kebutuhan operasional lainnya. Warga dusun kami terpisah menjadi dua: yang satu di pos induk, yang lain di Sekolah Dasar.
    Suatu kali, saya ditunjuk untuk menjadi koordinator oleh teman-teman untuk diajak pertemuan bersama komite Sekolah Dasar. Komite sekolah itu berkata bahwa sekolahan boleh untuk mengungsi tetapi dengan beberapa syarat. Pertama, dibuatkan WC permanen; kedua, berhubung sekolah belum dipasangi eternit, mereka meminta kami memasang eternit di plafon. Kami pun tidak bisa menjanjikan karena kami sedang mengungsi. Setelah itu kami berkoordinasi ke Kantor Desa. Kantor Desa pun tidak mau ambil pusing. Sekitar jam 17.00 kami dipindah ke pondok suatu pondok pesantren. Setelah kami sampai, rupanya tempat pindah pun belum dipersiapkan 100 persen. Beruntung, antusiasme warga setempat sangat besar. Beberapa waktu kemudian, kami dipindah lagi ke sebuah sekolah SMP terdekat. Tentu ini situasi yang tidak mudah, apalagi siang harinya kami semua belum makan siang karena para relawan tidak bisa mengirim makan dan minum kepada pengungsi desa kami sebab stok makan dari kelurahan hanya cukup untuk makan pagi.
    Pada pergantian hari antara tanggal 4 dan 5 November 2010, saat kami belum sempat memejamkan mata, suara gemuruh terdengar kencang sekali. Kaca-kaca bergetar. Saat itu, kami langsung keluar. Para pengungsi juga sudah lari berantakan. Suara gemuruh makin lama makin deras. Lampu mati. Tidak lama setelahnya hujan abu disertai kerikil dan air lengket berbau belerang turun. Pada pagi harinya, semua pengungsi bingung dan bertanya pada kami, "Mas, ini mau dipindah kemana?" Kami pun tambah bingung karena pemerintah desa saja malam itu sudah pada kabur menyelamatkan diri sendiri. Sungguh kami membutuhkan pertolongan saat itu.
Kisah ini membuat kita semakin mengerti bahwa hidup kita memang suatu pergumulan. Kita sering mengalami bagaimana hidup kita bersama-sama orang lain tiba-tiba menjadi sepi. Kita mengalami saat-saat dimana kita hidup serba mengbingungkan dan sekaligus mengalami kerinduan hadirnya pertolongan.
Nabi Yesaya -dan kita semua umat beirman- menyadari dan meyakini bahwa di tengah tantangan dan acaknya situasi hidup kita, ada kerinduan dan dambaan yang besar akan adanya pertolongan dari Tuhan.

 Refleksi dan Sharing Pengalaman
Pemandu mengajak umat untuk mendalami, berbagi pengalaman iman dan memberikan berbagai peneguhan.
Dalam kehidupan, kita mengalami bahwa menjalani hidup itu kadang-kadang tidaklah mudah. Ada tantangan, persoalan, bahkan musibah yang sering datang tak terduga. Kadang keadaan itu sering membuat kita putus asa, tidak berdaya, dan mengalami krisis iman. Kita bisa membagikan atau mensharingkan pengalaman kita masing-masing.
    a. Pernahkah anda memiliki pengalaman berat, yang menjadikan anda putus asa, hilang harapan dan mengalami krisis iman? Bisakah anda sharingkan?
    b. Apa saja hal-hal yang sering membuat kita merasa rapuh/lemah dalam menjalani hidup ini?
    c. Apakah yang anda rindukan dalam situasi semacam itu? Apakah anda merasakan pertolongan dan penyertaan Tuhan?
(pemandu dapat memberikan alternatif uraian peneguhan serta berbagi pengalaman atau sharing dengan beberapa rumusan alternatif sebagai berikut.
Kita mengakui bahwa persoalan-persoalan yang kita hadapi seringkali menjadikan kita rapuh dan tidak berdaya. Bangsa Israel pun demikian. Saat mereka berada dalam peperangan, kemudian dibuang, mereka mengalami krisis hidup. Mereka pernah putus asa. Namun mereka tidak mengalami krisis iman. Mereka percaya bahwa Allah tidak meninggalkan mereka. Maka satu hal yang menjadi kekuatan mereka dan pengharapan mereka adalah keyakinan bahwa akan ada pertolongan dari Tuhan. Kerapuhan mereka menjadi kesempatan menumbuhkan keyakinan iman.
Saat ini kita diajak mengembangkan keyakinan seperti orang Israel tersebut. Adven menjadi kesempatan kita untuk merindukan kehadiran Tuhan yang menyelamatkan. Allah senantiasa hadir dalam setiap derai kehidupan, terutama peristiwa-peristiwa yang kita alami dalam masyarakat kita ini, walaupun di dalam peristiwa-peristiwa berat sekalipun.

