Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Jumat, 29 Juli 2011

Kenapa Imam Perlu Pakai Collar?


Judul Asli: Why a Priest Should Wear His Roman Collar
Oleh: Mgr. Charles M. Mangan dan Fr. Gerald E. Murray
Diterjemahkan atas ijin pengarang, oleh: Winarti Handayani & Albert Wibisono (Penanggungjawab)

Direktori Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, yang disiapkan Kongregasi Para Klerus dan disetujui Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 31 Januari 1994, menulis:

“Dalam masyarakat yang sekuler dan cenderung materialistis, di mana tanda-tanda eksternal dari realitas suci dan supernatural mulai hilang, amat terasa pentingnya bagi seorang imam--hamba Allah, pewarta misteri-Nya--untuk bisa dikenali dalam komunitas, juga melalui busana yang ia kenakan, sebagai suatu tanda yang jelas akan dedikasi dan identitasnya sebagai pelaksana pelayanan publik. Imam hendaknya dikenali terutama dari perilakunya, namun juga dari caranya berbusana, yang hendaknya langsung bisa dikenali oleh umat beriman, bahkan oleh siapa saja, hal identitasnya dan keterikatannya kepada Allah dan kepada Gereja.”

Untuk alasan ini, klerus hendaknya mengenakan “busana klerus yang pantas, menurut norma-norma yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja dan menurut tradisi setempat yang berlaku.” (Kanon 284) Ini artinya, busana tersebut, bila bukan jubah, haruslah benar-benar khusus dan berbeda dari busana awam, dan seturut martabat dan kesucian pelayanannya.
Terlepas dari kondisi yang amat khusus, pemakaian busana awam oleh klerus bisa menunjukkan lemahnya identitas dirinya sebagai seorang pastor yang mendedikasikan diri sepenuhnya untuk melayani Gereja (Direktori 66)

Dengan adanya peringatan dari Takhta Suci tentang pentingnya busana klerus bagi imam, kami merasa akan bermanfaat untuk mempelajari beberapa alasan yang perlu digarisbawahi. Kami juga ingin mempelajari beberapa argumen yang umum digunakan untuk membenarkan tidak dikenakannya collar.

Kami menganggap bahwa menjamurnya praktik mengabaikan collar, yang harusnya diperhatikan para imam, merupakan tanda sekaligus penyebab kelesuan dalam Gereja. Keengganan untuk dikenali di muka umum sebagai seorang imam Gereja Katolik sebenarnya bisa jadi menunjukkan keinginan untuk menjauhkan diri dari panggilan imamatnya. Collar lalu menjadi ”pakaian kerja”, yang ditanggalkan begitu tidak ”sedang bertugas”. Gagasan fungsionalistis terhadap imamat yang ditunjukkan lewat sikap demikian bertentangan dengan konfigurasi ontologis kepada Kristus Sang Imam Agung yang dianugerahkan lewat tahbisan imamat.

Awam mengandalkan para imam untuk dukungan dan kekuatan rohani. Mereka merasa ada yang tidak beres ketika imam mereka mencoba membaur di antara khalayak ramai dan “menghilang”.

Tujuan artikel ini adalah untuk mendorong para rekan imam untuk mengenakan collar (begitu pula, para biarawan-biarawati mengenakan jubah biara mereka). Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, memang ada pengecualian-pengecualian terhadap peraturan ini, sejauh itu masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan, misalkan pada acara olahraga dan rekreasi, ketika sedang berlibur (secara umum), ketika di rumah bersama sanak saudara atau ketika berada di kawasan privat dalam pastoran. Dan tentunya, kewajiban mengenakan busana klerus dengan sendirinya tidak berlaku di saat ada penganiayaan. Di waktu-waktu krisis yang demikian, panduan dari para uskup hendaknya diikuti.

Tidak tepat pula bila dikatakan bahwa imam yang menolak mengenakan collar adalah imam yang buruk. Kami khawatir beberapa saudara-saudara kita para imam telah masuk ke dalam kebiasaan yang buruk. Mungkin mereka telah meyakinkan diri mereka sendiri bahwa dengan menanggalkan busana klerus, mereka dapat melakukan lebih banyak kebaikan bagi Gereja. Kami berharap agar para imam yang beranggapan demikian memikirkan kembali keputusan mereka untuk berpakaian sebagai awam, dan untuk meneliti kembali alasan di balik keputusan tersebut.


(Catatan penerjemah: Collar berwarna putih, baik yang digunakan bersama jubah maupun kemeja, merupakan tradisi gereja Katolik yang sudah berabad-abad umurnya. Sayang sekali, saat ini di Indonesia mungkin lebih banyak pendeta Protestan yang memakainya daripada imam Katolik.)

Bagian 1: Alasan untuk mengenakan collar.

1) Collar merupakan tanda konsekrasi imamat kepada Tuhan. Sebagaimana cincin kawin menunjukkan kekhasan suami isteri dan menandakan persatuan di antara mereka, maka collar menunjukkan jati diri para uskup dan imam (dan kadang para diakon serta seminaris) sekaligus menunjukkan kedekatan mereka dengan Allah melalui penyerahan diri sendiri kepada panggilan tahbisan yang telah (atau akan) mereka terima.

2) Dengan mengenakan busana klerus dan dengan tidak memiliki pakaian berlebihan, imam menunjukkan ketaatan meneladani Yesus dalam kemiskinan material. Imam tidak memilih pakaiannya sendiri-- Gereja lah yang memilih baginya, berkat kebijaksanaan yang telah dikumpulkannya selama dua milenium. Bagi seorang imam, menerima dengan penuh kerendahan hati keinginan Gereja agar para imam mengenakan collar menggambarkan penyerahan diri secara sehat kepada otoritas dan keselarasan dengan kehendak Kristus yang dinyatakan lewat Gereja-Nya.

3) Hukum Gereja mewajibkan para klerus untuk mengenakan busana klerus. Kami telah mengutip di atas Direktori Bagi Para Imam Nomor 66, yang mengutip Kanon Nomor 284.

4) Keinginan agar para imam mengenakan collar secara berulang kali disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II. Kehendak Bapa Suci dalam hal ini tidak dapat dengan begitu saja diabaikan; beliau berbicara dengan kharisma khusus. Beliau sering mengingatkan para imam nilai dan makna mengenakan collar.

Dalam suratnya kepada Ugo Kardinal Poletti, Vikarisnya untuk Keuskupan Roma, tanggal 8 September 1982, Bapa Suci memberi instruksi untuk menyebarluaskan norma-norma berkaitan dengan penggunaan collar dan jubah bagi kaum religius. Bapa Suci mengamati bahwa busana klerus berharga ”bukan hanya karena busana ini menambah kesopanan dalam bertingkah laku secara eksternal atau menambah kepatutan dalam melaksanakan pelayanannya, namun terlebih lagi karena busana ini memberikan bukti kepada komunitas gerejawi kesaksian seorang imam di hadapan publik akan jati dirinya dan bahwa ia secara istimewa menjadi milik Allah.”

Dalam sebuah homili tanggal 8 November 1982 kepada sekelompok diakon yang akan menerima darinya tahbisan imamat, Bapa Suci berkata bahwa jika mereka mencoba untuk menjadi seperti kebanyakan orang dalam ”gaya hidup” dan ”cara berpakaian,” maka misi mereka sebagai imam Yesus Kristus tidak akan terpenuhi seutuhnya.