Kamis, 24 November 2011

Mangkuk Kayu

(Terjemahan dari: The Wooden Bowl)

Seorang pria tua tua tinggal dengan bersama anaknya yang telah beristri dan memiliki anak usia empat tahun. Tangan pria tua itu gemetar, penglihatannya kabur, dan langkahnya tersendat. Ia bersama anaknya sekeluarga selalu makan bersama di meja keluarga. Tapi lelaki tua itu mengalami kesulitan setiap kali makan karena tangannya gemetar dan pandangannya kurang jelas. Kerap kali sendok atau garpu jatuh dari tangannya atau jatuh ke lantai. Apabila dia memegang gelas, air minum atau susu tumpah di taplak meja.

Anak dan menantunya menjadi jengkel dengan kekacauan itu. "Kita harus melakukan sesuatu untuk bapak," kata anak kepada istrinya . "Cukup sudah susu tumpah, berisik saat makan, dan makanan berhamburan di lantai". Lalu suami dan istri itu meletakan sebuah meja kecil di sudut ruang makan mereka. Di sana, pak tua itu makan sendirian sedangkan anaknya bersama keluarganya menikmati makan malam mereka di meja lain.

Sejak pak tua sering menjatuhkan piring saat makan karena tangannya yang tidak kuat memegangnya, makanannya disajikan di sebuah mangkuk kayu. Ketika anaknya sekeluarga meliriknya saat makan, air mata pak tua mengalir di pipinya. Ia makan sendirian disudut ruangan dengan makanan yang ditaruh dalam mangkuk kayu. Dan apabila pak tua menumpahkan makanan atau menjatuhkan garpu, anak dan menantunya memarahinya dengan peringatan keras.

Empat tahun mereka memandangnya makan di sudut ruangan dengan diam. Suatu malam sebelum makan malam, sang ayah melihat anaknya bermain dengan potongan-potongan kayu di lantai. Dia bertanya kepada anaknya dengan dengan lembut, "Apa yang kamu lakukan dengan potongan kayu itu, Sayang?" Dengan tersenyum, si kecil itu menjawab, "Oh.., saya mau membuat mangkuk kecil untuk dipakai saat makan ketika Ayah dan Ibu menjadi tua nanti." Anak itu tersenyum manis dan kembali terus bermain.

Kata-kata anaknya begitu menusuk hatinya. Kemudian air mata mulai mengalir di pipi mereka. Meskipun tidak ada kata yang diucapkan, suami dan istri itu tahu apa yang harus dilakukan. Malam itu sang suami memegang tangan pak tua, ayahnya dan dengan lembut membawanya kembali ke meja keluarga, makan bersama mereka. Baik suami maupun istri tidak peduli lagi ketika garpu dijatuhkan, susu tumpah, atau taplak meja yang kotor.

MENANTI KEDATANGAN SANG MESSIAS


 Hari Minggu Adven I
Tahun B
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC



Inspirasi Bacaan: Yes. 63:16b-17, 64:1, 3b-8; 1Kor. 1:3-9; Mrk. 13:33-37

Saya termasuk salah seorang di dunia ini yang kurang memiliki kesabaran untuk menunggu. Bagi saya, yang lebih menyukai keteraturan, kerapian, dan ketepatan waktu, pekerjaan menunggu bukan hanya membosankan tetapi merupakan suatu siksaan berat. Saya menjadi gampang uring-uringan & “stress” ketika menunggu, apalagi jika yang ditunggu tiba-tiba membatalkan janjinya.  Bentuk “stress” itu tampak dengan gejala “jalan mondar-mandir” dengan muka masam, sering ke toilet, berkeringat. Kalau sudah begitu, biasanya saya tidak mau diganggu sampai yang ditunggu muncul. Ada suatu pengalaman menarik yang kemudian membuat saya menjadi “sedikit” lebih sabar menunggu, walaupun masih dengan muka masam.
Suatu hari, saya dan beberapa rekan imam serta umat membuat janjian untuk mengadakan rekreasi bersama. Kami merencanakan untuk pergi ke daerah pegunungan sekedar menghirup udara segar sambil makan “barbeque” (makan sambil membakar makanan sendiri, entah daging, ikan, sayur, dll.). Karena rekan-rekan imam tahu bahwa saya suka memasak, mereka memberi tugas kepada saya untuk mempersiapkan makanan yang hendak kami bawa. Beberapa hari sebelum berangkat, saya sudah membuat daftar jenis makanan yang hendak dibawa serta segala macam bumbunya; dan sehari sebelum berangkat rekreasi, saya membeli seluruh keperluan tersebut dan mengemasnya dalam kardus supaya bisa dibawa dengan gampang. Keesokan harinya, saya bangun jam 05.00 untuk memasukan segala kemasan itu dalam mobil agar jam 06.00, jam yang kami tentukan bersama untuk berangkat, kami bisa langsung berangkat. Ternyata, pada jam yang sudah kami sepakati itu baru 2 rekan imam yang muncul dan 3 umat, yang lain belum ada kabar beritanya. Aku mulai gelisah dan gejala “stress”-ku mulai menampakkan diri. Dua rekan imam yang sudah hadir mulai senyum-senyum karena mereka sudah mengenal aku. “Stress”ku semakin parah karena hampir jam 08.00 belum semua hadir. Kami menghubungi teman-teman yang lain lewat telepon, tetapi tidak diangkat. Aku mulai “merah-padam”, dan mengajak teman-teman yang sudah hadir untuk berangkat saja, dan membiarkan yang lain nanti menyusul. Tetapi mereka menghibur aku dan memotivasi aku agar bersabar. Ketika sudah jam 08.30 kami belum juga berangkat, maka aku mengatakan kepada yang lain bahwa aku batal ikut rekreasi karena hatiku sudah tidak “mood” lagi. 10 menit kemudian, mobil yang dikendarai teman-teman yang terlambat memasuki halaman pastoranku. Karena aku sudah tidak berniat pergi, aku biarkan saja mereka bercerita mengemukakan alasan keterlambatannya. Kemudian salah seorang dari teman menjelaskan kepadaku alasan mengapa mereka terlambat begitu lama. Ternyata, ketika hendak berangkat, mereka melihat ada kecelakaan lalu lintas. Mereka menolong membawa korban kecelakaan itu ke rumah sakit terlebih dahulu dan menghubungi keluarga korban. Itulah sebabnya, mereka terlambat dan tidak bisa dihubungi. Akhirnya, kami semua pergi rekreasi bersama-sama meskipun berangkat agak kesiangan.
            Setelah kembali dari rekreasi, pada malam harinya saya membuat refleksi tentang peristiwa dan pengalamanku “menunggu”. Refleksiku saya pusatkan pada teman-temanku yang lain yang bisa “mengisi waktu menunggu” itu tanpa “stress”. Selama menunggu itu, mereka bisa bercerita dan bersendau-gurau dengan lepas seolah-olah sedang “tidak menunggu”. Konsentrasi mereka seolah-olah “bukan” pada hal menunggu kedatangan teman-teman yang terlambat, tetapi pada menikmati dan mengisi waktu sambil menunggu. Dengan kata lain, fokus perhatian mereka bukan pada hal menunggu, tetapi pada hal memberi isi waktu menunggu. Hal ini persis berbeda dengan situasiku. Fokus perhatianku saat menunggu ada pada hal menunggu kedatangan orang yang terlambat, sehingga tidak bisa memberi isi pada waktu menunggu. Dan inilah yang membuat aku menjadi tidak sabar dan stress.
            Mulai hari Minggu ini, kita memasuki tahun liturgi yang baru, yakni tahun liturgi B. Tahun liturgi dibuka dengan Masa Adven; masa di mana kita menantikan kedatangan Messias; masa penantian; waktu untuk menunggu. Pada masa Adven ini, Gereja mengajak kita bukan untuk menunggu Messias yang belum datang, karena pada kenyataanya Messsias sudah datang. Masa Adven menjadi saat-saat di mana kita diajak untuk mengenang dan memperingati kembali, menghadirkan kembali dalam kehidupan kita saat di mana bangsa Israel menanti-nantikan kedatangan Messias. Sebagaimana halnya pada saat penantian itu bangsa Israel diajak untuk bertobat dan membaharui diri (bdk. Mrk. 1:4, seruan Yohanes Pembaptis pada pertobatan), demikian pula kita. Menghadirkan kembali saat-saat penantian bangsa Israel akan Messias berarti menghadirkan kembali saat-saat seruan pertobatan Yohanes Pembaptis.
Pertobatan dan pembaharuan diri itulah cara memberi isi  selama waktu penantian, waktu menunggu. Dan itulah fokus perhatian masa Adven. Fokus pertobatan dan pembaharuan diri masa Adven ini akan dijabarkan secara lebih konkrit dalam bacaan-bacaan Kitab Suci.
            Injil Markus pada hari MInggu Adven I mengajak kita untuk mengkonkritkan makna pertobatan dan pembaharuan diri dalam dua ungkapan kunci “menyerahkan tanggung jawab kepada hamba-hamba-Nya” (ay.34) dan “jangan sampai kamu didapatinya sedang tidur” (ay.36). Dua ungkapan tersebut sepertinya hendak mengatakan satu hal yang sama tetapi dengan cara dan titik tolak yang berbeda. Melalui dua ungkapan tersebut kita diajak untuk memahami bahwa pertobatan dan pembaharuan diri bukan semata-mata bercorak batiniah, yang tidak bisa dinikmati orang lain secara langsung; tetapi juga harus bercorak “nyata”, “kelihatan hasilnya”.
Allah Bapa telah memberikan kepada kita pelbagai anugerah yang kita butuhkan. Sadar atau tidak sadar, kita sering melupakan atau membiarkan anugerah itu begitu saja tanpa bertumbuh. Kita bagaikan orang yang menerima talenta, tetapi menguburkannya di dalam tanah karena merasa talenta itu tidak cukup bagi kita atau karena kita “takut” mengembangkannya. Kita melupakan dan membiarkan talenta itu apa adanya, karena kita mau tidur, tidak ada kemauan untuk mengembangkannya.
Ajakan untuk bertanggung jawab dan mempertanggung-jawabkan berarti ajakan untuk mengembangkan apa yang telah Tuhan serahkan kepada kita. Bukan hasil pengembangan itu yang terpenting, tetapi kemauan dan usaha untuk mengembangkannya. Dengan demikian, bentuk konkrit dari pertobatan dan pembaharuan diri ialah perjuangan untuk mengembangkan anugerah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hari Minggu Adven I ini kita diajak untuk memberi isi penantian kita dengan perjuangan mengembangkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing.