5) Collar menghindarkan terjadinya ”kesalahpahaman”; orang lain akan bisa segera memahami intensi seorang imam ketika imam tersebut ditemukan dalam suasana atau situasi yang di luar kebiasaan. Misalkan, seorang imam perlu melakukan kunjungan pastoral ke daerah di mana banyak bandar narkoba atau pelacur beroperasi. Collar akan memberi pesan yang jelas pada semua orang, bahwa imam tersebut datang dalam nama Kristus untuk melayani orang sakit dan mereka yang membutuhkan. Praduga mungkin bisa muncul bila seorang imam yang dikenali oleh warga setempat berkunjung ke daerah serupa dengan berpakaian sebagai awam.

6) Collar akan mengilhami orang untuk menghindari cara berpakaian, bertutur kata dan perbuatan yang tidak sopan, dan mengingatkan mereka akan perlunya kepantasan di muka umum. Seorang imam yang periang namun cerdas dan serius dapat mendorong orang untuk memeriksa tingkah lakunya sendiri. Collar menjadi tantangan yang diperlukan bagi jaman yang tenggelam dalam ketidakmurnian, ditunjukkan dengan cara berpakaian yang tidak sopan, kata-kata hujatan dan perbuatan penuh skandal.

7) Collar adalah perlindungan bagi panggilan seseorang ketika berhadapan dengan wanita muda dan atraktif. Seorang imam yang bepergian tanpa busana klerus (dan tidak mengenakan cincin tanda adanya ikatan perkawinan) akan menjadi target yang menarik bagi wanita lajang yang mencari suami, atau bagi wanita sudah menikah yang tergiur untuk tidak setia.

8) Collar memberi semacam ”penjagaan” bagi imam. Collar mengingatkan imam akan misi dan jati dirinya: untuk bersaksi bagi Yesus Kristus, Sang Imam Agung, sebagai salah satu di antara para imam saudaranya.

9) Seorang imam yang mengenakan collar menjadi inspirasi bagi orang-orang yang berpikir: ”Inilah pengikut Yesus di zaman modern.” Collar berbicara tentang kemungkinan membuat komitmen yang tulus dan tak lekang dengan Allah. Umat beriman dari berbagai usia, kebangsaan, dan watak akan memperhatikan orang yang berbudi luhur, yang hidupnya diberikan untuk orang lain, yang dengan gembira dan bangga mengenakan busana imam Katolik, dan mungkin akan menyadari bahwa mereka juga bisa membaktikan diri mereka secara baru, atau untuk pertama kalinya, kepada Sang Gembala Yang Baik.

10) Collar menjadi sumber yang membangkitkan minat bagi non-Katolik. Sebagian umat non-Katolik tidak pernah bersinggungan dengan pemimpin agama yang mengenakan busana klerus. Dengan demikian, imam Katolik melalui cara mereka berpakaian dapat membuat orang-orang ini merenungkan--bahkan bila hanya selintas lalu--tentang Gereja.

11) Seorang imam yang berpakaian seturut yang diinginkan Gereja menjadi pengingat pada Allah dan pada hal-hal suci. Kekacau-balauan sekularisme yang bertahan sekarang ini tidak bersahabat dengan gambaran-gambaran tentang Allah, tentang Gereja dan sebagainya. Ketika seorang imam mengenakan collar, hati dan pikiran orang-orang yang melihatnya akan terarah pada ”Yang Ilahi” yang seringkali tersisih dalam agenda budaya kontemporer.

12) Collar juga merupakan pengingat bagi imam bahwa ia ”tidak pernah tidak menjadi imam”. Dengan berbagai kebingungan yang merata terjadi di jaman ini, collar dapat membantu imam untuk menghindari keraguan jati diri. Memiliki dua cara berpakaian dapat dengan mudah menghantar seseorang--dan ini seringkali terjadi--kepada dua gaya hidup, atau bahkan dua kepribadian.

13) Seorang imam yang mengenakan collar bagaikan pembawa pesan panggilan berjalan. Pemandangan seorang imam ceria dan bahagia, yang dengan penuh percaya diri berjalan di pinggir jalan dapat menjadi magnet yang menarik pemuda untuk mempertimbangkan kemungkinan Allah memanggil mereka menjadi imam. Allah yang memanggil; imam itu hanya sebuah tanda yang nampak, yang digunakan Allah untuk menarik orang kepada diri-Nya.

14) Mengenakan collar membuat imam selalu tersedia untuk melayani Sakramen-Sakramen terutama Pengakuan Dosa dan Pengurapan Orang Sakit, dan untuk situasi-situasi genting. Pemakaian collar membuat imam yang bersangkutan mudah dikenali, ini membuat imam-imam yang mengenakannya lebih mungkin didekati, terutama dalam situasi di mana kehadiran imam amat diperlukan. Para penulis artikel ini dapat bersaksi bahwa kerap kali mereka diminta memberikan pelayanan Sakramen dan dimintai bantuan di bandara, di kota-kota padat dan di desa-desa terpencil, karena mereka dengan mudah dikenali sebagai imam Katolik.

15) Collar merupakan tanda bahwa imam yang mengenakannya berjuang untuk menjadi kudus dengan cara senantiasa hidup dalam panggilannya. Untuk membuat diri setiap saat tersedia bagi jiwa-jiwa dengan selalu bisa dikenali sebagai seorang imam di muka umum sungguh merupakan sebuah pengorbanan, namun sebuah pengorbanan yang menyenangkan Tuhan Allah kita. Kita diingatkan bagaimana manusia selalu datang kepada-Nya dan tak satu pun Ia tolak. Begitu banyak orang yang akan mendapatkan manfaat dari pengorbanan kita untuk berjuang tanpa putus untuk menjadi imam-imam kudus.

16) Collar menjadi pengingat bagi umat Katolik yang ”terasing” untuk tidak melupakan keadaan mereka yang tidak beres dan tanggung jawab mereka pada Tuhan. Imam adalah seorang saksi--demi kebaikan maupun keburukan--bagi Kristus dan Gereja Kudus-Nya. Ketika seorang yang telah terpisah dari Allah melihat seorang imam, dia terdorong untuk mengingat bahwa Gereja tetap ada. Seorang imam yang ceria dapat menjadi pengingat yang baik akan Gereja.

17) Mengenakan busana klerus merupakan pengorbanan di saat-saat tertentu, terutama dalam cuaca yang panas. Mortifikasi terbaik bukanlah yang kita sendiri cari. Ketidaknyamanan akibat suhu yang panas dan lembab bisa kita persembahkan sebagai silih atas dosa-dosa kita dan juga sebagai cara untuk memohon rahmat bagi umat paroki kita.

18) Collar menjadi ”tanda yang penuh kontradiksi” bagi dunia yang telah jatuh ke dalam dosa dan perlawanan terhadap Sang Pencipta. Collar memberi pernyataan tegas: imam sebagai “alter Christus” telah menerima mandat dari Sang Penebus untuk mewartakan Injil ke khalayak ramai, tanpa pikir panjang untuk pengorbanan pribadinya.

19) Collar membantu para imam menghindarkan diri dari mentalitas sedang bertugas/tidak sedang bertugas. Angka 24 dan 7 haruslah menjadi angka istimewa untuk kita: kita adalah imam selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Kita adalah imam, dan bukan individu dengan ”profesi imam.” Bertugas ataupun tidak bertugas, kita harus selalu menyediakan diri bagi siapa pun yang dikirim Allah kepada kita. ”Domba yang hilang” tidak pernah membuat perjanjian untuk bertemu lebih dahulu.

20) Para ”perwira” dalam pasukan Kristus harus bisa dikenali. Dalam tradisi, kita mengenal bahwa mereka yang sudah menerima Sakramen Penguatan menjadi ”tentara” Kristus, menjadi orang Katolik dewasa yang siap dan bersedia untuk mempertahankan nama-Nya dan Gereja-Nya. Mereka yang telah ditahbiskan menjadi diakon, imam dan uskup harus juga siap--apa pun yang terjadi--untuk menggembalakan kawanan domba Tuhan. Maka, para imam yang mengenakan collar menunjukkan dengan jelas peran mereka sebagai pemimpin dalam Gereja.