Rabu, 16 November 2011

SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN

Hari Minggu Biasa XXXII
Inspirasi Bacaan: Keb. 6:13-17; 1Tes. 4:13-18; Mat. 25:1-13
P. Sani Saliwardaya, MSC 

 Ungkapan tersebut di atas, rasa-rasanya sudah tidak asing lagi bagi kita. Ungkapan tersebut bisa diberi pelbagai makna dan arti serta dipakai dalam pelbagai macam situasi. Meskipun demikian, pada umumnya ungkapan tersebut mau mengajak kita untuk “berjaga-jaga atau bersiap siaga” sebelum muncul peristiwa atau kejadian yang tidak kita inginkan.

        Kita hidup dalam dunia post-modern di mana segala-galanya bisa dicapai dan didapat dengan cara instant, budaya siap saji / pakai. Bukan hanya makanan dan minuman saja, tetapi cara dan gaya hidup instant juga mulai menjamur dan diminati. Salah satu bentuk cara da n gaya hidup instant adalah gaya hidup kredit dan tukar-tambah. Pada masa jadoel (jaman doeloe), untuk membeli sebuah sepeda saja orang harus menghemat dan menabung sampai beberapa bulan atau bahkan tahun. Orang tempo doeloe harus membuat perencanaan keuangan untuk membeli sesuatu. Pada masa sekarang, untuk membeli dan membawa pulang sebuah sepeda motor, cukuplah mengeluarkan uang sebesar Rp. 500.000,-, sedangkan sisanya diangsur, dikredit sampai sekian bulan atau tahun. Bukan hanya sepeda motor, bahkan mobil dan rumah tinggalpun bisa diangsur / dikredit. Bahkan saya pernah dengar, untuk kepentingan ziarahpun sudah ada kreditnya. Barang-barang yang didapat dari cara instant begitu juga sangat gampang ditukar-tambahkan. Ketika seseorang sudah tidak menyukai barang yang dimilikinya, dengan gampang dia akan menukarkannya dengan barang yang lebih bagus dan menyenangkan, tetap dengan cara instant, yakni kredit.