21) Para kudus tidak pernah menerima adanya kemunduran dalam cara imam berbusana. Contohnya, Santo Alfonsus Liguori (1696-1787), Pelindung para Teologian Moral dan Pengaku Iman, dalam tulisannya yang terkenal “Martabat dan Tugas-Tugas Para Imam”, mendorong para imam untuk mengenakan busana klerus yang pantas, menegaskan bahwa collar membantu imam sekaligus umat beriman untuk mengingat kembali keagungan, kekudusan imamat yang diinstitusikan oleh Allah-Manusia.

22) Kebanyakan umat Katolik mengharapkan para imam berbusana yang sesuai dengan perannya sebagai imam. Sudah begitu lama, para imam memberikan rasa nyaman dan aman kepada umatnya. Ketika masih muda, seorang Katolik diajari bahwa imam adalah wakil Allah--seorang yang pantas untuk dipercayai. Dengan demikian, umat Allah ingin tahu siapakah para wakil Allah ini dan apa yang mereka bela/pertahankan. Kebiasaan imam mengenakan busana khusus yang ditetapkan Gereja sudah berabad-abad bisa diterima dengan baik; hal ini bukanlah ketentuan tanpa dasar. Umat Katolik berharap para imam berbusana sebagai imam dan berperilaku selaras dengan ajaran dan praktik Gereja. Sebagaimana kita amati terjadi beberapa tahun belakangan ini, umat beriman sangatlah terganggu dan merasa tersakiti apabila imam-imam secara sengaja menentang otoritas Gereja, mengajar dan berbuat sembarangan dan bahkan melakukan perbuatan dosa.

23) Hidup Anda bukanlah milik Anda sendiri; Anda milik Allah secara istimewa, Anda diutus untuk melayani-Nya dengan hidup Anda. Ketika kita bangun tiap pagi, kita perlu mengarahkan pikiran kita kepada Allah kita yang penuh kasih, dan meminta rahmat untuk dapat melayani-Nya dengan baik hari itu. Kita mengingatkan diri kita akan status kita sebagai pelayan-Nya yang terpilih dengan cara mengenakan busana yang menunjukkan kepada semua orang bahwa Allah tetap masih bekerja di dunia ini lewat kita, orang-orang miskin dan pendosa ini.

Bagian 2: Argumen yang biasa dilontarkan untuk tidak memakai busana klerus

Segudang alasan diajukan supaya para imam tidak perlu mengenakan collar. Beberapa pendapat di antaranya ada di bawah ini, berikut kami sertakan juga komentar kami.

1) ”Saya butuh waktu bagi diri saya sendiri.” Para imam, jelas memerlukan waktu khusus untuk diri mereka sendiri, terutama waktu untuk berdoa. Bagaimana pun juga, seorang imam selalu dan selamanya adalah imam. Di luar waktu-waktu yang sudah kita bicarakan dalam pembukaan di atas (waktu rekreasi, liburan, dll.), tidak ada keperluan untuk berbusana sebagai awam. Imam harus melewati waktu-waktu pribadinya tetap sebagai imam dan bukan sebagai yang lain.

2) ”Saya ingin santai.” Kita membuat kesalahan besar bila kita menyamakan mengenakan collar tersebut dengan tidak santai, dan santai berarti tanpa collar. Imam harus secara alami mengenakan collar tersebut tanpa perlu selalu menghindarinya. Kita harus melaksanakan kegiatan kita sehari-hari, termasuk juga bersantai, tanpa perlu merasa tidak nyaman dengan busana imam kita. Hal ini harus menjadi seperti kulit kedua bagi kita.

3) ” Kehidupan pelayanan dan pribadiku terpisah.” Memiliki ”kepribadian yang terpisah” bukanlah hal yang sehat. Tidak ada imam yang bisa sementara menyimpan imamatnya di rak. Menyembunyikan keimamatan seseorang seringkali merupakan gejala adanya keinginan untuk melakukan perbuatan dosa, atau sedikitnya kurang baik.

4) ”Saya perlu hiburan.” Kalau yang Anda maksud adalah hiburan yang membuat Anda merasa malu menikmatinya saat Anda mengenakan collar, maka lupakanlah hiburan tersebut, dan bukan collar-nya.

5) ”Mereka yang mengenakan collar adalah mereka yang merasa tidak aman dan mencari keamanan dengan berlindung di balik seragam mereka.” Collar bukanlah seragam yang bisa ditanggalkan di akhir hari. Namun lebih dari itu, kebijaksanaan Gereja yang benar dan teruji telah menentukan bahwa busana demikianlah yang bisa menggambarkan dengan baik siapakah seorang imam itu. Collar adalah bentuk kebiasaan yang sudah mapan, bagian di mana pelayan tertahbis menghidupi panggilan gerejawi mereka dalam ranah privat sekaligus publik. Benar juga bahwa ada orang-orang yang merasa diri mereka lebih baik karena apa yang mereka kenakan. Tapi collar dan jubah tidak semestinya dihapus berdasarkan hal tersebut. Para imam dan religius adalah orang-orang lemah dan mudah tergoda. Mengenakan pakaian yang semestinya dapat memperkuat mereka yang sedang berjalan menuju jurang dosa. Di sisi lain, mereka yang tak ingin tampil di muka umum sebagai diri mereka sendiri tampaknya memiliki rasa ketidakamanan dalam diri mereka.

6) ”Saya tidak ingin terlihat menonjol dalam kerumunan.” Hal ini adalah bagian dari kemuliaan namun juga kadang pengorbanan dari menjadi pelayan pilihan Allah: imam menonjol bukan karena pencapaian atau kebaikan mereka sendiri, namun karena mereka mewakili Yesus Kristus. Imam berbeda, tapi bukan berarti ia aneh.

7) Collar menimbulkan penghalang antara saya dan umat saya.” Beberapa imam telah menyatakan demikian di muka umum. (Contohnya, seorang imam petinggi tribunal dan seorang imam lagi yang berkarya dalam lingkungan ekumene, keduanya menegaskan pentingnya mereka tidak mengenakan collar karena khawatir akan menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi para non-Katolik dan mereka yang tidak simpatik dengan ajaran Gereja.) Mungkinkah itu berarti ada orang-orang yang berpikir apa yang direpresentasikan collar--Yesus Kristus, Gereja Katolik, imamat--adalah penghalang? Para imam harus berhubungan dengan orang sebagai imam, dan tidak pernah selain sebagai imam.

8) ”Saya tidak bisa menjadi salah satu di antara orang-orang tersebut ketika saya ’berkostum’.” Kami menjawab, ”Bagus, karena imam tidak pernah menjadi cuma salah satu di antara orang-orang.” Lagipula, mengenakan collar bukanlah “berkostum”. Justru seorang imam yang mengenakan busana awam (di luar pengecualian-pengecualian yang sah) berkostum sebagai seseorang yang sebenarnya bukan dirinya.

9) ”Saya tidak ingin menimbulkan perasaan tidak nyaman untuk non-Katolik atau tampak terlalu provokatif dalam masyarakat yang pluralistik.” Beberapa orang menghina Yesus ketika Ia dulu berjalan di Palestina. Apakah kita mencoba untuk lebih ”ramah” dari-Nya? Atau mungkin kita takut menderita demi nama-Nya? (Catatan penerjemah: Biksu Budha di Indonesia senantiasa mengenakan busana mereka yang khas. Dengan busana itu mereka dikenali, dihormati dan disegani oleh berbagai kalangan, termasuk oleh kalangan non-Budha.)

10) ”Busana klerus untuk Gereja klerus--Saya percaya bahwa ada kesetaraan di antara seluruh umat beriman.” Tidak ada ide seperti Gereja klerus yang akan diakui. Hanya ada satu Gereja, dan imamat adalah bagian konstitutif dari Gereja yang tidak dapat dihapuskan. Kesetaraan seluruh umat beriman tidak membantah keberagaman panggilan dan pilihan cara hidup dalam Gereja. Bagi para imam, untuk membebaskan diri sendiri dari tugas-tugas kehidupan imamatnya, termasuk di antaranya pemakaian collar, adalah bentuk klerikalisasi yang memungkiri hak umat beriman untuk mengenal imam mereka sehingga mereka bisa mencari para imam untuk meminta pelayanan kapan pun diperlukan.

11) ”Karya saya di antara kaum muda terintangi dengan adanya collar.” Banyak imam yang mengaku bahwa pelayanan kepada kaum muda justru meningkat dan bukan terhalangi dengan mengenakan collar. Pemuda dan pemudi bisa melihat kecintaan dan pengabdian si imam kepada Tuhan dan Gereja. Dan karena tidak ada alasan bagi si imam untuk menunjukkan ”Saya pun seperti Anda” (karena bukan demikian adanya) imam tersebut bisa dengan gembira mengenakan collar-nya ketika berada di antara kaum muda, tahu bahwa tak ada yang perlu dia buktikan ataupun dia sembunyikan. Dia hanya perlu menunjukkan cinta dan kasih dari Sang Penyelamat.

12) ”Pakaian tidak menjadikan orang--umat Allah dapat melihat imamat saya melalui cara hidup saya, dan bukan cara berpakaian saya.” Pernyataan ini ada benarnya. Namun cara berpakaian yang sah yang ditetapkan oleh Gereja tidaklah menyembunyikan siapa imam itu sebenarnya; sebaliknya, hal ini justru menyoroti bahwa benar ia seorang imam yang diwajibkan oleh Gereja untuk berpakaian sesuai ketentuan sebagaimana ia berusaha untuk meneladani Sang Imam Utama.

13) ”Simbol-simbol eksternal bukanlah kesukaan saya--Saya adalah saya, saya tidak ingin menjadi orang seperti yang diinginkan orang lain.” Persis. Sebagai imam, kita harus menjadi imam dan dengan sukacita dan penuh kerendahan hati memberikan pesan yang jelas itu kepada orang lain. Ketika collar dengan cepat ditanggalkan beberapa dasawarsa yang lalu, alasan yang sering muncul adalah: ”Apa yang penting adalah yang ada di dalam hati saya … Saya tidak memerlukan cara berpakaian apa pun untuk menunjukkan imamat saya.” Hidup kita harus menunjukkan sifat-sifat ini tanpa perlu malu; kalau tidak, kita mungkin hanya mencari kesenangan kita sendiri dan bukan kehendak Kristus. Kita selalu menggunakan simbol-simbol, dan tidaklah perlu merasa malu akan hal itu. Mengenakan collar dengan penuh ketaatan dan kerendahan hati menunjukkan kepasrahan pada otoritas Allah dan Gereja Kudus-Nya.

14) “Imam-imam yang mengenakan collar selalu terkesan kaku, super konservatif, tidak fleksibel, kaum elit, sombong dan cari perhatian diri. Saya bukan seperti itu.” Pernyataan ini dibuat karena ada imam-imam yang berbusana imam memiliki hasrat yang tidak sehat untuk selalu merasa dibutuhkan dan dikenali; mereka hanya mengenakan kerah untuk mendapat pujian dan untuk ”menjadi tuan besar” atas umat awam; mereka mencari diskon khusus atau barang gratisan di toko-toko dan restoran. Namun ini juga merupakan penilaian yang kurang adil bagi mereka yang mencoba untuk hidup sebagaimana diminta oleh Gereja. Collar berarti kehidupan sederhana dan kerendahan hati di hadapan Allah. Bagi imam yang berkata, ”Saya tidak seperti imam-imam menyedihkan itu yang masih mengenakan atribut klerikalisme kuno masa Tridentinum,” hal ini mungkin dikatakan untuk mengurangi rasa bersalahnya untuk tidak melakukan apa yang diminta Gereja.

Buah Pikiran Akhir

Tak bisa disangkal, sebagian besar masyarakat Barat menunjukkan dekadensi dengan melenyapkan segala tanda dari yang transenden.

Untuk menentang keadaan yang demikian, para imam, yang diteguhkan oleh Roh Kudus dengan iman yang kokoh dan semangat perutusan yang benar, harus berusaha untuk bekerjasama dengan Sang Pencipta unuk menghidupkan kembali dunia dengan perasaan hormat dan tanggung jawab pada Allah.

Collar, jauh dari sekedar pengingat akan perintah Gereja yang mewajibkan busana klerus bagi para imamnya, merupakan penanda yang amat diperlukan akan adanya Penolong yang memanggil setiap orang untuk mengenali kasih tanpa pamrih dan keagungan Tritunggal Maha Kudus.

Para imam yang mengenakan collar mungkin akan diserbu dengan banyak keberatan. ”Kita adalah Gereja … kita semua adalah imam … tidak ada tempat bagi perbedaan kelas dalam Gereja abad keduapuluhsatu…” Bahkan mungkin beberapa rekan imam akan menaruh curiga, yakin bahwa ia kurang hati-hati dalam bertindak. ”Mengenakan collar hanya akan membuat Anda menjadi target dan korban … Anda akan menyesal.”

Namun para imam yang mengenakan collar, selain menaati hukum Gereja dan permintaan tulus Bapa Suci, juga menunjukkan kerinduannya untuk menghadirkan Sang Juru Selamat ke dalam dunia yang telah rusak. Betapapun banyaknya penganiayaan yang akan ditemui oleh imam yang mengenakan collar, ia tahu benar bahwa upahnya pun besar: yaitu dapat membawa orang lain kepada Kristus meskipun ia sendiri mempunyai banyak kelemahan.

Bagi para imam yang selalu mengenakan collar kami ingin berkata: Teruslah melakukannya! Bagi mereka yang belum, kami mau berkata: tiliklah makna dari sesuatu yang mungkin terlihat begitu remeh dari sebuah pakaian. Perhatikan bahwa tugas-tugas imamat yang Anda lakukan sekarang tidak akan mendapat kendala melainkan akan meningkat saat Anda mengenakan busana yang sesuai dengan kebiasaan suci Gereja.

----------------------------------

Artikel ini muncul dalam ”The Homiletic & Pastoral Review” edisi bulan Juni 1995.

Saat tulisan ini dibuat:

Pastor Charles M. Mangan adalah seorang pastor di dua paroki pedesaan dan Vice-Chancellor di Keuskupan Sioux Falls, Dakota Selatan. Ia lulus dari Seminari Santa Maria di Emmitsburg, Maryland dan ditahbiskan pada tahun 1989. Ia menerima JCL dari Universitas Gregoriana, Roma.

Pastor Gerald E. Murray adalah seorang imam di Keuskupan Agung New York. Ia lulus dari Dartmouth College dan ditahbiskan pada tahun 1984 setelah menyelesaikan studinya di Seminari Santo Yosef di Dunwoodie, negara bagian New York. Saat ini, ia sedang melanjutkan studi di bidang hukum gereja di Universitas Gregoriana, Roma.

Gregorian? Puji Syukur!