    Dalam budaya instant, gaya hidup kredit dan tukar-tambah seperti itu, kata-kata menabung dan menghemat akan dianggap kurang berarti, bahkan tidak berguna sama sekali. Untuk apa susah payah menabung kalau segalanya bisa didapat dengan mudah?     Dan lebih jauh lagi, kata-kata berjaga-jaga dan bersiap siaga juga mengalami pemudaran arti & makna.

    Bagi orang yang menjalani cara dan gaya hidup instant seperti itu, pekerjaan “berjaga-jaga dan mempersiapkan sesuatu sebelum peristiwa terjadi” bisa dianggap sebagai pemborosan dan tindakan sia-sia.

    Saya teringat suatu peristiwa yang saya alami ketika masih berada di Jepang. Seperti kita ketahui bersama, bahwa Negari bunga Sakura ini termasuk salah satu negara yang paling banyak dilanda bencana gempa bumi dan angin topan. Untuk mengantisipasi bencana kekurangan pangan, khususnya air bersih dan makanan pokok, bilamana terjadi bencana alam, penduduk kota Jepang diminta untuk  mempersiapkan diri dan membekali diri dengan menyediakan 5 liter air, 5 bungkus mie instant, 5 bungkus nasi instan, dan 1 bh selimut untuk setiap orang dewasa. Barang-barang tersebut dikemas dalam satu wadah dan ditempatkan di tempat yang gampang dijangkau bilamana terjadi bencana alam. Barang-barang itu juga harus diganti setiap 6 bulan satu kali. Saya termasuk cukup rajin melakukan persiapan itu sampai dengan tahun ke tiga, sekitar tahun 1993. Setelah itu saya mulai mengabaikannya karena tidak terjadi bencana apapun di tempat saya tinggal. Sampai ketika terjadi gempa besar di Kobe sekitar awal tahun 1996. Saya melihat di TV ada banyak orang yang kekurangan makanan dan pakaian akibat bencana tersebut. Peristiwa gempa Kobe membuat saya melakukan kembali apa yang pernah saya lakukan dahulu. Berjaga-jaga dan siap siaga menghadapi bencana alam; sedia payung sebelum hujan.

    Injil hari ini mengingatkan kita akan pentingnya berjaga-jaga dan bersiap siaga dalam menantikan datangnya Kerajaan Surga bagi kita.

    Lima gadis yang bodoh, yang membawa pelita untuk menantikan mempelainya tetapi tidak menyiapkan minyak, bisa disejajarkan dengan orang-orang yang memiliki cara dan gaya hidup instant. Mereka seperti orang-orang yang hanya hidup dan menikmati situasi untuk hari ini tetapi tidak memikirkan hari depan. Mereka bagaikan orang yang tidak bisa menabung dan menghemat, tetapi maunya menghabiskan apa yang dimilikinya. Dan ketika mengalami kesulitan, mereka mengharapkan bantuan dan uluran tangan orang lain.

    Sebaliknya, lima gadis yang cerdik, yang membawa pelita untuk menantikan mempelainya dan membawa serta minyak cadangan, bisa disejajarkan dengan orang-orang yang bukan hanya menikmati hidup untuk dan demi hari ini saja tetapi juga memikirkan masa depannya. Untuk menghadapi situasi atau kejadian yang tidak dikehendakinya, mereka sudah membekali diri, mempersiapkan diri, berjaga-jaga untuk menghadapi segala kemungkinan bahkan yang terjelek.

    Sebagai umat Katolik, kita yakin dan percaya bahwa masa depan kita adalah hidup bahagia bersama Allah melalui Yesus Kristus dalam Kerajaan Surga. “Kita akan selama-lamanya bersama dengan Tuhan” (bdk. bacaan II, ay.17).

    Hidup dalam kebahagiaan ilahi seperti itu tidak akan bisa kita capai dan kita raih secara instant, secara kredit atau tukar-tambah. Kehidupan dalam kebahagiaan ilahi harus dipersiapkan dan dijaga dengan baik, bagaikan pelita yang dipakai oleh lima gadis cerdik tersebut.

    Pelita adalah lambang dari iman kita. Pelita iman ini telah dianugerahkan Tuhan kepada kita pada saat kita dibaptis. Setelah baptisan, kita diajak untuk menjaga pelita ini agar tetap menyala (bdk. simbol lilin yang kita terima ketika kita dibaptis). Pelita iman membutuhkan minyak sebagai sumber nyalanya. Minyak itu adalah “membangun relasi dengan Tuhan dan sesama” dengan lebih baik. Dengan kata lain, iman sebagai pelita kehidupan kita haruslah kita jaga nyala kehangatannya dengan tetap menjalin hubungan dengan Tuhan melalui hidup rohani (doa dan ibadat) dan tetap menjalin bungan dengan sesama melalui hidup bersama (tindakan-tindakan kasih & kebenaran).