Lagu Gregorian memang sedang naik daun. Banyak yang minta saran ke saya, bagaimana cara memasyarakatkan (kembali) lagu Gregorian. Jawaban saya mungkin sama sekali tidak diduga oleh si penanya, "Sediakan Puji Syukur di bangku-bangku gereja."
Sebagian dari kita mungkin belum sadar bahwa di Puji Syukur (PS) ada cukup banyak lagu Gregorian. Kalau saya tidak salah, setidaknya ada 32 lagu Gregorian dalam Bahasa Latin. Nah, kalau PS disediakan di bangku-bangku gereja, umat dapat diajak menyanyi lagu Gregorian yang paling dasar yang ada di dalamnya.
Untuk permulaan, kita bisa mulai dari Ordinarium (Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, Kudus dan Anak Domba Allah). Dalam PS ada empat macam ordinarium Gregorian, berdasarkan masa penggunaannya. Ada yang khusus untuk Masa Adven dan Prapaskah(339, dst.) dan Paskah (340, dst.). Ada Ordinarium De Angelis (342, dst.) yang dapat digunakan untuk masa selain Adven, Prapaskah dan Paskah. Yang terakhir, ada Ordinarium khusus untuk Misa Arwah (344, dst.). Mungkin kita sudah terbiasa menyanyikan Ordinarium Adven dan Prapaskah, atau bahkan De Angelis. Nah, kenapa tidak mencoba Ordinarium Paskah misalnya? Ordinarium ini dipakai mulai Hari Raya Paskah sampai dengan Pentakosta.
Lagi, yang sangat mendasar tentunya adalah Doa Bapa Kami. Yang paling umum adalah Pater Noster dengan nomor 402, yang selalu dinyanyikan di Vatikan. Selain itu ada juga versi Pater Noster yang lain (403), yang mungkin tidak sepopuler yang pertama. Berikutnya adalah Aku Percaya. Ada Credo III (374) yang sudah cukup akrab di telinga sebagian umat. Nah, kalau umat sudah bisa menyanyikan semua Ordinarium, Pater Noster dan Credo, kita sudah membuat kemajuan yang bagus sekali. Saya yakin Paus akan senang sekali mendengar umat Katolik Indonesia bisa menyanyi lagu-lagu pokok ini.
Kita masih bicara lagu Gregorian untuk Misa. Pada hari-hari Minggu atau Hari Raya tertentu, Ritus Tobat yang biasa (Tuhan Kasihanilah Kami) dapat digantikan dengan Ritus Pemercikan Air Suci. Ada lagu yang khusus untuk ritus ini, Asperges Me (233) untuk selain Masa Paskah, atau Vidi Aquam (234) untuk Masa Paskah.
Masih dalam Misa, pada Hari Minggu Paskah, kita menyanyikan suatu madah yang disebut Sekuensia setelah Alleluia (bukan sebelumnya, bdk. PUMR 64). Judulnya adalah Victimae Paschali Laudes (518). Sekuensia ini wajib sifatnya. Ada lagi satu Sekuensia wajib yang harus dinyanyikan, pada Hari Raya Pentakosta. Judul aslinya Veni Sancte Spiritus. Sayangnya di PS hanya ada versi Bahasa Indonesianya, Ya Roh Kudus Datanglah (569). Versi Latin aslinya dapat ditemukan dengan mudah di internet. Google saja Veni Sancte Spiritus, lalu nyanyikan dengan not yang tersedia di PS 569.
Berikutnya, saya yakin banyak sekali umat yang bisa menyanyikan lagu Mari Kita Memadahkan (501). Ini adalah "lagu wajib" untuk perarakan Sakramen Mahakudus. Versi Latinnya adalah Pange Lingua (502). Dapatlah dicoba untuk lain kali menyanyikan versi Latin ini, dengan not yang sama dengan Mari Kita Memadahkan tadi. Sekedar catatan, Bait 5-6 baru dinyanyikan saat Sakramen Mahakudus sampai di tempat pentakhtaan. Selama masih dalam perjalanan, Bait 1-4 lah yang dinyanyikan, bilamana perlu diulang terus menerus.
Lagi, saya juga yakin cukup banyak umat yang bisa menyanyikan Jika Ada Cinta Kasih (498). Versi Latinnya adalah Ubi Caritas Est Vera (499). Juga, Datanglah Ya Roh Pencipta (565). Versi Latinnya adalah Veni Creator Spiritus (566). Sama persis notnya. Seharusnya tidak sulit jika sekali-sekali versi Latinnya yang dinyanyikan. Umat pasti bisa mengikutinya, tentunya bila disediakan PS di bangku-bangku gereja. Ubi Caritas dinyanyikan saat perarakan persembahan pada Hari Kamis Putih. Selain itu, lagu ini juga bisa dijadikan lagu Komuni, sepanjang tahun. Veni Creator bisa dinyanyikan hampir pada setiap kesempatan di mana kita mengharapkan kedatangan Roh Kudus.
Tidak lengkap rasanya bila kita belum membahas lagu untuk Maria. Di PS ada banyak lagu Gregorian untuk Maria, masing-masing ada masa pemakaiannya yang sesuai. Ada Alma Redemptoris Mater (627; Adven-Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah, 2 Februari), Ave Regina Caelorum (626; Pasca Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah-Pekan Suci), Regina Caeli (624; Paskah-HR Tritunggal Mahakudus) dan Salve Regina (623; Pasca HR Tritunggal Mahakudus-Sebelum Adven). Keempat Antifon Maria ini sungguh cocok dinyanyikan bersama saat Doa Rosario.
Masih ada lagi yang lain, termasuk Te Deum (669), madah syukur yang dapat dinyanyikan setelah komuni, tepatnya usai Doa Sesudah Komuni (umat duduk kembali). Madah ini wajib dinyanyikan saat tahbisan uskup, imam dan diakon. Satu yang mungkin agak kurang populer adalah Popule Meus (506). Yang ini untuk penghormatan salib pada hari Jumat Agung.
Akhirnya, ada Requiem (708) yang adalah Lagu Pembuka untuk Misa Arwah, dan juga In Paradisum (709), dengan teks yang sangat indah, yang cocok untuk bagian akhir Misa Arwah.
Semoga uraian di atas cukup untuk meyakinkan Anda untuk mengusahakan penyediaan Puji Syukur di bangku-bangku gereja. Sekali lagi, Puji Syukur, bukan Kitab Suci. Sejauh yang saya tahu, di Roma tidak ada Kitab Suci di bangku umat. Dalam gereja Katolik, maksud saya.
Sebagai penutup, baiklah kalau saya mengutip Paus Benediktus XVI, “Akhirnya, dengan tetap menghargai aneka gaya dan beragam tradisi yang sangat berharga, saya mendambakan, sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh para Bapa Sinode, agar nyanyian Gregorian benar-benar dihargai dan digunakan sebagai nyanyian yang sesuai untuk liturgi Romawi.” (Sacramentum Caritatis 42)