INNER BEAUTY

Hari Minggu Biasa XXXIII
Minggu, 13 November 2011
Inspirasi Bacaan: Am. 31:10-13, 19-20, 30-31; 1Tes. 5:1-6; Mat. 25:14-15, 19-21.
P. Sani Saliwardaya, MSC
 
 
Ungkapan Inner Beauty akhir-akhir ini sedang disukai banyak orang. Kecantikan yang terpantul dari dalam (hati) seseorang (wanita), itulah makna dari ungkapan tersebut. Ada banyak alasannya mengapa orang menyukai ungkapan itu dan mulai beralih untuk mempercantik batin . Mungkin karena harga kosmetik semakin mahal sehingga orang beralih dari mempercantik wajah lahir ke mempercantik wajah batin, inilah yang dinamakan alasan ekonomis. Ada juga orang yang sudah mati-matian mempercantik diri dan penampilannya dengan segala macam cara, tetapi tetap tampak biasa-biasa saja atau malahan tambah amburadul. Karena alasan itu, dia beralih mempercantik batin. Ini yang dinamakan alasan keterpaksaan. Ada sementara orang yang sudah semakin menyadari keterbatasan usianya, sehingga dia menyerah untuk mempercantik penampilan; dan sebagai gantinya dia mempercantik hidup batinnya. Inilah yang dinamakan alasan alamiah. Apakah ada yang salah dengan alasan-alasan itu? Bilamana kita menyadari bahwa Allah senantiasa campur tangan dalam setiap kehidupan kita, maka semua alasan itu tidak ada yang keliru. Tuhan kadang-kadang memakai cara-Nya sendiri untuk menyadarkan kawanan domba-Nya.
        Bacaan-bacaan Minggu ini, secara khusus dan eksplisit, bacaan I mengungkapkan tentang inner beauty dari seorang istri.
Dalam kitab Amzal pada umumnya dapat dijumpai pelbagai gambaran negatip tentang wanita (bdk. 11:22; 19:13; 21:9, 19). Hal ini disebabkan karena pada masa itu pendidikan menjadi hak kaum laki-laki dan hanya kaum laki-laki yang bisa memberikan penilaian & pandangan tentang positip atau negatipnya seorang istri / wanita. Dengan kala lain, baik-buruknya wanita ditentukan oleh kaum laki-laki. Perikop dari kitab Amzal hari Minggu ini (Am.31:10-31) tampil beda. Di sana wanita / istri ditampilkan secara sangat positip. Berbeda dengan kitab Kidung Agung yang menampilkan keindahan dan kemolekan wanita secara fisik (Kid. 7:1-10), kitab Amzal memuji sisi batiniah, kecantikan batin wanita.
Istri yang cakap (ay.10, bukan cakep) adalah istri yang kuat, dalam arti istri yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang, khususnya bagi keluarganya agar tidak mengalami kekurangan. Istri yang cakap ini mempunyai sikap yang bertolak belakang dengan istri yang bodoh, malas, dan pemboros. Istri yang cakap adalah istri yang bekerja keras demi keluarganya (ay.13, 19). Ia dapat melakukan banyak hal & pekerjaan tanpa meminta bantuan orang lain. Ia seorang istri yang mandiri. Istri yang cakap, bukan hanya memperhatikan keluarganya sendiri saja, tetapi juga tidak menutup mata terhadap orang lain yang kurang beruntung, yang miskin dan tertindas. Ia mempunyai kasih terhadap sesamanya (ay.20). Dia memiliki simpati & rasa solidaritas terhadap orang lain. Sikap istri cakap yang sedemikian itu berasal dari sikap batinnya yang menaruh hormat pada Allah (ay.30) dan menjauhi segala tindak kejahatan (ay.12). Inner beauty seorang istri yang cakap jauh lebih bernilai dari pada seluruh kekayaan suaminya (ay.10), bahkan kemolekan fisiknya (ay.30).
Inner beauty terpancar pada sikap “tanggungjawab, rasa solidaritas, dan takut akan Allah”.
        Injil Minggu ini, melalui perumpamaan tentang talenta, juga mengajak kita untuk bertanggungjawab terhadap apa yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita masing-masing. Orang yang menerima 1 talenta takut untuk mengembangkannya (ay. 25). Talenta adalah mata uang Yunani yang terbesar dan setara dengan 6.000 dinar. Dinar adalah mata uang Romawi yang senilai dengan upah 1 hari kerja. Jadi, 1 talenta sebenarnya bukanlah jumlah uang yang kecil, karena 1 talenta senilai dengan upah kerja selama lebih kurang 19 tahun. Orang yang menerima 1 talenta takut mengembangkan tanggungjawabnya karena dia merasa berhadapan dengan tuan yang kejam. Dia nampaknya lebih memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah tuannya (bdk. ay. 24). Dia tidak bisa mengerti maksud dan tujuan dibalik tindakan tuannya tersebut, yakni menanamkan tanggungjawab (bdk. ay.21, 23)
Dalam bacaan II Minggu ini, Paulus, dalam suratnya kepada umat di Tesalonika, mengajak mereka untuk bertanggungjawab atas anugerah yang telah mereka terima sebagai anak-anak terang dan anak-anak siang (bdk., ay.1), yakni dengan berjaga-jaga dalam menantikan kepastian datangnya Hari Tuhan (bdk., ay. 3). Sebagai anak-anak terang dan anak-anak siang mereka harus berjaga-jaga dengan sadar (ay.6), bukan karena ketakutan seperti orang yang menjaga kekayaannya terhadap pencuri tetapi dengan penuh harapan.