Misa Latin dan Partisipasi Aktif


Ada beberapa pertanyaan sehubungan dengan Misa Latin di Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya. Di antaranya adalah partisipasi aktif umat yang berkurang dalam Misa Latin.Memang benar, pada awalnya tentu begitu. Saat kita semua masih baru sekali dua kali mengikutinya, tentu masih terasa asing. Namanya juga masih belajar, lama-lama juga akan menjadi mahir dan bisa berpartisipasi lebih aktif lagi.Mungkin kita masih ingat, beberapa tahun yang lalu Y.M. UskupHadiwikarta almarhum pernah meminta kita semua menggunakan Ordinarium Gregorian untuk Masa Adven dan Prapaskah (PS 339, dst.). Sulit pada awalnya, namun saat ini sudah banyak umat yang bisa menyanyikannya dengan baik.
Memang benar, Konsili Vatikan II mengamanatkan partisipasi aktif.Dalam praktiknya, di tahun-tahun awal pasca konsili, banyak aplikasi partisipasi aktif yang berlebihan dan malahan perlu dikoreksi.Mungkin kita masih ingat, sebelum tahun 2005, umat Katolik di Indonesia ikut mengucapkan bagian-bagian Doa Syukur Agung yang sebenarnya merupakan bagian imam. Hal ini lalu diluruskan kembali saat penerbitan TPE 2005.
Partisipasi aktif yang diamanatkan oleh Konsili Vatikan II tidaklah berarti bahwa umat harus ikut serta mengucapkan semua doa dalam misa dan/atau menyanyikan semua lagu dalam misa. Ada doa-doa yang diucapkan hanya oleh imam dan ada aklamasi-aklamasi yang merupakan bagian umat (dan tidak perlu diucapkan oleh imam), termasuk aklamasi “Amin”. Ada saatnya lektor membacakan kitab suci dan umat mendengarkan (bukannya membaca teks). Hal nyanyian, ada bagian-bagian yang dinyanyikan oleh koor dan ada pula bagian yang dinyanyikan umat. Akhirnya, diam dan khusyuk mendengarkan dan menghayati doa, bacaan kitab suci serta nyanyian yang dibawakan koor pun merupakan bentuk partisipasi aktif dalam misa.
Uskup Surabaya Y.M. Vincentius Sutikno Wisaksono pernah mengutip Paus Yohanes Paulus II, yang menyatakan bahwa yang terpenting adalah partisipasi aktif batiniah dan bukan hanya lahiriah. Sesungguhnya, lebih penting bagi umat untuk mendengarkan doa-doa dan nyanyian secara khusyuk sambil meresapi maknanya, daripada ikut aktif mengucapkan atau menyanyikan tetapi hanya sekedar di mulut saja, tanpa sadar akan maknanya. Sebagai contoh, banyak umat yang hafal isi Credo dalam Bahasa Indonesia, termasuk frase berikut ini “... Aku percaya akan gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik ...” Berapa banyak yang mengerti artinya? Berapa banyak yang mengerti apa yang dimaksud dengan gereja yang apostolik? Penyelesaiannya, sama dengan Misa Latin, adalah katekese liturgi.
Banyak produk Konsili Vatikan II seperti partisipasi aktif dan inkulturasi yang sungguh bermanfaat bagi gereja di tanah misi seperti Keuskupan Surabaya. Sungguh baik kalau kita mau mempelajari dan memahami dokumen-dokumen seperti Sacrosanctum Concilium (Konstitusi Suci Liturgi) dan berbagai Instruksi Pelaksananya, di antaranya Varietates Legitimae, yang banyak membahas inkulturasi. Kurang pas rasanya bicara tentang partisipasi aktif atau inkulturasi tanpa memahami dokumen-dokumen tersebut dan konteksnya dalam sejarah gereja. Yang terjadi mungkin malah tidak sesuai dengan maksud sebenarnya dari Para Bapa Konsili Vatikan II.

Busana Liturgi Uskup





Saya pernah menulis mengenai Busana Uskup di majalah [Liturgi - Terbitan KWI] ini, tepatnya di Vol 20 No 1 - Jan-Feb 2009. Tulisan yang kali ini akan lebih baik kalau dibaca setelah membaca kembali tulisan yang sebelumnya. Kalau majalah Anda sudah tidak ada, Anda dapat menemukan tulisan tersebut di sini.

Yang dimaksud busana liturgi uskup dalam hal ini adalah busana yang dikenakan uskup saat upacara-upacara liturgi, termasuk di antaranya Misa, Ibadat Harian dan berbagai kesempatan memberikan sakramen dan sakramental.

Selain busana liturgi, uskup juga mempunyai busana resmi dan busana sehari-hari, yang dikenakan dalam acara-acara yang bukan upacara liturgi. Contohnya, saat menerima tamu, menghadiri berbagai rapat dan undangan, dan termasuk juga menghadiri wisuda universitas Katolik.

Pada prinsipnya busana liturgi uskup yang paling mendasar dan pertama adalah yang dalam Caeremoniale Episcoporum (CE-Tata Upacara Para Uskup) disebut sebagai Habitus Choralis, seperti yang dikenakan oleh Uskup Surabaya YM Vincentius Sutikno Wisaksono pada gambar di samping, yaitu:jubah ungu setakat mata kaki (1) dan sabuk sutera ungu (2); rochet dari linen atau bahan sejenis (3); mozetaungu (4); salib pektoral, dengan tali anyaman warna hijau-emas (5) (bukan dengan rantai); pileola ungu (6), yang mungkin lebih dikenal dengan nama solideo atau zucchettobiretaungu (7); cincin (8); dan stocking/kaos kaki ungu (tidak terlihat).

Jubah ungu (1) adalah jubah liturgi uskup. Sama dengan jubahresminya yang berwarna hitam/putih, jubah ungu ini dilengkapi dengan aksen warna merah (bukan ungu) di bagian tepi, lubang kancing dan kancing. Yang beda, bagian lengan bawah jubah ungu ini, yang ditekuk ke atas sekitar 20-25 cm, dilapis dengan sutera warna merah.

Sabuk sutera ungu (2) uskup untuk keperluan liturgi dan non liturgi sama saja barangnya. Sabuk ini dikenakan di dada bagian bawah, bukan di pinggang.

Rochet (3) adalah busana khusus uskup yang mirip dengan superpli. Bedanya, bagian lengan rochet sempit dan superpli (seharusnya) lebih lebar. Biasanya, bagian bawah badan dan lengan rochet terbuat dari renda yang cukup lebar.

Mozeta ungu (4) adalah mantol kecil yang hanya boleh dipakai oleh uskup. Sebelum reformasi aturan busana di tahun 1969,mozeta bahkan hanya boleh dipakai uskup kala ia berada di dalam wilayah keuskupannya. Selain uskup, ada beberapa ordo dan kanon reguler, yang sejak ratusan tahun lalu oleh Paus diberikan hak mengenakan mozeta (dengan warna lain). Termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah para Fransiskan, Karmelit, Dominikan dan Kanon Reguler Salib Suci. Mozeta atau apapun namanya, yang bentuknya mirip dengannya, hendaknya tidak dikenakan oleh misdinar, seperti yang marak belakangan ini.

Salib pektoral pasangan jubah ungu harus digantung dengan tali anyaman warna hijau-emas (5). Untuk jubah resmi warna hitam/putih, salib pektoral digantung dengan rantai. Salib pektoraldengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas mozeta. Dalam Misa,salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas alba dan di bawah kasula dan dalmatik pontifikal (bukan di atas kasula). (Bdk. CE 61)

Pileola atau solideo atau zucchetto ungu (6) adalah topi bundar dan kecil. Sesuai tradisi, pileola sebenarnya dikenakan oleh semua klerus. Pileola imam berwarna hitam, uskup ungu, kardinal merah dan Paus putih. (Catatan: Seturut tradisi, jubah imam berwarna hitam; meski begitu, putih selalu boleh digunakan imam, uskup dan kardinal di daerah tropis) Awalnya, pileola adalah pelindung kepala dari hawa dingin, untuk dikenakan oleh semua klerus yang sudah di-tonsura (dicukur gundul, seperti sering kita lihat pada gambar/patung St. Fransiskus Asisi atau St. Antonius Padua).

Bireta ungu (7) adalah topi segi empat yang dikenakan di ataspileolaBireta uskup berwarna ungu dan bireta imam berwarna hitam, keduanya dilengkapi dengan pom yang sewarna. Biretakardinal berwarna merah, terbuat dari sutera bermotif air, dan tidak dilengkapi dengan pom.