Amanat bacaan:
1.    Inner beauty seorang Katolik adalah sikap bertanggungjawab terhadap anugerah Tuhan kepada kita.
2.    Inner beauty seorang Katolik adalah sikap mempertanggungjawabkan anugerah Tuhan tersebut dengan rasa simpati dan solidaritas. Anugerah Allah dikembangkan dan dipertanggungjawabkan dengan rasa kasih
3.    Inner beauty seorang Katolik adalah kecantikan batin yang terpancar lewat cara hidup sehari-hari karena didasarkan pada sikap hormat & taat pada Allah.

Warga Kerajaan Allah yang sejati

Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam 
Minggu, 20 November 2011
Bacaan:Yeh. 34:11-12,15-17;  Mzm. 23:1-2a,2b-3,5-6;  1 Kor. 15:20-26a,28; Mat. 25:31-46
Oleh: Pastor Paulus Tongli, Pr
 



Kelompok suster-suster cinta kasih pengikut Mother Theresa dari Kalkutta hampir tidak pernah berkotbah atau berbicara tentang Kristus. Bahkan mereka tidak pernah mengajak orang untuk menjadi Katolik atau untuk menerima pembaptisan. Namun demikian mereka sangat disegani dan sangat dihormati sebagai orang-orang yang sangat beriman dan tulus. Dan mereka dapat bekerja sama dengan setiap orang tanpa memandang latar belakang agama.Mengapa? Karena apa yang mereka lakukan memberikan kesaksian. Mereka menyediakan makanan bagi yang lapar dan memberikan pakaian kepada orang-orang yang tidak memiliki pakaian di jalan-jalan. Secara khusus mereka mengumpulkan dan merawat orang-orang sakit dan di ambang maut yang ada di jalan-jalan untuk menunjukkan kepedulian dan menyatakan bahwa masih ada yang memperhatikan dan menghargai mereka. Mereka hadir di sana ketika terjadi bencana. Sejauh orang ‘concern’ terhadap hal-hal ini, hal-hal atau tindakan itulah yang akan berbicara. Perumpamaan tentang pengadilan terakhir di dalam kutipan injil hari ini pun menunjukkan bahwa hal-hal seperti itulah yang diperhitungkan di hadapan Allah. Karena di dalam pengadilan terakhir, tidak ada lagi pertanyaan tentang apa yang dipercayai, tetapi hanyalah bantuan-bantuan praktis yang telah diberikan atau tidak diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan atau orang yang berada di dalam ketidakberuntungan di dalam dunia ini.