Cincin (8) senantiasa dikenakan uskup, sebagai simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya. (Bdk. CE 1199)

Cappa Magna atau mantol kebesaran uskup warnanya ungu, seperti tampak pada gambar di samping. Cappa magna tradisional dalam foto di samping panjangnya 8 meter.Cappa magna modern panjangnya hanya 4.5 meter, baik untuk uskup maupun kardinal. Cappa magna boleh dikenakan uskup hanya di dalam wilayah keuskupannya dan untuk perayaan-perayaan yang paling agung. (Bdk. CE 1200)

Uskup mengenakan busana liturgi tersebut di atas saat ia bepergian secara resmi di depan publik ke atau dari gereja, saat ia hadir dalam suatu upacara liturgi tetapi tidak memimpinnya, dan dalam berbagai kesempatan lain yang dinyatakan dalam Caeremoniale Episcoporum. (Bdk. CE 1202)

Secara khusus, uskup diminta mengenakan busana liturgi di atas saat kunjungan pastoral (Bdk. CE 1179). Saat itu, uskup hendaknya disambut di pintu (gerbang) gereja oleh pastor paroki yang mengenakan cappa/pluviale dan membawa salib untuk diciumnya. Pastor paroki kemudian menyerahkan aspergil dan air suci, agar uskup dapat memberkati dirinya sendiri dan semua yang hadir menyambutnya. (Bdk. CE 1180)

Uskup agung mengenakan jubah liturgi yang persis sama dengan uskup. Kardinal pun juga, hanya saja warnanya merah dan khusus bahan suteranya menggunakan sutera bermotif air. Bahan sutera bermotif air ini hanya boleh dikenakan oleh kardinal dan utusan khusus Paus (misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan). Sutera bermotif air untuk nuntius, yang adalah uskup agung, berwarna ungu.

Selain jubah ungu lengkap dengan asesorisnya tersebut di atas, pada dasarnya hanya ada dua macam busana liturgi yang dikenakan uskup. Keduanya sama juga dengan busana liturgi imam, yaituCappa/Pluviale dan Kasula/PlanetaPluviale dikenakan saat prosesi, saat memberikan berbagai sakramen dan sakramentali, saat memimpin Ibadat Pagi (Laudes) dan Ibadat Sore (Vesper) dan saat Misa, bila ia tidak memimpinnya atau tidak berkonselebrasi. Untuk Ibadat Bacaan, Tengah Hari dan Penutup (Completorium), baik memimpin atau tidak, uskup dapat mengenakan habitus choralisjubah ungu di atas, lengkap dengan asesorisnya. Kasula dikenakan saat Misa.

Singkatnya, busana liturgi mendasar untuk uskup adalah Habitus Choralis di atas, dan untuk upacara liturgi yang lebih meriah, dikenakan Pluviale/Cappa, dan khusus untuk Misa, dikenakanKasula/Planeta.

Para ahli busana Gereja mengatakan bahwa sebenarnya kasula adalahpluviale yang dijahit di bagian depannya. Keduanya sama-sama berasal dari bahan kain setengah lingkaran. Pluviale juga adalah busana yang umum bagi para biarawan-biarawati dan anggota koor, untuk upacara liturgi yang meriah, sesuai tradisi.

Foto samping: Saat Perarakan Minggu Palma, Paus mengenakan pluviale dan didampingi dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik. Perhatikan cara kardinal diakon memegang pluviale Paus selama prosesi, sesuai tradisi.

Berikut adalah tambahan asesoris khusus untuk uskup yang mengenakan kasula, untuk dikenakan saat Misa Stasional di Katedral ataupun Misa Agung lainnya (Bdk. CE 56 & 62).

Dalmatik Pontifikal sebenarnya sama dengan dalmatik diakon biasa, hanya yang ini bisa berwarna putih polos saja atau bisa ditambah dengan hiasan garis-garis sederhana. Busana ini dipakai di bawahkasula.

Foto-foto di samping: Saat Pencucian Kaki pada Misa Kamis Putih, Paus melepas kasula, maka nampaklah dalmatik pontifikal yang dikenakannya di bawah kasula, plus juga apron putih yang diikatkan di pinggang, yang biasanya dikenakan saat uskup memberikan sakramen krisma.

Pallium adalah kalung putih yang dikenakan di atas kasula.Pallium adalah asesoris khusus untuk uskup agung metropolitan, yaitu uskup agung yang memimpin suatu keuskupan agung. (Catatan: Ada uskup agung yang tidak memimpin keuskupan agung, misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan dan pejabat-pejabat Kuria Romawi di Vatikan) Pallium dianugerahkan langsung oleh Paus kepada semua metropolitan yang baru diangkat, sekali dalam setahun, pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, (29 Jun) di Vatikan (lihat foto penganugerahan pallium di atas: Paus mengenakan pallium dan uskup agung metropolitan yang berlutut di depannya baru saja menerima pallium dari Paus. Seremoriarius di sebelah kiri, Mgr. Francesco Camaldo, sedang memegang palliumjuga). Pallium hanya dikenakan oleh seorang metropolitan saat ia memimpin Misa di dalam wilayah keuskupan agungnya (termasuk dalam wilayah keuskupan sufragannya).

Saat tiba di gereja untuk upacara liturgi, uskup yang mengenakan busana liturgi jubah ungu di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoralmozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amikalbasingelsalib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas dan stola. Di atas itu semua, uskup mengenakanpluviale, atau bila ia memimpin atau berkonselebrasi dalam Misa, uskup mengenakan dalmatik pontifikal (untuk Misa Agung) dankasula serta pallium (untuk Misa Agung, khusus metropolitan).

Berikut adalah tambahan asesoris untuk uskup, saat mengenakankasula atau pluviale, untuk upacara agung (Bdk. CE 56 & 62).

Mitra bagi seorang uskup kurang lebih sama makna dan kegunaannya dengan mahkota bagi seorang raja. Dalam tradisi Gereja Katolik, ada tiga macam mitra uskup, yaitu mitra preciosa, semi-preciosa dan mitra linen putih polos. Mitra preciosa adalah mitra yang indah dan berharga, seringkali memakai benang emas atau perak dan dilengkapi juga dengan batu permata. Mitra semi-preciosa adalah mitra yang selama ini kita lihat dipakai banyak uskup di Indonesia. Mitra putih polos dari bahan kain linen (atau kain sutera damask untuk kardinal) adalah mitra yang dipakai saat uskup berkonselebrasi, ataupun saat Misa Arwah. Satu catatan kecil, seturut tradisi, lambang uskup dapat digunakan dalam mitra, tetapi penempatannya biasanya di ujung bawah kedua pita besar di belakang dan bukan di bagian depan mitra (lihat foto di atas). Catatan: Pita berujung hitam dan bersalib merah yang ada di tengah adalah pallium, dilihat dari belakang.

Tongkat dipakai uskup hanya dalam wilayah keuskupannya. Uskup tamu yang memimpin suatu upacara agung, atas perkenan uskup diosesan setempat, dapat juga memakai tongkat. Saat beberapa uskup hadir dalam suatu upacara, hanya satu uskup pemimpin upacara yang memakai tongkat. (Bdk. CE 59)

Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 22 No 3 - Mei-Jun 2011.

PUTRI CINA YANG SOMBONG

Tersebutlah seorang putri raja dari cina yang sangat cerdas. Dia menjadi sombong dengan kecerdasannya itu. Ketika usia telah cukup untuk menikah sang raja bermaksud untuk mengadakan sayembara, sang putri tidak keberatan namun dia mengajukan syarat bagi mereka yang ingin menikahinya.. Setiap laki laki yang ingin mempersuntingnya harus mampu menjawab 3 pertanyaan yang dia ajukan. Bagi yang tidak mampu menjawab maka tiang gantungan telah menanti sebagai hukuman.

Demikianlah, puluhan pemuda mengakhiri hidup mereka ditiang gantungan tersebut karena tak mampu menjawab pertanyaan sang putri. Raja menjadi sangat khawatir dengan kondisi putrinya yang semakin menikmati permainannya, juga khawatir dengan usianya yang semakin bertambah namun tidak ada tanda tanda bahwa dia akan mengakhiri permainan gilanya itu serta khawatir semua pemuda terbaiknya mati sia-sia ditiang gantungan.

Suatu hari datanglah seorang pemuda pengembara dari tanah Bharata, dia mendengar cerita tentang sang putri dan berniat untuk mengakhiri permainannya. Dia mendaftar untuk bertanding dengan sang putri. Mendengar hal ini sang raja jadi gelisah karena pasti pemuda pengembara ini hidupnya akan berakhir pula ditiang gantungan. Dia menasehati sang pemuda agar mengurungkan niatnya untuk mengikuti pertandingan namun ditampik oleh sang pemuda yang telah bulat tekadnya untuk menghentikan kecongkakan sang putri.

Tibalah hari yang telah ditentukan, sang pemuda dan para penonton telah hadir dipendopo istana bersiap untuk mengikuti acara yang sangat menegangkan itu, namun sang pemuda tidak kelihatan tegang bahkan sebaliknya, dia duduk tegak bersila dengan tenangnya sambil terus menebar senyum. Sang raja dan para juri yang terdiri dari para pendeta dan penasehat istana telah duduk di masing masing tempat yang tersedia dengan harap-harap cemas. Tak berapa lama berselang datanglah sang putri berjalan ketengah-tengah pendopo dengan keangkuhan tersirat yang disebabkan oleh kecerdasannya. Duduk dengan kaki terlipat diatas kursi dan senyum sinis menghiasi wajah yang seharusnya sangat cantik itu dia melirik kearah sang pemuda. 

Sayembara segera dimulai. Tampak sang putri berbisik ditelinga penterjemah yang segera berkata, �Wahai pemuda yang berani datang menantang sang putri, apakah engkau tidak takut digantung? Apakah engkau tidak sayang akan nyawamu berakhir sia-sia ditiang gantungan? Apakah engkau tidak sayang akan ketampananmu serta masa depanmu? Pulanglah sebelum terlambat.� Demikian kata penterjemah menyampaikan apa yang dibisikkan oleh sang putri, tampak sangat jelas dia memandang rendah sang pemuda. Walau kelihatan seperti menyayangkan keikut sertaan sang pemuda namun dari kata-katanya jelas tersirat bahwa sang putri sangat senang akan ada lagi korban yang jatuh dan dia tidak ingin sang pemuda mundur dari pendopo. 

Sang pemuda hanya tersenyum sambil mempersilakan sang putri untuk menyampaikan pertanyaannya karena dia sudah tidak sabar lagi untuk menjawab.

Sang penterjemah membacakan pertanyaan pertama sang putri yang berbunyi, �Siapakah bapak yang mampu memperlakukan semua secara adil?�

Pemuda itu dengan suara tenang menjawab, �Dia adalah Matahari.� 

Para juri terperangah karena untuk pertama kalinya ada orang yang mampu menjawab dengan tepat dengan santainya. Biasanya para pemuda terdahulu kalah pada pertanyaan pertama.

Pertanyaan kedua, �Siapakah ibu yang memakan anaknya setelah sang anak dilahirkannya?�

Kembali sang pemuda dengan tenangnya mengawab, �Dia adalah laut.�

Kini giliran sang putri yang keluar keringat dingin karena dua pertanyaannya dijawab dengan mudahnya. Dia berpikir sejenak sebelum mengajukan pertanyaannya yang ketiga. Setelah berpikir keras dia tersenyum karena merasa mendapatkan satu pertanyaan yang mustahil dijawab oleh siapapun, bahkan oleh para pendeta terpelajar sekalipun.

Pertanyaan ketiga adalah, �Pohon apakah yang setiap daunnya memiliki dua warna, hitam dan putih?�

Melihat sang putri tersenyum bahagia karena merasa yakin pertanyaannya tidak bakalan bisa dijawab, sang pemuda sengaja berlagak seperti orang yang sedang berpikir keras mencari jawaban, membiarkan sang putri menikmati angannya yang akan berakhir sebentar lagi. Hal ini ternyata membuat para hadirin dan juga sang raja menjadi sangat cemas, padahal tadi telah muncul harapan bahwa sang pemuda akan memenangkan sayembara ini. Setiap jawaban disambut tengan tepuk tangan yang sangat meriah. Namun berbeda dengan sekarang, suasana jadi sangat hening mencekam, setiap hati melantunkan doa kemenangan buat sang pemuda sehingga tidak akan ada lagi korban berjatuhan. Namun sang pemuda tidak segera menjawab, bahkan dia kelihatan berpikir semakin keras. Sengaja dia lakukan untuk memberikan kesempatan kepada sang putri menikmati angan kemenangannya lebih lama..

Sang putri yang merasa pasti menang menebar senyum bangga kearah hadirin namun ketika dia berpaling kearah sang pemuda senyum itu berubah menjadi sinis. Dia sangat senang atas hal ini dan berkata, �Wahai anak muda, sampai kapan engkau akan membisu seperti itu, akuilah bahwa engkau tidak menemukan jawabannya, orang-orang hebat seperti para pendeta yang telah renta karena ilmupun tidak tahu jawabannya apalagi anak kemarin sore sepertimu, oleh karena itu menyerahlah dan bersiaplah untuk menuju tiang gantungan, algojo telah tidak sabar menanti untuk memasang tali dilehermu, kasihan mereka terlalu lama menunggu sesuatu untuk dikerjakan, pekerjaan mereka hanya datang sesekali.�

Dengan tatapan tenang kearah sang putri sembari tersenyum, sang pemuda berkata, �Tuan Putri, jawaban hamba atas pertanyaan Tuan Putri yang ke tiga adalah Tahun.�

Gemuruh sorak sorai para hadirin karena akhirnya pertanyaan terakhir sang Putri terjawab juga walau mereka belum yakin jawaban itu benar, namun paling tidak mereka telah melihat guratan senyum disudut bibir para juri pertanda jawaban tersebut benar adanya.

Sementara dilain pihak, wajah sang Putri tiba tiba menjadi merah padam, marah dan kecewa setelah mendengar jawaban gamblang dari sang pemuda. Dia tidak habis pikir bagaimana si pemuda bisa tahu jawaban itu, sementara dia kelihatan berpikir keras dari tadi tapi ternyata dia dengan tenangnya dapat menjawab, sang Putri jadi curiga mungkin jawabannya itu hanya tebakan. Kemudian dia bertanya, �Kenapa jawabanmu Tahun, jelaskan!�

�Bagai sebatang pohon yang terus bertumbuh, tahun juga terus berjalan tanpa dapat dihentikan, daunnya adalah siang yang putih dan malam yang hitam.� Demikian jawaban sang pemuda pengembara. Sekali lagi hadirin bersorak riang gembira. Namun berbeda dengan sang Putri yang takabur itu, dia berteriak tidak terima kalah dan tidak mau menikah sembari ingin mengajukan pertanyaan lagi akan tetapi permohonannya ditolak sang Raja yang mengatakan bahwa jika Putri tidak mau mengaku kalah dan tidak mau menikah dengan sang pemuda maka dia harus mendapat hukuman yang sama seperti para pemuda yang kalah sebelumnya, hukuman gantung. 

Akhirnya sang Putri mengaku kalah walau dengan terpaksa dan kemudian dipersunting oleh si pemuda dan diboyong kenegaranya yaitu Bharatawarsa.

Makna dari dunia itu sendiri adalah kehidupan karna tanpa hidup kita ga akan pernah tau dunia itu seperti apa,,,,tidak selamanya apa yang kita anggap benar itu�..tidak salah juga di mata kehidupan dalam bingkai dunia.