Hari ini, hari minggu terakhir di dalam tahun liturgi gereja, kita merayakan dan mengakui Kristus sebagai raja kita. Bacaan-bacaan mengundang kita untuk merefleksikan pemahaman kita akan kerajaan Kristus dan apa maknanya bagi kita untuk mengatakan bahwa kita adalah bagian dari kerajaan Kristus. Bacaan pertama dari nubuat nabi Yeheskiel berbicara tentang Allah sebagai gembala Israel. Para raja Israel dipandang sebagai representasi kelihatan dari Yahwe dan karena itu  mendapatkan gelar ilahi sebagai gembala, sebagaimana gambaran tentang Allah dalam Mazmur 23. Tetapi banyak dari antara mereka tidak hidup sepadan dengan tanggung jawab ini. Kepemimpinan mereka sangat berbeda dari kepemimpinan yang dipahami dimiliki oleh Yahwe. Corak kepemimpinan Yahwe adalah memberikan prioritas perhatian kepada rakyat-Nya yang membutuhkan dan sedang berada di dalam situasi tidak beruntung, khususnya kebutuhan rakyat-Nya akan keadilan dan pemberdayaan. Inilah gambaran sikap yang diharapkan: “Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akah Kubawa pulang, yang luka akan Kubaluit, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya”

Pertama-tama Allah mengutus para nabi, seperti Yeheskiel, untuk memperingatkan para raja. Bila mereka tidak mau mendengar, Allah akan menyingkirkan raja yang dianggap tidak becus itu bersama dengan para pengikutnya dan berjanji bahwa Ia sendirilah yang akan menggembalakan kawananNya. Inilah yang dialami oleh orang-orang Israel, ketika mereka mengalami pembuangan. Lapisan atas yang terdiri dari raja dan kaum keluarganya serta orang-orang yang pandai, digiring ke pengasingan. Pembuangan itu dipandang sebagai hukuman dari Allah dan tindakan Allah untuk menyingkirkan para pemimpin yang buruk.

Bagaimana dengan janji Allah bahwa Ia sendiri akan menuntun umat-Nya? Sebagai orang-orang kristiani, kita melihat pemenuhan janji ini di dalam pribadi Tuhan kita Yesus Kristus, yang hari ini kita rayakan sebagai raja semesta alam. Yesus telah mengawali pemerintahanNya sebagai raja, tetapi Ia akan datang untuk menyempurnakannya pada hari penghakiman. Pada hari itu Ia akan duduk di tahta kemuliaan-Nya dan akan memilih dari semua laki-laki dan perempuan dari segala bangsa orang-orang yang sungguh layak menjadi anggota kerajaan-Nya. Perhatikanlah bahwa semua orang, baik orang benar maupun yang tidak benar, memanggil Yesus sebagai “Tuhan”. Jadi yang paling penting bukanlah bagaimana kita memanggil atau menyapa Dia, tetapi apakah kita telah atau tidak mendatangi dan membantu mereka yang membutuhkan dan tidak beruntung, yang ada ditengah-tengah kita.

Tindakan-tindakan yang secara khusus disebutkan adalah (i) memberi makan orang-orang yang lapar, (ii) memberi minum mereka yang haus, (iii) memberi pakaian orang-orang yang telanjang, (iv) memberikan tumpangan kepada orang yang gelandangan, (v) mengunjungi orang-orang yang berada di penjara dan (vi) merawat orang-orang sakit. Dengan menambahkan (vii) menguburkan orang mati, kita temukan tujuh tindakan yang secara tradisional dipandang sebagai tindakan cinta kasih. Pengadilan terakhir untuk menentukan apakah kita sungguh orang kristiani sejati atau tidak, apakah kita termasuk warga kerajaan Kristus atau bukan, akan didasarkan pada pelaksanaan 7 tindakan cinta kasih ini. Inilah kewajiban kristiani kita yang pertama baik kepada kita orang-orang percaya secara  pribadi maupun sebagai keluarga atau kelompok.

Kabar gembira yang kita rayakan hari ini adalah bahwa kita memiliki seorang raja, yang tidak seperti raja-raja dunia ini, yang peduli kepada kita dan membantu kita bukan hanya ketika kita sedang membutuhkan dan tidak beruntung, tetapi terutama ketika kita sedang membutuhkan dan berada dalam situasi tidak beruntung. Tantangan kita saat ini adalah untuk melupakan kebutuhan kita sendiri akan cinta dan kebahagiaan dan untuk meraih cinta yang membahagiakan orang lain yang mungkin sedang berada di dalam kebutuhan yang lebih besar daripada kita. Karena apa pun yang kita lakukan untuk salah seorang yang terkecil dari antara anak-anak Allah yang sedang membutuhkan ini, kepada salah seorang dari antara saudara-saudari Yesus ini, kita melakukannya untuk Yesus sendiri. Marilah kita merenungkan hal ini selama masa Adven yang segera akan kita masuki.